Chapter 23 : Bayangan dari barat

285 30 3
                                    

[[ SMUT WARNING!! ]]

°°°

Sehari sebelum malam merah itu...

°°°

"Fyuh.. kerjaan hari ini untung kelar bener." Udara mengepul hangat dari rambut dan mulut ku. Berendam air panas malam-malam begini benar-benar menenangkan, tapi juga melelahkan.

Handuk yang masih mengalung di leher, kutarik ke atas untuk mengeringkan rambut ku agar tidak rusak nantinya. Cermin kamar seperti biasa ku kuasai mau saat ada atau tidak adanya Akaza disini!

Pelan aku mengeringkannya dengan penuh hati-hati. Sambil berdehem-dehem lagu yang Tanjiro dan Muzan nyanyikan hari itu.
Hmm~~ cinta masa muda manis juga, ya?

"Hm, vitamin rambut mana, ya? Eh, bukannya harusnya pake hair mask dulu? Duh, mana lupa sudah ku keringin lagi..."

Saat sibuk-sibuknya aku mencari dua benda itu. Sekelabat bayangan dengan gesit terpantul di cermin. Sontak ujung lensaku mencarinya.

Ada orang? batinku. Menoleh ke sekitar, aku tak menemukan siapapun selain aku. Bahkan pintu kamar yang tertutup rapat kubuka, mengawasi setiap lorong, semuanya sepi.

Aneh. Pikiranku mulai tidak tenang. Langkahku berbalik kembali masuk, pintu ku tutup. Sambil menuju kembali ke arah cermin, aku membelah rambutku menjadi dua. Helaiannya kumainkan, kuperhatikan. Sejenak bisikan masa lalu menghantui kepalaku, sebelum sengatan hangat terasa di tengkuk leherku.

“Mnh!” erangku. Dua tanganku refleks mencengkram dua lengan pelaku sengatan hangat itu–dia memelukku dari belakang, menyembunyikan parasnya dari pantulan cermin, mengunci posisi ku selagi dia menghisap kulitku lebih keras–bahkan mengigitnya.

“G–ghaa–ah!” sekali lagi suaraku mengudara. Pandang ku berusaha untuk menoleh padanya, namun seperti makhluk buas malam hari–dia hanya fokus menikmati santapannya mengerang.

Chu~ kecupan lembut didaratkannya, sebelum dia membiarkanku melihat dirinya lebih jelas. 

Nafasku agak terpompa. “Oya~ Sejak kapan junior ku jadi seberani ini? Puas serangan tiba-tiba mu itu mengejutkanku, hm?~”

Akaza–jelas, tidak mungkin juga kalau bukan dia–tatapnya masih terpaku padaku. Kerutan kekesalan tampak di keningnya. “Kau seperti sudah tau, senpai.” Ku balas dia dengan tawa kecil. “Ada apa? Sesuatu mengusikmu sampai harus menyerangku seperti tadi?” 

“Berisik,” desisnya, “Sampai kapan aku harus mengejarmu, senpai?”

Satu jari kuletakkan di dagu ku. “Hmm, sampai kapan, ya?” Membiarkannya semakin kesal. Oh, aku begitu menyukai wajah kesalnya itu–menggemaskan.

“Senpai..” Suaranya kembali menggeram, seraya aku mengangkat seringai. “Kenapa?” tanyaku lembut, mengusap lesung pipi miliknya. “Setidak sabar itu kah dirimu, Akaza?”

Tatapnya melembut dengan sentuhku. Api kebengisan di matanya langsung mereda. Dia jatuh dalam usapan. Lantas dia menatapku dalam-dalam, seakan sesuatu ingin disampaikan olehnya. Sesuatu yang sungguh-sungguh datang dari dalam hatinya. Sesuatu yang telah lama ditimbunnya–atau mungkin sejujurnya sudah begitu jelas, namun terus terabaikan. Dia akan mengatakannya.

“Kau tak pernah membiarkanku tenang, senpai.”

Bibirku tetap tertutup untuk mendengarnya.

“Kau boleh tertawa padaku lagi atau menjahiliku–mempermainkanku lagi dengan candaanmu itu, tapi tidak untuk sekarang.”

Until we meet again [Muzan x Tanjiro] || Kimetsu no yaiba FanfictTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang