Korban (21+)

31.6K 131 2
                                    

"..."

Tidak ada respon dari Rani, dia masih menikmati gerakan Agus yang tak nampak oleh indra penglihatan Pak Darto.

"Nyonya? Apa ada yang bisa saya bantu?", ucap Pak Darto saat berjalan mendekati tubuh Rani yang terbaring di atas ranjang.

Sosok Darto kini berada tepat di depan kaki Rani yang terbuka lebar, lubang kelamin Rani terlihat kemerahan dan basah. Darto mengulurkan tangan dan mengusapnya, itu membuat sosok Agus menghilang dan berpindah.

Agus merasuki tubuh Rani. Sementara gerakan Pak Darto berhenti saat tubuh wanita hamil itu tiba-tiba terduduk di atas ranjang. Matanya memandang tajam ke arah Darto. Ya sosok Agus yang merasukinya kini sangat terlihat penuh amarah. Darto mundur selangkah.

"Maaf nyonya, saya tidak sengaja.", ucap Darto dengan suara bergetar. Kini dia mulai sibuk mencari alasan tepat untuk perbuatannya barusan.

Rani berdiri, tubuhnya yang penuh keringat, bau sperma dan juga kukunya kini menjadi runcing. Hal ini membuat Darto sangat terkejut. Dimana sosok wanita sangat cantik yang dia lihat tadi? Mengapa majikannya berubah menjadi begitu mengerikan seperti ini?

Rani melangkah maju hingga membuat Darto menabrak dinding kamar, tepat di sebelah jendela. Sosok Agus yang berada di tubuh Rani membuat kekuatan wanita hamil ini juga berubah.

Rani mencengkram leher Darto. Darto sendiri memberontak dengan menggerakkan tubuhnya terus, tapi gagal. Cengkraman Rani di leher Darto membuat tubuhnya melayang, kakinya tak lagi menginjak lantai. Napasnya juga tersendat.

Kuku Rani menusuk permukaan kulit Darto dan menimbulkan luka. Darto masih berusaha melepaskan diri, kakinya terus menendang, sesekali mengenai perut buncit Rani. Tapi Rani bahkan tidak sekalipun kesakitan, kekuatannya sangat besar untuk ukuran wanita hamil.

Beberapa menit kemudian Darto berhenti bergerak. Dia pingsan karena kesusahan bernapas. Rani membiarkannya jatuh ke lantai. Rani mengambil pisau buah yang ada di meja dan mulai memotong beberapa bagian daging Darto.

Bagian tulang tidak bisa terpotong karena Rani hanya menggunakan pisau buah. Rani mulai memakan beberapa bagian daging Darto. Lelaki ini bahkan masih bergerak saat Rani mulai memotong tubuhnya.

Darah berceceran di lantai. Gerakan Darto kini tidak terasa lagi. Sosok Agus yang menikmati setiap bagian daging Darto masih berada di tubuh Rani. Rani berjongkok dengan mulut yang belepotan darah. Begitu mengerikan keadaan kamar malam ini.

Darto yang menyulut kemarahan sosok Jin yang menyerupai Agus telah mendapat akibatnya. Darto mati mengenaskan malam itu. Gerakan Rani berhenti saat pintu kamar terbuka dan menampakkan sosok Agus. Jin itu keluar dari tubuh Rani.

"Apa yang terjadi?", teriak Agus di ambang pintu. Wajahnya begitu kaget dengan pemandangan yang disaksikannya saat ini.

"Aaaaaaaa..", teriak Rani tidak kalah kuat saat itu. Tentu saja dia kaget dengan apa yang dilihatnya saat ini. Kedua tangannya memegang daging dan di depannya tergeletak mayat Darto yang sudah sangat tidak bagus, dagingnya tercecer dimana-mana.

Agus mendekat lalu menggendong istrinya. Agus membawa Rani ke kamar mandi lalu menguncinya dari luar. Rani sendiri masih belum sadar betul dengan apa yang terjadi. Dia hanya duduk dengan pandangan kosong di atas closet.

Agus masih kaget tapi dia tidak bisa membiarkan mayat Darto tetap di kamar. Agus membersihkan seluruh kamar saat itu. Butuh waktu satu jam lebih hingga kamar menjadi bersih.

Sementara mayat Darto dia potong setiap bagiannya dengan gergaji menjadi 60 bagian. Agus meletakkannya di dalam plastik lalu memasukkannya ke bagasi mobilnya. Dia segera meninggalkan Rani yang masih berada di villa untuk membuang mayat Darto.

Agus membuangnya ke jurang di tepi jalan yang tidak jauh dari villa. Butuh beberapa menit menunggu hingga jalanan menjadi sepi. Setelah berhasil membuangnya, Agus segera kembali ke villa. Agus tidak bisa membiarkan Rani sendirian di villa. Dia belum membersihkan tubuh Rani yang sangat mengerikan itu.

"Sayang?", ucap Agus saat membuka pintu kamar mandi tempat dia mengurung Rani.

Hening. Tidak ada jawaban. Agus juga tidak bisa menemukan sosok Rani. Tapi bau anyir darah masih tercium. Agus berjalan ke arah bathup dan menemukan Rani sedang berendam disana. Agus mendekat kemudian mengusap bahu telanjang istrinya. Teraba tulang disana, tubuh Rani begitu kurus.

"Massshh sakithh ahhh", Rani merintih begitu pelan. Wajahnya masih berlumuran darah. Agus meraih tangannya lalu menggenggamnya. Tangan lainnya mengusap wajah Rani, membersihkannya dari sisa darah yang sudah mulai mengering.

"Ssshh aahhh, aduh mashh.", Rani masih terus merintih dengan suara lemahnya. Tangannya tidak henti mengusap perut buncitnya.

Agus mulai tidak tega, tapi dia tidak tahu harus berbuat apa. Tidak mungkin membawa Rani ke rumah sakit. Tidak mungkin juga membawa Rani ke rumah Mbah Ireng. Agus mulai ragu dan takut dengan tindakan Mbah Ireng.

Agus mengajak Rani keluar dari bathup, lalu mengeringkan tubuh istrinya dengan handuk. Saat meraba perut buncit Rani yang terlihat begitu bulat dan besar seperti akan meletus, dia merasakan gerakan yang begitu jelas. Agus yakin gerakan itu yang membuat istrinya terus-terusan kesakitan. Agus begitu ingin membunuh mereka, mereka yang membuat hidup istrinya tersiksa. Tapi disisi lain Agus tidak ingin kehilangan keberuntungannya di dunia bisnis.

"Aduhh mashh sakit banget aahh perutnya.", Rani kembali merintih. Kali ini dia menekan kuat perut bagian bawahnya, membuat gerakan itu begitu jelas terlihat di permukaan depan perut buncitnya.

"Masshh aduhhh sakithh.", rintihan Rani kali ini mengagetkan Agus karena dia meremas kuat tangan lelaki itu.

Agus bergegas mengambil jimat yang diletakkan di bawah ranjang Rani dan memindahkannya ke bawah bantal istrinya itu. Agus berharap jimat ini berfungsi seperti yang sudah terjadi sebelumnya.

Agus kembali meninggalkan Rani sendiri lalu berjalan ke arah ruang tamu. Agus mencari nomor dokter yang bisa dipanggil ke villanya, tapi gagal, tidak ada satupun dokter yang bersedia datang.

Agus kembali ke kamar dan menggendong tubuh Rani. Masih terdengar suara rintihan Rani meski pelan. Rani sepertinya kehabisan energi karena menahan sakitnya. Agus menempatkan tubuh Rani di sebelah kursi kemudi. Aguspun segera masuk ke mobil. Agus memutuskan untuk mencari klinik bersalin terdekat.

Setelah satu jam berputar di sekitar wilayah villa, Agus menemukan klinik bersalin yang masih buka. Agus berharap Rani bisa ditangani di sana oleh dokter. Agus menuntun Rani masuk ke ruangan periksa.

"Usianya berapa bulan, bu?"
"..."

Rani terdiam, dia hanya fokus menahan sakit. Dokter kembali menatap ke arah Agus.

"Saya kurang tahu dok."
"Baiklah saya periksa dulu."

Dokter memeriksa keadaan Rani di balik tirai. Dokter menggunakan USG untuk melihat keadaan kandungan Rani. Semuanya baik-baik saja. Dokter juga mengecek jalan lahir Rani, tidak ada pembukaan, tidak ada perdarahan, semuanya baik-baik saja. Perut Rani juga menegang, tapi saat dokter memeriksanya dengan alat, sama sekali tidak terdeteksi kontraksi.

Agus menuntun Rani turun dari ranjang. Dokter lalu menjelaskan sekilas keadaan Rani.

"Keadaan kandungan ibu baik-baik saja. Bayinya kembar tiga, tidak ada kelainan. Tapi perutnya begitu besar, kemungkinan berat badan janin akan menyusahkan persalinan. Usia kandungan baru 20 minggu, jadi nyeri yang ibu rasakan bisa jadi karena kurang istirahat. Tubuh ibu tidak menunjukkan kondisi tidak sehat. Apakah sebelum kemari ibu sudah makan?"

Agus mengingat lagi kejadian Rani memakan daging Pak Darto. Rani hanya menganggukkan kepala merespon pertanyaan dokter, dia masih belum bisa fokus.

"Dia sudah makan dokter. Jadi apa yang terjadi pada istri saya?"

"Mungkin istri bapak kurang istirahat, coba saya resepkan vitamin ya. Tapi sebaiknya setelah ini, bawa istri bapak ke Rumah Sakit lebih besar."

Mendengar penjelasan dokter, Agus jadi tersadar mengapa Mbah Ireng melarangnya membawa Rani ke dokter atau rumah sakit. Ilmu medis tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi pada Rani.

"Dokter, tolong bedah perut saya sshh, sakithh sekali dokter ughh, keluarkan bayinya.", ucap Rani lirih sambil menatap ke arah dokter. Dokter dan Aguspun kaget dengan ucapan Rani barusan.

Tiga TumbalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang