Sabita Patranikara

26 0 0
                                    

Setiap manusia, terutama wanita pasti setiap hari akan mengalami fase yang biasa disebut overthinking. Hal itu sudah dapat dipastikan dan dapat dibuktikan. Sabita sebagai salah satu buktinya.

Gadis itu sedang termenung meratapi nasib buruk yang ia miliki selama hidup di dunia ini. Sedikit dramatis namun itulah kenyataannya.

'Kenapa gue gabisa secantik mereka ya?'

'Kapan gue bisa beli apa yang gue mau tanpa harus mikirin besok makan apa?'

'Kenapa hidup mereka seberuntung itu? Dan kenapa hidup gue sebuntung ini?'

'Gimana ya hidup gue setelah lulus ini? Sekarang aja udah dipenuhi ketakutan, gimana selanjutnya? Apa gue bisa hadapin dunia setelah lulus ini?'

'Ga kaya, ga cantik, ga pinter, ga berbakat, ga guna, tawaran apa yang Allah kasih sebelum gue dilahirkan sampai sampai gue bilang iya untuk lahir didunia?'

Sabita mengusap kasar air mata yang menetes dipipinya. Menggeleng kuat untuk mengusir berisiknya isi kepala, mencegah pikiran pikiran itu menguasai dirinya.

Namun, dirinya tidak beranjak dari posisinya. Tetap termenung, pikirannya melayang jauh kesana kemari.

Masa depan, orang tua, sekolah, diri sendiri, pertemanan, pekerjaan. Pendewasaan ini terlalu sulit untuk anak pertama penanggung harapan orang tua.

Lelah selalu is rasakan setiap harinya. Kepala berisik, fisik yang sakit. Cukup kualahan untuk menghadapinya sendiri.

Sering di cap sebagai gadis pecicilan, toxic, pick me. Namun apakah Sabita peduli? Sebenarnya dia peduli, namun memilih untuk pura pura tuli. Jika disiang hari ia akan tertawa di malam ia akan termenung dengan tangisan dan berisiknya isi kepala.

Banyak sakit yang ia pendam, tidak bisa diungkapkan dengan kata kata. Jangankan bercerita, diri sendiri saja bingung dengan jalan pikirannya

Mahameru, Mahapati. Keduanya anak kembar yang ia temui sejak pertama kali menginjakkan kaki disekolah ini. Dimulai saat masa MPLS mereka bertiga dikenai hukuman dijemur selama seharian penuh di bawah matahari yang sedang semangat memancarkan panasnya.

Ketika itu, benar benar hanya mereka bertiga yang mendapatkan hukuman, dengan kasus mereka tidak membawa bekal dari rumah. Alasannya? Karena ibu belum masak katanya.

Sejak saat itu, mereka memilih untuk menjadi teman, didukung dengan kesamaan jurusan dan kelas yang mereka tempati hingga saat ini.

Sabita mengaku, berteman dengan dua laki laki kembar yang hanya sama parasnya namun beda sifatnya itu menarik. Setiap hari ada saja kelakuan aneh dari keduanya.

Sabita cukup terbantu dengan kehadiran kedua manusia itu. Dirinya jadi memiliki teman yang setidaknya bisa ia ajak kemanapun dan bisa ia ajak untuk bercanda sesuai dengan humor mereka.

Apalagi mereka memiliki nasib yang tidak jauh berbeda, membuatnya lebih leluasa. Banyak yang memandang mereka buruk, namun nyatanya mereka hanya tau sebatas nama. Padahal aslinya,

"SABITA! AYO KEMASJID, MAGHRIB MAGHRIB MALAH BENGONG DI TERAS!"

Seruan keras itu membuat lamunan panjang Sabita terhenti. Gadis itu mengalihkan tatapan pada pemuda yang berseru tadi. Mahameru disana, berdiri di depan rumahnya sendiri yang berhadapan langsung dengan rumah Sabita. Dibelakangnya terdapat Mahapati yang terlihat merapikan rambutnya yang setengah basah.

"EH IYA! TUNGGUIN GUE, MERU, PATI!" Sabita segera beranjak dari duduknya, masuk kedalam rumah dengan berlari untuk mengambil mukena.

Seburuk buruknya mereka, sesulit apapun keadaan hidup mereka, sholat tidak pernah mereka tinggalkan. Memohon kepada Maha Pencipta adalah satu satunya kegiatan gratis dengan banyak manfaat dan keuntungan yang dapat selalu mereka lakukan.

Selain kewajiban, beribadah kepada Sang Pencipta juga merupakan cara mereka untuk melarikan diri dari dunia sementara ini. Mungkin masih banyak kesalahan yang mereka lakukan, sering berkata kasar, tidak bersyukur, mengeluh, banyak meminta. Namun.. mereka juga manusia biasa yang bisa merasakan lelah dan kecewa.

Banyak kurang boleh, lupa sama Tuhan gaboleh! Itulah prinsip Sabita, Mahameru dan juga Mahapati.

...

"Eh itu apa putih putih!"

"MERU DIEM LO NJING!" 

"HAHAHAHA"

Gelak tawa menguar dari belah bibir Meru, mereka bertiga -kembar Maha, juga Sabita- baru pulang dari masjid. Mereka memang sengaja menunggu waktu isya, serta tadarus Al Qur'an bersama remaja remaja di daerah sana.

"Baru juga pulang sholat, ngaji, udah misuh misuh aja tu mulut." Nyinyir Pati.

Sementara Sabita hanya terkikik kecil, "ya namanya juga manusia, tempatnya salah dan dosa."

"Tapi dosa lo kebanyakan!" Sahut Meru.

"Gue juga sadar kok, dosa dosa gue emang sebanyak itu. Tapi kalian tau ga sih? Gue kalau sedih, marah, kecewa, pasti yang bisa bikin gue bahagia cuma dengan ngelakuin hal hal yang menyebabkan dosa. Kaya.. marah marah gajelas, bahkan ke ibu, bapak. Misuh misuh sendiri, pokoknya banyak lagi."

Kedua Maha diam, menyimak cerita gadis itu dengan seksama.

Sabita tersenyum simpul, "ayo buruan balik, keburu ada demit beneran kan ga lucu!"

"Lo bisa jadiin kita pelampiasan kalau butuh." Ucap Pati sebelum teriakan Meru menginterupsi.

"YANG TERAKHIR SAMPAI RUMAH BESOK LARI KE SEKOLAH!"

Bita dan Pati melotot mendengarnya, apalagi melihat Meru yang sudah ngacir duluan meninggalkan keduanya yang masih mematung.

"BOCAH GENDENG!" Umpat Bita.

Akhirnya malam ini ditutup dengan aksi kejar kejaran antara kembar Maha dan Sabita Patranikara.

Kesedihan itu bisa sirna jika menemukan penawar yang tepat. Luka bisa sembuh jika diobati dengan obat yang tepat.

Terserah TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang