Prolog

19 2 1
                                    

Hujan deras serta petir yang terdengar cukup keras itu membuat sosok laki-laki yang tengah berdiri di Halte itu terkejut. Rasa cemas, takut dan khawatir turut merundung dirinya. Iya, dia mencemaskan gadis yang lima belas menit lalu dia suruh untuk membeli kertas origami. Tapi sampai sekarang, dia belum juga kembali.

Mau tidak mau, dia harus menyusul gadis itu. Daripada terjadi apa-apa dengannya. Ah, dia sendiri yang repot nantinya. Askha Rasydan Anhaf, pria itu menghampiri teman kampusnya, gadis berjilbab maroon yang tengah berdiri tak jauh tempatnya untuk meminjam payung. Kebetulan gadis itu membawa payung.

Saat ini memang Askha masih menjadi mahasiswa di Fakultas Pelita Nusa semester akhir. Terpaksa, Askha meminjam payung gadis berjilbab maroon itu untuk menyusul gadis yang sudah dia suruh membeli kertas origami.

“Boleh pinjam payungnya? Saya mau ke depan sebentar,” ucap Askha. Gadis berjilbab maroon itu mengangguk lalu menyerahkan payungnya pada Askha. Dengan senang hati pria itu menerimanya tersenyum. “Terima kasih,” lanjutnya.

Askha langsung membuka payung itu lalu beranjak pergi menyusul gadis yang benar-benar membuat Askha kesal sekaligus khawatir. Angin kencang, petir yang terus terdengar serta hujan yang tambah deras itu membuat Askha kesusahan menatap ke arah depan. Tak apalah, dirinya sudah terlanjur terjun untuk menyusul gadis yang merupakan teman Kampusnya, satu prodi bahkan, gadis itu merupakan tetangganya. Rumahnya berhadap-hadapan.

“Askha!” Askha menoleh ke pemilik suara. Ternyata gadis itu yang memanggilnya dari kejauhan. Terlihat gadis mungil itu berteduh di bawah pohon jambu. Tanpa pikir panjang, Askha langsung melangkah menghampiri gadis itu.

“Kamu tuh ya, Ra, lelet banget. Coba kalo kamu cekatan, pasti nggak akan kamu kehujanan begini,” omel Askha. Gadis itu sudah basah kuyup, baju dan hijabnya juga sangat membentuk ditubuhnya.

Menyadari itu, Askha langsung memalingkan wajah dari gadis dihadapannya. Biar bagaimanapun, Askha tetap menghargai setiap wanita, terlebih yang yang menutup auratnya seperti ini, Askha harus bisa menghormatinya dengan tidak seenaknya memandang.

“Pakai ini.” Askha menyodorkan payung yang ia pakai pada gadis itu. Namanya Zahra Nisrina Farhat, gadis itu menggeleng pelan.

“Udah terlanjur basah, nggak perlu pakai payung lagi. Aku cuma takut sama petirnya, Kha,” ucap Zahra seraya memeluk kedua tangannya di depan dada. Dingin. Angin kencang yang membuat gamis dan hijabnya berterbangan tak beraturan.

“Amankan hijabmu, Ra. Jangan sampai terhempas angin,” ucap Askha memberi peringatan. Zahra mengerjap pelan dan memegangi hijabnya. “Pegang.” Askha kembali menyodorkan payung itu pada Zahra. Gadis itu menerimanya.

Zahra semakin dibuat bingung oleh Askha saat laki-laki itu membuka jaketnya. “Askha, kamu ngapain, dingin lho ini. Kenapa jaketnya dibuka, Kha? Kamu mau sakit? Mau hujan-hujanan? Lebih baik kita kembali ke Kampus sekarang.” Zahra menjadi ribet sendiri. Sedangkan Askha, dia menghembuskan napas pelan, gadis ini sedari dulu benar-benar sangat cerewet.

“Pakai.” Askha menyodorkan jaketnya pada Zahra. “Baju kamu basah, pakai ini, untuk melindungi lekuk tubuhmu,” sambung Askha. Zahra mengerjap dan menatap tubuhnya sendiri. Benar saja, gamis yang sudah basah ini membuat lekuk tubuhnya sangat terlihat.

Hening.

“Askha, serius?” tanya Zahra.

“Serius apa?” balik tanya Askha.

“Serius mau nikah?” ulang Zahra. Dia refleks, tanpa sadar dirinya menanyakan hal itu.

“Kamu nggak jelas deh, Ra. Cepat ambil dan pakailah.” Askha menyampirkan jaketnya di bahu Zahra kemudian langsung beranjak pergi meninggalkan gadis mungil itu sendirian.

Zahra merutuki dirinya. “Astaghfirullah, pertanyaan konyol macam apa tadi, ya Allah.”


















***

Ohalooo, pakabar kalian?
Setahun aku ga publish, libur nulis, sekarang muncul lagi bawa cerita baruuu😂 hehe
Semoga suka kalian❤️

Perfect With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang