Chapter Four

16 2 0
                                    

"Hurry up ! Come on !"

Teriak petugas kereta api , berdiri di pintu gerbong kereta, ketika melihat Aiden berlari menuju pintu kereta.

Aiden berlari semakin cepat, lalu memberikan tiket yang ada di tangannya kepada petugas kereta api itu ketika ia berhasil sampai di depan pintu gerbong. Petugas itu merobek tiketnya dan memberikan potongan yang masih tersisa dari tiket itu pada Aiden. Aiden pun mengambilnya lalu masuk ke dalam kereta. Ia memilih kursi yang dekat dengan pintu, lalu duduk disitu.

Ia mengeluarkan handphonenya untuk mengirim pesan kepada pelatihnya, Takeru Yatsuma, bahwa ia akan meninggalkan kota New York dan berada di kota asalnya selama tiga hari. Namun, belum sempat ia mengirim pesan itu, sebuah pesan masuk ke dalam kotak pesannya. Aiden dengan cepat mengirim pesan yang telah di ketiknya itu, lalu membuka pesan yang baru saja masuk ke handphone nya.

From : Matthew Orlov

Hei! I hope you read this massage immediately. Mom's ill. She's been in the hospital , near our house, for two days. I hope you can come and visit. We miss you, Aiden.

Baca Aiden dalam hatinya. Aiden menghela nafas panjang. Ia menutup kembali pesan itu dan mengambil earphone nya dari ransel nya. Ia memasangkannya pada handphone nya dan mulai mendengarkan lagu.

Pikiran nya telah berantakkan. Ia takut ia akan kehilangan ibunya. Namun ia tidak dapat melakukan apa-apa.

Sepanjang perjalanan, Aiden sama sekali tidak tenang. Ia sama sekali tidak bisa tidur seperti penumpang lainnya. Berita tentang ibunya membuat nya gelisah bukan kepalang.

Untung nya perjalanan menuju kota kelahirannya itu tidak terlalu lama. Sehingga hanya dalam beberapa jam, Aiden telah sampai di Manhattan.

Ketika kereta berhenti, dengan segera Aiden keluar dari kereta. Ia berlari keluar dari stasiun. Ia mencari taksi dan meminta supir taksi itu untuk mengantarnya ke sebuah Rumah Sakit di dekat rumahnya, dimana ibunya di rawat.

Selama di taksi, Aiden menelfon adiknya, Matthew untuk mengetahui dimana letak persis ibunya dirawat. Namun Matthew tidak mengangkat telfon nya. Aiden pun semakin panik. Keringat dingin mulai membasahi seluruh tubuhnya dan tatapannya mulai kosong.

"Sir, we're here.."

Kata supir taksi itu memberhentikan taksi nya di lobby Rumah Sakit.

Aiden yang tersadar dari lamunannya, mengambil dompetnya dari saku belakang celananya. Tidak tahu uang berapa yang ia ambil, ia langsung memberikannya pada supir taksi itu dan keluar dari taksi.

"Sir ! It's too much !"

Teriak supir taksi itu setelah menerima uang dari Aiden dan menghitung nya.

Namun Aiden tidak menghiraukannya. Ia berlari menuju meja reseptionis yang sangat dekat dengan pintu masuk dan menyebutkan nama ibunya.

Hanya dengan menyebutkan nama ibunya, Seorang perempuan yang bertugas di meja reseptionis itu langsung memberikan petunjuk. Aiden langsung berlari mengikuti petunjuk yang di terima nya. Ia berlari menuju lift dan menuju ke lantai tiga dan ketika ia sampai, ia langsung mencari ruangan bernomor 334, dimana ibunya di rawat.

Dari kejauhan ketika mencari ruangan bernomor 334, Aiden melihat adiknya yang berdiri dengan cemas bersama tunangannya. Aiden pun semakin panik. Ia lamgsung berlari sekencang mungkin.

"Aiden ! No ! "

Teriak Adiknya menahannya sebelum ia sampai ke depan pintu. Namun ia berhasil lepas dari tahanan adiknya dan berhasil berdiri di depan pintu. Tetapi, betapa hancurnya hati Aiden ketika melihat ibunya yang jantung nya tengah di kejutkan oleh dokter karena jantung nya telah berhenti.

Air mata pun mengalir dan membasahi pipi Aiden. Ia terpaku di depan pintu dan tidak dapat bergeming. Tubuhnya lemas seketika itu juga. Sementara adiknya bersandar di dinding dengan tunangannya yang memeluknya. Mereka tidak bisa melakukan apa-apa.

Tidak kuasa melihat ibunya Aiden memutuskan untuk menghentikan prosedur yang di lakukan dokter itu. Ia masuk ke dalan ruangan dan menghampiri dokter itu.

"Doc , please.. stop ! Please !! Let her rest ! please ! I beg you !"

Teriak Aiden yang di tahan oleh para suster yang ada di ruangan itu. Dokter yang melihat itu pun menghentikan prosedurnya.

"Alright , note the date and time. We're done." Kata dokter itu menghela nafas panjang. Para suster pun melepaskan tangan nya dari Aiden dan Aiden pun langsung berlari ke samping ibunya dengan tangis yang meledak-ledak.

Sementara tim medis bersiap meninggalkan ruangan, Aiden tetap diam di samping ibunya dan mulai teringat akan kenangan-kenangan nya bersama ibunya. Dari ia pertama kali masuk ke sekolah, ia merayakan ulang tahunnya yang ketiga, sampai ia harus di ambil oleh agency nya karena kematian ayahnya dan terakhir kalinya ia bertemu dengan ibunya pada liburan musim panas lalu.

"What ever happen to you, don't be afraid. Because I will always be with you."

Suara itu bergeming di pikiran Aiden tepat seperti ketika ibunya mengatakannya. Mengingat kalimat itu, tangis Aiden semakin menjadi-jadi.

Hingga beberapa waktu berlalu, ia pun berhenti menangis dan memutuskan untuk merelakannya. Ia keluar dari ruangan itu dan menghampiri adiknya yang ada di luar ruangan.

"Hei !" Panggilnya, berdiri di samping adiknya.

"Hei !" Balas adiknya tersenyum dengan mata yang masih berkaca-kaca.

"Come on ! Let's take care of mom's funeral. I only have three days till Sunday here." Kata Aiden balas tersenyum dan merangkul adiknya menuju kantor di rumah sakit itu yang akan mengurus masalah pemakaman.

Another EphemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang