"Ada yang ingin bertanya untuk slide ini?"
"Saya,"
Menghela napas, aku memasang tatapan sinis kepada lelaki yang berani-beraninya bertanya di detik-detik jam meeting kami berakhir. Si pemateri tentu tidak perlu usaha lebih untuk mencari siapa yang merespon dirinya, jelas. Suara lelaki itu
sudah menjadi langganan tiap ada tawaran bertanya selama meeting berlangsung."Pegel gak 'sih?" Sambil membenarkan posisi duduk, aku memulai obrolan kecil entah kepada siapa, intinya aku mencoba mencari kesibukan dengan membangun obrolan ringan sambil menunggu dua orang di depan itu tutup mulut.
"Banget. Kita dapat bangku yang ini 'sih," Fifi, perempuan di samping kananku menanggapi. Aku dan dia sama-sama melihat ke bawah. Bangku besi yang kami duduki ini memang keras, bikin pegal, tipikal bangku ruang tunggu di layanan publik. "coba liat 'tuh yang di depan, pantes mereka tenang dari tadi, bangkunya enak." lanjutnya sambil menunjuk ke arah depan dengan dagu.
Aku memerhatikan ke arah yang dimaksud. Fina dan aku termasuk ke dalam lima dari enam belas karyawan baru yang mendapat bangku kurang enak. Mungkin ini juga alasan mengapa aku tidak tertarik dengan materi yang dipaparkan. Posisi kami di belakang, dengan distraksi yang banyak serta bangku sialan ini. Pantas saja energi dan antusias si lelaki-kurus-kacamata-banyak-tanya-itu terlihat stabil selama menjalani meeting. Beda dengan lima orang di barisanku yang energinya sudah termakan oleh bangku.
Pada akhirnya aku dan Fifi tenggelam dalam obrolan kecil sampai meeting hari ini dibubarkan. Berbeda dengan Fina, Mila--perempuan di samping kiriku--terlihat lebih serius dalam menyimak materi, makanya aku sedikit ragu untuk mengajaknya mengobrol. Selain itu, ia juga lebih tua dariku, jadi ada rasa segan untuk mengajaknya bergabung.
Sekarang aku dan yang lain berada di lift yang membawa kami ke lantai dasar setelah seharian di lantai 26. Aku menatap ke depan, menampilkan bagian depan lift yang didesain full cermin. Terlihat elegan, beda dengan kantorku yang sebelumnya. Dengan begini, aku bisa melihat satu-persatu pantulan manusia yang akan menjadi rekan kantorku dalam entah beberapa tahun kedepan. Entah berapa yang bertahan, entah siapa yang gugur duluan.
Ngobrol-ngobrol soal gugur, aku baru saja melakukannya satu bulan yang lalu. Bisa dibilang perusahaan tempatku dulu merupakan kompetitor di bidang sama dengan perusahaan sekarang. Keduanya merupakan milik swasta yang punya nama di masyarakat. Beruntungnya dewi fortuna sedang berpihak padaku. Setelah resign, aku hanya menghabiskan waktu sebulan di rumah sebelum lanjut ke tempat sekarang. Hitung-hitung istirahat, kata mama.
Sambil menunggu bis jurusanku lewat, aku membuka gulungan earphone dan mulai memilih lagu pada aplikasi pemutar musik spotify. Orang yang berdatangan ke halte tidak ada jeda, selalu ada yang masuk. Penampilan mereka seperti ada template-nya, tipikal budak korporat berkemeja dengan lanyard yang menggantung di leher. Penampilan itu juga ada pada lelaki dekat pintu halte yang tidak asing. Si banyak tanya ternyata naik transjakarta juga. Tubuhnya yang tidak jauh lebih tinggi dariku itu dibalut kemeja polos warna biru langit, sementara di lengannya menggantung ransel hitam bergaris biru. Jika boleh menilai, aku menatapnya sebagai fresh graduated yang dulunya mahasiswa nerd. Mungkin ini merupakan pekerjaan pertamanya.
Mengetahui ia tidak menyadari keberadaanku, aku pun bergerak, sedikit mengambil jarak lebih jauh agar tidak terjadi kontak mata. Aku termasuk orang yang tidak malas menyapa atau basa-basi kepada orang baru, tapi karena tidak tau namanya—dan tidak tertarik—jadi agak canggung jika memulai formalitas itu di sini.