Sekolah bukan rumah

29 0 0
                                    

Pagi ini, Sabita dan dua anak kembar sudah sampai di sekolah. Ketiganya duduk di bangku kelas 11 namun tidak satupun dari mereka yang merasakan nyaman bersekolah disini, walau sudah hampir 2 tahun menjadikan sekolah ini sebagai tempat menimba ilmu setiap harinya.

"Duh, kapan pulang." Gumam Sabita, omong omong mereka itu satu kelas, dan sekarang ketiganya sedang duduk lesehan di belakang kelas, punggung mereka bersandar pada tembok.

Sabita duduk ditengah, Mahameru sebelah kanan dan Mahapati di sebelah kiri. 

"Kita baru berangkat tiga puluh menit yang lalu loh. Udah ngomongin balik aja si goblok." Celetuk Mahameru membalas perkataan Sabita.

"Ga betah anjing disini." jawab Sabita lagi.

"Gue juga ga betah cok disini, tapi mau gimana lagi? Kalau bisa milih juga gue ga mau sekolah disini." Sambung Mahameru.

Sementara mahapati tetap diam, matanya tertutup menikmati perdebatan kedua manusia tidak tahu malu tersebut.

Mahapati juga sama seperti kembarannya dan sahabatnya itu, sama sama tidak betah bersekolah disini. Ah, bukan tidak betah bersekolah disini, tapi berada dikelas ini. Kelasnya ini terasa sangat menakutkan dan mencekam, bukan karena berhantu atau berpenunggu. Tapi karena penghuninya yang egois, dan bertampang sinis, mereka susah untuk didekati, mereka seperti mengucilkan ketiganya entah kerena apa.

"Andai gue bisa pindah sekolah." Celetuk Mahapati menimpali perdebatan kedua anak adam dan hawa disampingnya. sementara keduanya tiba tiba terdiam, mengkuti apa yang dilakukan oleh mahapati, yaitu merenung dengan menutup mata mereka. "Gausah pindah sekolah deh, pindah jurusan aja gapapa."

Ketiganya termenung, mereka sudah berulang kali bahkan setiap hari mencoba untuk beradaptasi dengan lingkungan ini, namun rasanya sangat sulit. Setiap hari juga mereka berdoa semoga hari ini cepat barakhir agar mereka bisa segera pergi dari kelas ini.

Setiap saat pula mereka berpengharapan agar mereka bisa pindah ke kelas lain atau kesekolah lain. Namun sayangnya, mereka bersekolah di sekolah kejuruan atau biasa disebut SMK. Dan lebih sialnya lagi, SMK ini adalah SMK negeri, dimana siswa siswi tidak bisa berlaku seenaknya atau pindah ke sekolah lain dengan seenaknya.

"Pengen balik ke SMP aja ga bisa ya? Gue kangen temen temen sekelas deh, dulu gue nyaman banget di kelas itu. Gue juga selalu berdoa biar gue terus sama sama bareng mereka. Tapi nyatanya ga bisa." Ucap Sabita.

"Heem, masa SMP emang se terbaik itu buat gue, gue ga pernah khawatir setiap mau berangkat sekolah, gue juga udah jadiin mereka sebagai tempat pulang gue yang kedua." Timpal Mahameru.

"Waktu harus tetep berjalan, perpisahan itu bukan sebuah kemauan tapi keharusan.  Kita harus paham kalau semuanya itu ada masanya, dan masa SMP itu udah berakhir."

Setelah Mahapati mengatakan hal tersebut, ketiganya terdiam, sibuk dengan pikiran mereka yang bercabang. Kehilangan selalu mengharuskan kita untuk ikhlas tanpa memikiran bagaimana sulitnya untuk merelakan.

"Udahlah, daripada galau gini mending kita ke kantin aja." Ucap Mahameru, berniat baik untuk mengajak kedua sahabatnya pergi dari zona galau yang bisa membahayakan mental mereka yang tidak seberapa itu.

"Jajan mulu, bahagia engga miskin iya." Balas Sabita.

Tubuhnya kurus, padahal banyak makan. Ternyata habis ditelan pikiran yang rakus.

"Iya juga sih, gue juga lagi bokek."

Haha. Ujung ujungnya mereka tidak beranjak dari duduknya. Hidup dari keluarga sederhana membuat mereka juga harus mengerti arti dari hemat. Mungkin itu juga salah satu faktor kenapa ketiganya di asingkan disini.

Boro boro ber outfit mewah seperti yang lain, bisa nongkrong sambil ngadep kopi sama sepiring gorengan aja mereka udah bersyukur.

...

Bel istirahat sudah berbunyi, membuat seluruh siswa siswi berhamburan keluar untuk menghirup udara segar setelah berkutat dengan banyak buku dan mendengarkan penjelasan materi bapak ibu guru.

"Ke bengkel yuk, lihat jadwal piket minggu besok." Ajak Sabita.

Meru dan Pati mengangguk lalu beranjak, mereka bertiga berjalan beriringan keluar dari kelas 11 TKR 2 untuk menuju ke bengkel yang biasa dijadikan tempat praktek anak anak jurusan TKR.

Bengkel ini bisa dibilang cukup besar dan luas, selain sebagai tempat praktek bengkel juga dibuka untuk umum, jadi siapapun yang ingin service, dan sebagainya bisa datang ke bengkel BINA BANGSA ini. 

Lalu siapa yang mengoperasikan bengkel? Tentu saja anak anak dari jurusan tkr mulai dari kelas 10 hingga 12. Mereka mendapat jadwal piket untuk membersihkan dan mengoperasikan bengkel, namun jadwal piket bersih bersih dan mengoperasikan itu berbeda ya.

"Dih, kok cepet banget dah udah gue aja hari senin." Gerutu Bita.

"Gue lusa." Celetuk Pati.

Meru tersenyum sinis, "gue udah kemarin." Lalu ia terkekeh kecil seolah mengejek keduanya.

"Sialan!"

"Yaudah sih, tinggal jalani aja, piket seru kok." Ucap Meru bermaksud menghibur, walau tidak berguna.

"Piket doang mah seru, jaga nya yang kagak!" Sungut Sabita.

Walau sudah terbiasa, namun rasanya Bita masih malas jika harus berurusan dengan bengkel. Dulu waktu masih awal awal memang menyenangkan, namun lama kelamaan bosan juga. Kalau boleh jujur, jaga bengkel itu cape, apalagi jika bengkel sedang ramai. Beh! Bisa sampai maghrib pulangnya.

"Salah siapa masuk tkr, ibaratnya Allah telah memberikan pilihan terbaik jurusan lain tapi lo malah milih tkr." Sahut Mahameru.

Sabita lagi lagi menggerutu, jangan salahkan dia tolong, ini semua terjadi karena semua jurusan SMK BINA BANGSA ini tidak bisa ia jangkau selain tkr.

Pertama, akutansi. Sabita itu anak bodoh dalam matematika, dia tidak pernah mendapat nilai di atas 30 bahkan saat masih menduduki bangku sekolah dasar.

Kedua, tkj atau teknik komputer jaringan. Dulu ia sempat berpikir untuk masuk jurusan ini, tapi ia ingat dia anak yang mudah emosi, jika ada satu kabel saja yang ruwet, bisa bisa Sabita memotong semua jaringan kabelnya hingga tak tersisa.

Ketiga, tata boga atau kuliner. Dari awal, jurusan itu yang paling Sabita hindari, kenapa? Karena Sabita lebih bodoh dalam hal memasak bahkan dari Meru dan Pati. Gadis itu, tidak bisa memasak sama sekali.

Keempat, perhotelan. Nah ini lagi, Sabita juga sudah bertekat untuk tidak masuk ke jurusan ini, alasannya hanya satu. Sabita merasa dirinya tidak cantik dan ramah.

Baiklah, kembali ke realita.

"Stop nyalahin gue, gue cuma anak yang gatau arah hidup."

Meru dan Pati terkekeh, lalu dengan kompak keduanya merangkul pundak Sabita.

"Yaudah sih neng, balik ke kelas aja yuk!"

Sabita hanya mengangguk malas, mereka bertiga berjalan meninggalkan area bengkel.

Terserah TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang