1764 ( 1 )

69 34 29
                                    

Pada dasarnya seorang wanita harus menurut pada pria. Anak perempuan adalah harta yang berharga bagi keluarga yang harus di jaga. Namun apa daya dengan hidup yang diatur orang tua. Menolak tak bisa, menjalanipun tak enggan.

Tahun 1755 seorang bayi perempuan telah lahir dari rahim sang ibunda. Disaat sang ibunda berbahagia. berbeda halnya dengan sang ayah. Pria jangkung itu terlihat begitu kesal atas kelahiran anaknya sendiri. Terkadang ekspetasi kita yang membuat kita kecewa sendiri.

Jika bisa memilih, setiap orang tua ingin memiliki seorang anak laki-laki. Laki-laki adalah kasta tertinggi pada masa itu. Mereka menganggap anak perempuan adalah beban bagi keluarga.

Pemikiran sempit itu yang membuat banyaknya perempuan tersiksa baik mental dan fisik mereka. Perempuan sering kali tidak mendapat keadilan dalam ranah masyakarat. Ketidakadilan yang dimaksud adalah pendidikan.

Pada zaman kolonial Hindia Belanda, perempuan tidak mendapat haknya untuk belajar. Walau berasal dari keluarga priyayi tetap saja perempuan tidak bisa mendapatkan pendidikan yang sama dengan seorang laki-laki.

Tidak hanya soal pendidikan, ketidakadilan juga ada distatus mereka di ranah masyakarat. Perempuan di era kolonial memang mengalami diskriminasi ganda. Identitas mereka sebagai perempuan pribumi, membuat mereka termarjinalkan. Perempuan pribumi pada saat itu seringkali diasosiasikan sebagai gundik (nyai) bagi orang Eropa atau Timur Asing.

Perempuan sering kali direndahkan hanya karena gender mereka. Mereka di anggap lemah dan hanya menyusahkan saja. Mereka di jual belikan layaknya barang. Dijadikan budak nafsu untuk para pria berhati binatang. Penyiksaan dimana-mana, penindasan perempuan meraja lela.

Nawang Wulan, gadis malang yang harus mengalami penindasan karena dirinya adalah seorang perempuan. Haknya telah di rengut paksa tanpa perasaan. Haknya belajar, haknya bermain, haknya memilih pendamping hidup.

Dibawah rintikan hujan, Wulan dan teman-teman tengah bermain dengan serunya. Tiba-tiba saja seorang pria paruh baya datang dengan membawa sebuah rotan. Wulan kecil ditarik dengan kencang hingga dirinya hampir tersungkur ketanah.

Wulan kesakitan dan menangis. Air mata mulai mengalir deras dari matanya. Tangisnya bercampur dengan air hujan yang turun membasahi bumi Hindia Belanda. Wulan tak berusaha memberontak, ia tahu jika melakukan hal itu maka nasibnya akan jauh lebih parah.

"Bapak, sakit bapak." rengek Wulan kecil yang kesakitan.

"Dasar anak tidak berguna, main saja kerjaanmu!" bentak sang bapak sembari terus menyeret Wulan untuk pulang ke rumah dibawah guyuran air hujan.

Sesampainya di rumah Wulan yang menangis berusaha mencari sang ibu tercinta. Ia memeluk sang ibu dengan eratnya. Ia takut akan perbuatan keji bapaknya sendiri terhadap dirinya.  Belum sempat luka itu sembuh kini luka baru telah ada pada dirinya.

Tangisnya semakin kencang saat sebuah rotan mengenai kulit putihnya. Pukulan itu begitu kencang hingga meninggalkan bekas kemerahan yang menyakitkan. Bapaknya terlihat sangat murka akan perbuatan Wulan yang tidak salah. Wulan bertanya-tanya dengan salahnya. Ia hanya bermain layaknya anak biasa, namun kenapa ia harus dipukul dan merasa sakit.

Bahkan sang ibunda pun tak bisa menyelamatkan dirinya dari murka sang bapak yang begitu membara. Wulan hanya pasrah dengan nasibnya. Terkadang Wulan pernah dikurung seharian di rumah. Ia diperintah untuk membantu sang ibu di dapur.

Wulan kecil tak tahu dengan maksud ucapan sang bapak yang mengatakan " wanita itu tidak perlu belajar karena tidak berguna pada akhirnya juga memasak di dapur, mengurus anak."

Ucapan itu begitu menyakitkan bagi seorang perempuan. Bahkan perempuan kalangan priyayi pun senasib. Karena bapak pergi untuk jaga malam jadi Wulan tidur bersama ibu.

1764Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang