Chapter 22 : Cahaya dari timur

299 27 22
                                    

Muzan's POV

Udara terasa berbeda saat nafas kutarik. Bahkan sinar mentari yang menembus kelopak mataku juga–tunggu, seharusnya jendela ruangku dengan Tanjiro bukan disitu.

Lonjakan kejut dalam dadaku membentur kencang, mendorongku bangkit dari posisi terlentang di atas alas yang tak sama seperti terakhir kali aku mengingatnya.

"Muzan? Syukurlah, kau sudah siuman," ujarnya dengan senyum khas seakan semua baik-baik saja.

Urat keningku menegang, mataku melotot kearahnya, "Kagaya!—" geramku. Hendak ku kejar kerahnya yang ingin kutarik, namun selang bening yang terkait pada penutup hidung dan mulut yang membantu nafasku ini menghalangi gerakku.

Nyeri pada pundak dan punggung ku pun terasa membebani. Menarik gravitasi menjadi dua kali lebih berat dari biasanya. Kagaya menahanku. Seakan tak ingin aku bangkit karena kondisi yang tak mendukung saat ini.

"Apa yang kau lakukan, Kagaya?"

Dia terdiam.

"JAWAB AKU!!" bentakku.

Perlahan senyum liciknya muncul dari balik bayangan poni depannya.

"Aku hanya melakukan... apa yang kuanggap benar, Muzan. Kau tenanglah, semua sudah baik-baik saja sekarang."

"Baik-baik saja apa maksudm–"

Klak! Pintu terbuka sebelum sempat kulontarkan kata lanjutan pada Kagaya. Seorang pria berjas dengan simbol khas, penitis rupa yang kini kumiliki, dia menapak masuk. Bibirnya bergaris datar, tatapnya dingin menusuk dari lensa merah tajamnya, memecah atmosfer ruangan itu.

"Papa," Kagaya menoleh pada figur itu.

Tatap ku menegang. Terkejut akan bagaimana pria tua ini bisa disini.

"Muzan."

Dingin. Kaku. Tak terbantahkan. Panggilannya membuatku menundukkan kepala secara sontak.

"Apa kau sungguh berniat untuk menghancurkan janji kita?"

Tak ada kata yang mampu muncul dari mulutku. Meskipun ku ingin sekali menjawab, menepis pertanyaannya, menyatakan rasa berdegub dalam jantung ini padanya–tak ada yang berani untuk mengudara dari mulutku. Lantas dia melempar pandangnya pada Kagaya, senyumnya yang tipis-tipis muncul.

"Maafkan aku, Kagaya." Tangannya jatuh dan mengusap di atas pundak Kagaya. "Aku tak bisa mengawasi Muzan dengan baik. Aku sungguh... sungguh memintamaaf soal ini padamu." Suaranya bergetar, bersama punggung yang sekilas menampakkan rasa kecewa dan bersalahnya yang begitu dalam. Senyumnya lenyap seketika.

"Papa..." Kagaya memulai trik busuknya, mengikuti arus atmosfer dramatis dengan mimiknya yang mendukung.

Papa yang mudah terlena dengan kebohongan andalannya itu menyeka ujung matanya. Jarang sekali aku melihat dirinya mampu menangis seumur hidupku.

"Sudah kuputuskan." Tubuhnya bangkit. Maniknya menatapku dan Kagaya bersamaan. "Kita akan segera melaksanakannya."

Lensaku membelalak, "Melaksanakannya...?"

Seketika selimut yang berada diatasku langsung kuseka kesamping. Tanpa memperdulikan selang yang lang

"KAU BERCANDA, AYAH!"

Kagaya sekali lagi menahan gerak tubuhku yang berlebihan.

"Lepaskan--Kagaya! Kau tak bisa melakukannya tanpa sepertujuanku kesiapanku.... kau tak bisa, Ayah!!"

Bibir ayah melengkung, alisnya pun mengikuti.

"Maaf, Muzan. Tapi kau yang memulainya. Bukankah kau sadar akan 'janji keluarga' kita?"

Until we meet again [Muzan x Tanjiro] || Kimetsu no yaiba FanfictTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang