Jeonghan sudah dua puluh menit menatap ponselnya, ia menatap layar hitam yang tidak kunjung menyala.
"Hhh." Jeonghan bersandar di kursinya. Ia baru saja mengirimkan laporan kepada para orang tua tentang kegiatan anak-anaknya hari ini, seperti biasanya.
Semua orang tua biasanya akan memberi respon, atau setidaknya memberinya emotikon jempol. Walaupun tidak langsung di balas, tetapi pasti di balas oleh para orang tua.
Tetapi, orang tua Gian tidak pernah membalas sama sekali, hanya membacanya. Tidak ada respon, sedikitpun tidak pernah, bahkan emotikon pun tidak.
"Apa ngga bisa baca ya? Apa kurang jelas ketikannya? Atau ada yang salah ya?" Jeonghan menyimpan ponselnya di atas meja, lalu melihat-lihat semua pesan yang ia kirimkan pada orang tua Gian, melihat apakah bahasanya kurang sopan, atau isinya yang kurang jelas.
"Tapi ngga ada yang salah ko sama isinya." Gumam Jeonghan lagi. Isinya memberitahukan kegiatan Gian setiap hari, lalu kemajuan motorik dan kemampuan berbicara Gian yang menurut Jeonghan mulai terlihat.
Walaupun Gian masih bisa di bilang pasif, tetapi anak itu sudah mau bergabung dengan yang lainnya untuk bermain lego, sebelumnya Gian tidak mau memperkenalkan namanya dan lebih banyak duduk di samping Jeonghan.
Tetapi sekarang secara perlahan Gian mulai bermain bersama yang lain, walaupun saat di ajak bicara ia lebih banyak diam dan membalasnya dengan kata-kata yang sedikit.
Setidaknya ada kemajuan!
"Belum bales juga?" Ten duduk di samping Jeonghan, ia baru saja menyelesaikan melakukan rekap absen anak-anak didiknya di kelas dasar.
"Ngga ada, cuman di baca aja dari awal juga." Gumam Jeonghan, ia bersandar di atas meja.
"Ya udah, mungkin itu yang bikin Gian pasif. Orang tuanya juga pasif begitu."
"Iyaa tapi seengganya gitu loh, masa mereka ngga penasaran atau pengen tau perkembangan anaknya? Masa cuman mau bikinnya doang, ngga mau ngurus?" Jeonghan jadi sebal, padahal Gian adalah anak yang pintar sekali.
"Iya kita kan ngga tau dapur rumah orang kaya gimana, mungkin mereka perduli sama Gian tapi langsung di sampein ke anaknya." Ten memutar kursinya, menatap Jeonghan yang masih menatapi ponselnya.
"Udaah deh, tanggung jawab kita sama anaknya kalau dia di sekolah aja, kalau di luar sekolah itu tanggung jawab orang tua masing-masing. Ayo pulang." Ajak Ten, mejanya sudah rapih, barang-barang sudah di masukan ke dalam tas pula.
Jadi Jeonghan melakukan hal yang sama, ia merapihkan meja kerjanya dan memasukan barang-barang ke dalam tas gendongnya.
Keduanya berjalan bersama menuju halte bus yang lumayan sekali. Tetapi dihitung-hitung sebagai olahraga.
"Jadi sampe sekarang belum ketauan tuh mana cucu mantan pak presiden?" Tanya Ten.
"Belum, kayanya ngga ada di kelasku. Mungkin di kelas lain." Jawab Jeonghan, ia kembali menyeruput susu coklatnya.
"Lagian penasaran banget?" Jeonghan menatap Ten di sampingnya.
"Penasaran, siapa tau bisa dapet bapaknya. Soalnya kalau ibunya kan ngga mungkin."
Jeonghan tertawa kecil, betul keduanya memang gay dan ini menjadi rahasia mereka, apabila sekolah tahu tentang seksualitas mereka, bisa-bisa mereka di pecat.
"Tadi, Miss Jenna lagi-lagi mau ngenalin aku sama temen-temennya." Cerita Ten.
"Terus? Kamu terima?"
"Ngga, aku bilang aja bebanku banyak jadi belum minat buat nambah beban lagi." Ujar Ten.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pieces Of My Heart || jeongcheol.
FanfictionJeonghan seorang guru anak TK bertemu dengan Gian seorang anak laki-laki yang pendiam dan tertutup. Dan ayahnya berusaha mendekatkan diri dengan sang putra