Happy Reading
***
Pagi-pagi Kartika sudah disibukkan dengan pekerjaan rumah yang lagi-lagi ketika bangun dari tidurnya harus mendapati piring kotor berserakan di mana-mana. Sedangkan Ranti serta anak Sintia malah terlihat santai sambil menikmati teh hangat mereka di teras rumah.
Kartika mulai bergerak. Merapikan barang-barang pada tempatnya, lalu menyapu pada ruangan-rungan yang terlihat kotor.
"Kartika, air di kerang sedang tidak mengalir. Jadi jangan nyuci piringnya pakai air yang ada di bak mandi, ataupun di tong-tong yang ada. Nanti kalau habis kita jadi kesusahan air. Jadi kamu nyuci piringnya di sungai aja."
Kartika mendongak menatap sang ibu yang baru saja masuk sambil meletakan gelas bekas minumnya pada ember yang sudah lebih dulu di susun beberapa piring kotor olehnya tadi.
Kartika hanya bisa mengangguk tanpa banyak harus berbicara. Tak lama kemudian setelah pekerjaannya yang lain sudah selesai, dia bergegas pergi ke kali yang terletak tak jauh dari kampung tersebut. Namun harus menempuh 1 km dari rumahnya untuk sampai ke sana.
Sebelum mendapati kali, dia harus melewati tanjakan yang tidak terlalu tinggi. Di bawah sana sudah bisa dia lihat air kali yang mengalir cukup deras. Di sekitarnya terdapat pepohonan serta rerumputan yang tumbuh.
Air yang tidak mengalir membuat para warga harus berbondong-bondong turun ke kali. Karena separuh tempat sudah dipakai oleh mereka, Kartika harus mencari tempat lain.
Pandangannya tertuju pada pohon rindang menjulang tinggi, pas untuk dia tempati nanti agar menghalangi sinar matahari yang mulai menampakkan diri. Dibawah pohon tersebut terdapat batu berukuran besar dengan bentuk datar.
Kartika mulai bergegas mengambil tempat di bawa pohon itu. Namun, baru beberapa langkah, kakinya terhenti. Ternyata di tempat yang tidak jauh dari tempat yang akan dia gunakan di sana telah ada seorang pria tidak asing lagi. Dengan menggunakan celana berbahan kain panjang di atas mata kaki serta kaos putih yang digunakannya sedang berjongkok membelakangi. Kartika sangat mengenal siapa di balik punggung tersebut.
Buru-buru dia menyembunyikan dirinya pada bambu-bambu yang ada di sekitarnya. Lalu mengintip setiap gerakan pria di depan sana.
Tampak pria tersebut sedang menimba air. Berkali-kali Kartika dibuat terpesona dengan pria berperawakan tampan itu. dermawan dan juga terlihat mendiri.
Fahmi adalah sosok pria yang telah menginjak usia 30 tahun, namun masih betah dengan statusnya yang masih lajang. Ia adalah anak pertama dari Marya dan Abdurrauf. Tumbuh di keluarga yang begitu pekat dengan agama membuat pria tersebut selalu menjaga hukum-hukum islam.
Tangan Fahmi terus menimba air menggunakan gayung lalu dimasukin ke beberapa ember yang sudah ia siapkan tanpa mengetahui seseorang sedang mengamatinya.
"Sampai kapan kamu berdiri di situ, Kartika!" Suara Ranti yang terdengar nyaring dan cukup keras mampu mengalihkan perhatian Fahmi maupun beberapa orang di sekitarnya menatap ke arah suara pada kedua wanita yang tengah berdiri tak jauh dari mereka.
Fahmi mengerutkan alis saat melihat wanita paruh baya dengan rambut yang digunduli itu tengah mengoceh seorang wanita berhijab yang tampak gelagapan.
Sedangkan saat ini jantung Kartika mulai tak terkendali. Rasa kaget dengan kedatangan sang mamak serta malu bercampur kesal menjadi satu. Bagaimana tidak? Pria yang diam-diam dia intip tadi sedang melihat ke arahnya, di tambah lagi beberapa pasang mata juga ikut menatap. Sungguh membuat dirinya ingin kabur sekarang juga. Namun, bagaimana bisa dia kabur jika nenek sihir yang dianggapnya itu masih berdiri di depan dan tidak henti-henti berceloteh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Sang Illahi
RomanceHidup tidak selamanya indah. Akan ada sebuah cobaan tidak lepas dari yang kita alami. Seperti halnya Kartika, seorang gadis yang belum move on dari pahitnya cinta masa lalu, kini kembali timbul benih-benih cinta yang baru. Yang di mana Kartika mulai...