Salah satu alasan Renjun selalu menolak menatap mata Jaemin setiap ia baru saja mendapat sakit dari alpha itu, adalah karena setelah matanya saling tatap dengan Jaemin. Renjun selalu ingin menyudahi semua jarak yang ia ciptakan antara mereka, omega itu selalu ingin memeluk alphanya dengan erat. Renjun selalu mudah dibuat luluh lagi oleh Jaemin.
Bahkan tanpa sebuah hadiah pun, Renjun bisa saja kembali mengulas senyum manis untuk alphanya itu. Hanya dengan menatap wajahnya sudah cukup membuat Renjun merasa ia hanya perlu menerima lukanya begitu saja, lalu memaafkan lagi Jaemin.
Tapi kali ini, Renjun mengeraskan hatinya. Meski dengan mata yang memanas setelah melihat luka yang dimiliki Jaemin juga, Renjun tetap melanjutkan langkahnya untuk pergi dari apartemen. Pergi untuk menghindari alphanya, ia akan membuat jarak sebanyak yang ia bisa. Ia akan hilang dari pandangan alpha itu selama yang ia bisa.
Karena untuk melepas hubungan mereka, itu tak akan bisa Renjun lakukan. Tak akan sanggup Renjun lakukan. Cintanya pada Jaemin tak akan semudah itu lenyap, tapi saat ini Renjun merasa bahwa ia sudah begitu lelah dengan apa yang ada di dalam hubungan mereka ini. Renjun merasa perlu menjauh beberapa saat.
"Renjun, aku sekarang seperti orang jahat yang menjauhkanmu dari matemu sendiri. Padahal kau sendiri yang minta aku jemput." Haechan mengusap bahu Renjun yang kini menangis terisak.
Tadi saat Haechan menunggu Renjun turun, ia dikejutkan dengan temannya itu yang membuka pintu mobilnya dengan buru-buru. Dan belum juga ada percakapan kecil antara mereka, Renjun tiba-tiba menangis sambil menutup wajahnya sampai sekarang.
Lalu Renjun menatap Haechan dengan wajah memerah dan air mata bercucuran. "Haechan, kau harus melihat keadaan Jaemin bagaimana. Sekali lihat kau akan tau ia begitu— kesakitan." Renjun mengatakannya dengan susah payah, air matanya tak bisa berhenti.
Ia sudah sakit hati dengan semua sikap Jaemin, tapi ia juga tak bisa mengabaikan orang ia cinta saat tau ia juga sama mendapat sakit. Tadi sebelum pergi Renjun hanya mengatakan dengan pelan agar Jaemin mengobati lukanya dengan baik, sebelum ia berjalan cepat keluar dari apartemennya.
"Sepertimu." Kata Haechan.
Benar mungkin Jaemin juga sakit mendapat perlakuan buruk dari papanya, tapi apa Renjun hanya berpikir sampai sana saja? Lihat dirinya sendiri yang sekarang dapat Haechan lihat kembali memiliki memar, padahal baru minggu lalu ia dibuat nyaris menangis melihat bekas cekikan Jaemin pada leher Renjun.
"Ini sudah jadi langkah yang benar Renjun. Menjauh darinya sebelum semuanya semakin kacau dan membuatmu lebih banyak terluka." Haechan meyakinkan lagi Renjun bahwa tak ada yang salah dengan apa yang sekarang sedang coba dilakukannya, menghindar.
Tangis Renjun mengencang lagi, teringat bagaimana tatapan memohon alphanya tadi saat memintanya agar ia tak pergi. Matanya terlihat begitu sedih, membuat Renjun sakit setiap teringat hal itu.
"Aku membiarkannya sendirian." Ujar Renjun dengan napas tersenggal.
"Ini agar Jaemin sadar bahwa jika ia terus bersikap seperti itu, maka kepergianmu yang akan ia dapat. Tolong Renjun, untuk sekarang jangan menuruti rasa cinta dan khawatirmu dulu. Itu—" Haechan menghentikan ucapannya sejenak, mendesah lelah kemudian.
Sudah cukup banyak kalimat yang ia ucapkan untuk Renjun, berharap temannya itu juga segera sadar kalau hubungannya dengan Jaemin memiliki banyak kesalahan.
"Kalau Jaemin mencintaimu sebesar bagaimana cintamu saat ini, ia harusnya bisa menahan diri agar tak melayangkan tangannya padamu. Renjun, kau juga perlu bukti tentang kalimat cinta dan rasa takut kehilangan yang sering Jaemin ucapkan padamu. Kalau ia benar takut kehilanganmu, ia akan berusaha merubah sikapnya terhadapmu."
Renjun mendengar semua ucapan panjang lebar Haechan, tapi pikirannya tetap tertuju pada Jaemin yang sekarang ia tinggalkan sendirian dengan kondisi seperti itu. Lagi, Renjun merasakan sakit. Membayangkan ia mendapat rasa sakit lalu tak ada siapapun yang menjadi tempat mengadu, atau sekedar berbicara untuk melupakan kesakitan yang dirasakan. Itu sangat menyedihkan.
Omega itu tak tega membayangkan seberapa terluka hati Jaemin saat ini, tapi ia juga ingin mencoba memberi jarak untuk ia istirahat dari hubungan mereka. Sebentar saja.
Setelah kepergian Renjun, Jaemin hanya diam mematung di tempat yang sama. Merasakan ketakutannya kembali mengambil alih, tangannya gemetar dengan setetes air mata yang jatuh begitu saja.
Renjun hanya akan pergi sebentar, kan?
Jaemin mengingat bagaimana omeganya hanya pergi mengenakan mantel tanpa adanya barang apapun yang dibawanya. Menunjukkan Renjun tetap akan kembali pulang kemari, apalagi ini apartemennya sendiri.
Tapi hingga keesokan harinya, Jaemin tak juga mendapati kepulangan Renjun. Padahal alpha itu masih dalam usaha ingin meminta maaf atas perbuatannya.
Jaemin perlu maaf dari Renjun, jika kemarin ia belum bisa mendapatkannya. Hari ini ia harus bisa mendengar omega itu memaafkannya, setidaknya itu memberitaunya kalau Renjun tak berubah jadi membencinya.
"Renjun..." Nada senang Jaemin tak bisa ditutupi, setelah dari kemarin omeganya itu bahkan tak membalas pesannya satupun.
Akhirnya hari ini saat Jaemin memutuskan untuk mencoba menghubunginya lagi, Renjun ternyata masih mau mengangkat panggilannya. Meski tak ada sapaan manis dari sana, Jaemin cukup senang mendengar gumaman pelan omeganya.
"Kau—membaik?" Jaemin bertanya ragu, tenggorokannya terasa begitu nyeri saat melontarkan pertanyaan itu.
Ada satu kata yang Jaemin dengar meski samar, itu adalah kata 'Ya', dan alpha itu tersenyum lagi mendengarnya. Lega rasanya.
"Boleh tidak aku meminta waktumu petang nanti? Aku ingin bertemu, sebentar saja. Setelah itu kau boleh ke rumah Haechan lagi, kau boleh menjaga jarak lagi denganku." Ujar Jaemin.
"Asal jangan pergi." Bisiknya kemudian.
Beberapa saat tak ada juga sahutan dari Renjun, membuat Jaemin nyaris berpikir bahwa omeganya itu telah memutus sambungan telpon. Tapi kemudian suara Renjun berdeham pelan, lalu menjawab dengan serak. "Aku akan datang."
Jawaban itu cukup membuat Jaemin tersenyum lebar, melupakan fakta bahwa rahangnya nyeri. Bahkan untuk makan pun Jaemin mesti memilih makanan yang mudah ia kunyah.
"Aku akan menunggumu."