Langkah gue dan Hesa dalam perjalanan pulang akan berakhir dalam beberapa menit lagi. Gue telah menjumpai patokan-patokan tertentu yang selalu menjadi tanda tiap gue pulang sekolah, yakni ruko-ruko, warung kecil, hingga kios tukang pulsa. Melihat deretan patokan itu, entah mengapa, sesuatu dalam diri gue merasa sedikit kecewa. Salah nggak, sih, kalau gue tiba-tiba merasa bahwa perjalanan ini seharusnya bisa berlangsung lebih lama lagi?
Karena semua ini akan selesai dalam beberapa menit, gue nggak mau sisa-sisa perjalanan ini hanya diisi oleh ocehan gue seorang. Maka, alih-alih menuruti omongan Hesa, gue menjawab kalimat terakhir pebasket itu dengan, “Pegel, ah, lidah gue dari tadi ngomong mulu. Es potong gue juga nggak abis-abis.”
“Yaaah, padahal gue masih mau denger lo cerita,” keluh Hesa. Namun, setelah itu, senyumnya kembali terbit seraya matanya menjemput pandangan gue. “Lo lucu kalau lagi cerita panjang lebar kayak tadi. Gemes.”
Wah, apa-apaan itu?
Sepertinya, panasnya permukaan aspal hari ini mampu bersaing dengan pipi gue yang tiba-tiba terasa lebih hangat daripada biasanya. Seumur-umur gue hidup, belum pernah ada yang secara blak-blakan menyatakan bahwa kebiasaan gue menyerocos adalah sesuatu yang lucu, lebih-lebih kalau orang yang mengakui itu adalah Hesa. Gue tahu bahwa seharusnya, gue nggak terpengaruh dengan pujian sekecil itu, tetapi gue nggak bisa bohong juga kalau kata-katanya berhasil membuat gue kembali salah tingkah.
Namun, gue adalah gue. Segeger apa pun situasi di dalam diri gue, akan selalu ada cara untuk menyembunyikannya. “Makasih, emang gue gemesin tiap hari.” Gue membuang muka ke arah lain. “Udah, ah, ngomongin gue mulu! Gantian, dong.”
“Gantian jadi ngomongin gue?”
“Iya.”
“Lo mau tahu tentang gue, Ran? Mau tahu apa?”
Ketika gue kembali menatap Hesa, gue disambut dengan kedua matanya yang membulat lucu serta senyumannya yang terpatri lebih lebar daripada sebelumnya. Ekspresinya itu membuat sudut-sudut bibir gue ingin terangkat karena Hesa terlihat menggemaskan. Kenapa juga dia bahagia banget, sih?
“Hmm, apaan, ya?” Sahutan itu keluar dari mulut gue bukan karena gue ingin mengulur waktu agar Hesa penasaran, tetapi karena gue benar-benar bingung ingin bertanya apa.
Gue bingung karena gue sudah tahu banyak tentang Hesa. Perasaan gue untuk Hesa saat kelas sepuluh mendorong gue untuk menggali lebih dalam soal fakta dan kebiasaan anak itu. Sebagai hasil dari memperhatikan Hesa diam-diam hingga stalking akun Facebook lamanya, gue tahu bahwa Hesa adalah anak bungsu dari dua bersaudara. Ia punya kakak laki-laki bernama Hilmi yang berusia dua tahun lebih tua daripadanya. Ulang tahun Hesa dirayakan setiap tanggal 15 Oktober. Selain suka bermain basket, Hesa juga suka bermain futsal, voli, hingga badminton yang pernah ia ikuti kompetisinya saat kelas lima SD. Hesa suka warna biru, memakai hoodie ke mana-mana, dan memakan segala jenis mi instan walaupun ia juga berlangganan soto ayam Bu Nuri di kantin.
Hesa juga tergolong jago dalam hal game dan sering menang jika bermain bersama teman-teman sekelasnya. Kalau sedang istirahat “mabar” alias main bareng, Hesa biasanya akan bermain Candy Crush sendiri di bangkunya atau menjaili teman yang sedang bermain, lebih-lebih Rafa yang gampang kaget. Omong-omong soal teman, Hesa punya empat teman sepermainan, yaitu Rafa, Athala, Seno, dan Jayden. Keempatnya adalah sobat karib Hesa dalam hampir segala kegiatan, mulai dari kerja kelompok, bermain game, hingga nongkrong selepas jam pulang sekolah.
Gue sudah tahu banyak tentang Hesa, termasuk fakta bahwa saat kelas sepuluh, Hesa pernah dekat dengan Ivona, cewek hits dari ekskul paduan suara. Kedekatan mereka terjadi saat gue sedang suka-sukanya dengan Hesa dan itulah yang membuat gue mundur. Namun, ketika gue mulai mundur, gue mendengar kabar tentang kandasnya kedekatan mereka karena Ivona sudah berpacaran dengan murid kelas sebelah. Awalnya, gue senang setengah mati, tetapi peristiwa itu juga membuat gue sadar akan sesuatu. Memangnya, kalau Hesa dan Ivona nggak dekat lagi, gue bakal maju? Apakah gue bakal mencoba mendekati dan mendapatkan Hesa?
Jawabannya nggak. Alasannya? Karena gue cemen. Seberani-beraninya gue dalam melakukan sesuatu, gue bakal ciut kalau masalah perasaan. Gue memang menyukai Hesa waktu itu, tetapi gue nggak pernah sekali pun mencoba mendekatinya, apalagi mengungkapkan perasaan gue. Well, karena gue nggak merasakan tanda-tanda Hesa menyukai gue balik, gue akhirnya benar-benar menyerah. Walaupun sulit untuk mengenyahkan perasaan itu, terlebih karena sistem sekolah harus membuat gue sekelas dengan Hesa hingga lulus, gue tetap harus berhenti. Lebih baik begitu daripada gue harus tersiksa sendirian, ‘kan?
Pada akhirnya, pertanyaan yang keluar dari mulut gue adalah, “Kenapa lo bisa suka basket?” karena dari banyaknya hal yang gue sudah tahu soal Hesa, gue belum tahu yang itu.
“Wih, seru, nih.” Hesa tampak antusias ketika mendengar pertanyaan gue. “Gue mulai suka basket dari kelas delapan gara-gara diajakin sparring sama kakak gue, bareng temen-temennya waktu itu. Gue awalnya mager, tapi akhirnya ikut juga sama Mas Hilmi soalnya gue gabut di rumah. Oh, iya, Mas Hilmi nama kakak gue satu-satunya, BTW.”
Gue mengangguk selagi kami berbelok ke arah kiri. Iya, Hes, sebenernya gue udah tahu nama kakak lo dari jaman Majapahit.
“Waktu pertama kali sparring, tim gue kalah, tapi Mas Hilmi sama temen-temennya bilang gue lumayan oke walaupun masih beginner. Ada potensi, lah, istilahnya,” lanjut Hesa. “Dari situ, gue makin sering latihan sama mereka, terus gue diajarin teknik ini-itu. Makin sering gue latihan, gue makin enjoy main basket. Rasanya kayak puas aja tiap gue dribble bola, terus masukin bolanya ke ring.”
Sebagai orang yang nggak begitu suka olahraga kecuali jalan kaki, gue sudah pasti nggak bisa relate dengan hal itu, tetapi sepertinya gue paham rasa puas yang dimaksud Hesa. Rasa puas itu mirip seperti yang gue rasakan ketika gue berhasil menjawab soal Ekonomi sendiri tanpa bantuan orang lain.
“Lo suka nonton film, ‘kan, kalau lagi nggak pengin belajar?” tanya Hesa.
“Iya, suka.”
“Nah, sama aja kayak lo nonton film, gue selalu balik ke basket kalau kepala gue udah mumet sama pelajaran. Emang tepar, sih, tiap abis main, tapi basket itu selalu berhasil bikin gue escape sebentar dari akademik.”
Gue manggut-manggut selagi mengemut es potong gue yang tersisa sedikit lagi. “Basket itu capek, tapi at the same time juga ngasih lo energi, ya?”
Cowok yang lebih tinggi daripada gue itu tersenyum. “Bener.”
“Pantesan lo sering cabut kelas buat ikut lomba basket sana-sini. Biar bisa escape dari pelajaran ternyata.”
“Di mana-mana mah cabut emang enak, Ran. Nggak usah lomba, gue juga kalau bisa pura-pura sakit pas upacara bakalan sok lemes, biar bisa tiduran di UKS terus escape dari pelajaran, mentok-mentok jam pertama.”
Gue tergelak karena gue pernah begitu juga beberapa bulan lalu. “Nggak salah, sih,” sahut gue. “Tapi, ya, Hes, kalau cabutnya buat lomba, tuh, beda. Lo cabut tapi bermanfaat gitu, ada gunanya karena lo bawa nama sekolah di luar. Mana menang mulu lagi.”
Hesa terkekeh. “Sebenernya, dulu gue nggak mau-mau amat ikut lomba. Gue penginnya basket jadi sekadar hobi doang, tapi pas gue ikutan ekskul basket di SMA, gue punya tuntutan buat lomba juga. Mau nggak mau gue ikut,” jelasnya. “Soal menang mah emang dasarnya anak-anak ekskul pada jago aja, gue banyakan bagian passing-passing doang.”
Apa katanya barusan? “Passing-passing doang”? Ingin sekali gue menjitak kepalanya karena kebenarannya jelas-jelas jauh dari itu. Setiap kali gue menyaksikannya bermain basket, Hesa pasti selalu berhasil menyumbang skor karena anak itu jago memasukkan bola ke dalam ring, bahkan dari jarak yang cukup jauh. Pernah satu kali saat pengambilan nilai basket di pelajaran olahraga, Hesa berhasil melakukan three-point shot lima kali berturut-turut. Apa namanya itu kalau bukan pro?
“Nggak usah merendah untuk meroket, deh, Hes,” sungut gue.
“Oh, jadi lo mengakui, nih, kalau gue jago?”
“Kalau gue bilang lo kepedean juga percuma,” tukas gue. “Waktu final basket cup sekolah tahun lalu, sekolah kita hampir kalah lawan SMAN 780, tapi pas lo maju jadi pemain pengganti, lo berhasil ngebalikin skornya.”
“Yah, kalau itu, sih, gue di-carry sama yang lain juga.”
“Iya, tapi nggak cuma itu. Tahun lalu, sekolah kita juga ikut turnamen basket nasional, ‘kan? Sekolah kita juara tiga, sih, tapi lo dapet predikat MVP di situ karena lo nyumbang skor paling banyak,” imbuh gue. “Oh, terus ada lagi. Waktu class meeting tahun lalu, kelas kita menang lawan XII IPA 2 karena lo tiga kali three-point shot di menit-menit terakhir. Lo lupa kita dapet wafer sekardus gara-gara basket juara satu, terus akhirnya sekelas pada mabok wafer? Noh, temen lo si Jayden ampe eneg.”
Gue berjalan menuju tempat sampah untuk membuang stik dari es potong yang akhirnya berhasil gue habiskan. Saat gue kembali beralih pada Hesa, anak itu bukannya cengar-cengir percaya diri karena baru saja gue puji, tetapi ia justru menatap gue dengan senyum penuh arti.
“Makasih, ya, Ran. Semua yang lo sebutin tadi itu hasil kerja keras satu tim, bukan gue doang,” tuturnya.
“I know, tapi di dalam tim itu juga ada lo-nya, ‘kan? Terus, yang bagian lo dapet MVP itu udah mutlak karena kerja keras lo. Soalnya, ‘kan, itu penghargaan individu buat pemain terbaik,” puji gue tulus.
“Iya, deh. Makasih banyak, ya, Kirania.”
Ada hangat yang menjalar di dalam diri gue ketika nama depan gue terlontar dari mulut Hesa. “Sama-sama, ya, Mahesa,” jawab gue, melakukan hal yang sama.
“Tapi gue mau nanya sesuatu, Ran.”
“Apa?”
“Kok, lo bisa hafal momen penting pertandingan gue? Sejak kapan lo inget?”
Mati gue.
Pertanyaan itu membuat gue ceming. Nggak mungkin gue mengaku bahwa gue ingat semua itu karena gue selalu menyimak pertandingan Hesa kapan pun gue bisa. Karena gue selalu suka melihatnya bermain basket, gue selalu menyempatkan diri untuk menonton pertandingannya, seperti pada saat acara cup sekolah, class meeting, hingga turnamen nasional. Jangankan mengingat highlight pertandingannya, saat ia menjadi MVP waktu itu, gue bahkan meng-screenshot fotonya yang diunggah di akun Instagram turnamen untuk gue save sendiri. Bagaimana bisa foto itu nggak masuk galeri gue ketika Hesa tampak lima kali lipat lebih ganteng dengan jersey dan bola basketnya?
Namun, lagi-lagi, gue nggak akan membeberkan itu semua kepada Hesa. Lebih baik gue salto di tengah jalan daripada mengaku. Jadi, dengan segala kelihaian gue untuk menyembunyikan yang sebenarnya, gue mencari alasan lain.
“Oh, gue emang kebetulan nonton pas sekolah kita lagi main di cup. Nemenin Gista, sih, soalnya dia ngebet mau liat cogan dari 780. Kalau yang turnamen nasional, gue ikut aja soalnya tiap sekolah diwajibin bawa supporter rame-rame, ‘kan? Kata Gista, jajanannya enak semua di venue, makanya gue tertarik,” jawab gue mulus. Maaf, Gis, demi harga diri gue, gue harus bawa-bawa nama lo. “Terus, pas class meeting, ‘kan, satu sekolah emang nonton bareng-bareng. Masa gue nggak ikutan?”
“Itu nggak menjawab pertanyaan gue, Ran.” Bibir Hesa membentuk seringai jail. “Gue nggak nanya alesan lo bisa dateng. Gue nanya alesan lo masih hafal semua momen penting gue waktu itu, padahal kejadiannya udah lewat setahun yang lalu.”
Skakmat!
Kali ini, gue nggak punya ide harus membalas dengan jurus apa. Gue bahkan nggak ada niatan untuk menghafal semua highlight pertandingannya, tetapi gue memang ingat dengan sendirinya.
Duh, lagian ngapain gue bawel banget, sih? Sama aja nyepuin diri sendiri, Dodol!
“Cie, Kiran. Suka sama aku, ya?”
“Apaan, sih!” elak gue cepat.
“Jadi seneng, nih, ditontonin lo terus tiap tanding. Uhuy, uhuy.”
“Dih, pede lo gede banget!” sangkal gue lagi. “Nih, ya, yang sering makan ikan di dunia ini bukan lo doang. Gue juga, jadi ingatan gue nggak jelek-jelek amat.”
Hesa cekikikan. “Kalau ingatan lo sebagus itu kayaknya lo bukan makan ikan, deh, tapi lo manusia ikan,” balasnya lebay, tetapi ujung-ujungnya membuat gue tertawa juga karena selera humor gue rendah. “Makasih, lho, Ran, udah inget banyak tentang gue. Ternyata di sini yang suka menghafal bukan cuma gue, ya.”
“Gue nggak ngehafalin, gue emang kebetulan inget aja.” Sebelum Hesa membalas gue dengan ledekannya yang lain, gue buru-buru mengalihkan pembicaraan. “Tapi, sebenernya gue dari tadi bingung ngeliat lo.”
“Karena gue terlalu ganteng?”
“Pala lo meletak,” cemooh gue, disambut dengan lagi-lagi gelak tawanya. “Gue bingung, kenapa lo siang-siang gini pake hoodie tebel padahal cuacanya panas?”
Mendengar pertanyaan gue, sebuah senyuman kembali tercetak di bibir Hesa. “Karena ini hoodie kesayangan gue. Hoodie ini kado dari Mas Hilmi waktu gue pertama kali menang lomba basket tahun lalu,” jawabnya. “Dapetin hoodie ini susah karena gue dulu harus latihan tiap hari, terus ngelawan rasa nervous buat lomba basket pertama kali. Lo pasti ngerasain itu juga waktu lomba storytelling, ‘kan?”
Gue mengiakan. “Iya, jelas.”
“Nah, Mas Hilmi janji bakal beliin gue kado kalau tim gue menang. Sebenernya, tanpa dia iming-imingin pake kado juga gue udah effort pengin menang, biar dia bangga sama gue.” Hesa bercerita. “Jadi, dulu gue berusaha banget nggak nervous biar bisa fokus mainnya. Pas tim gue beneran menang, gue jauh lebih seneng diapresiasi Mas Hilmi dibanding dapet piala.”
Selama gue berinteraksi dengan teman-teman yang memiliki kakak, belum pernah ada yang membicarakan kakaknya dengan nada seceria Hesa. Tanpa siapa pun beritahu, gue sudah paham bahwa cowok di sebelah gue begitu menyayangi kakak satu-satunya itu. “Lo kayaknya kagum banget sama kakak lo, ya, Hes?”
“Bisa dibilang gitu, Ran, tapi sebenernya lebih daripada itu. Gue respect banget sama kakak gue,” ungkap Hesa. “Mas Hilmi emang sering adu bacot sama gue, ngecengin gue tiap hari, kadang ampe ngerjain gue juga, tapi dia nggak pernah marah sama gue. Beneran nggak pernah marah, Ran, padahal waktu SMP, gue pernah nggak sengaja nginjek laptop dia ampe layarnya retak.”
“Demi apa? Retak?” Gue meringis membayangkan itu terjadi pada laptop gue. “Terus gimana?”
“Terus dimarahin nyokap, tapi Mas Hilmi bilangnya retak gara-gara kesenggol dia sendiri. Sampe sekarang, nyokap gue nggak tahu kalau retaknya gara-gara gue.”
Dalam hati, gue ikut kagum dengan kakak Hesa yang siap pasang badan untuk adiknya. Sekalipun itu merugikannya, kakak yang kerap disapa Mas Hilmi oleh Hesa itu rela ditatar orang tuanya hanya agar adiknya nggak jadi korban. “Parah banget lo nggak ngaku sampe sekarang. Untung kakak lo baik,” sahut gue.
“Gue bersyukur banget, sih, soal itu.” Anak itu cengengesan, kemudian melanjutkan ceritanya. “Mas Hilmi juga ngenalin gue sama banyak hal, termasuk basket yang sekarang jadi penting banget di hidup gue. Dia juga selalu support gue di dalam semua hal yang gue lakuin, nge-back-up gue di depan bokap-nyokap, nggak pernah capek ngajarin gue basket, terus ngobatin gue waktu gue jatuh. Emang, sih, ngobatinnya pake acara ngetawain gue dulu. Mana ngakak banget lagi.”
Gue ikut tertawa membayangkannya. “Pasti kakak lo orangnya seru banget, ya?”
“Seru, lah, tapi ya gitu. Dia sering ngatain gue tiap ada kesempatan, cuma dia punya sisi lembutnya juga. Kalau gue ada masalah, pasti gue ceritanya ke dia duluan, baru abis itu ke bokap-nyokap. Dia baik banget, asli, apalagi sama temen-temen gue. Tiap ada temen yang mampir ke rumah, pasti dia suka nraktir, terus ngajak ngobrol juga.” Masih dengan raut periangnya, binar mata Hesa bertemu dengan pandangan gue. “Kapan-kapan gue kenalin, ya, Ran, sama Mas Hilmi. Mau, nggak?”
Gue nggak punya alasan untuk menolak tawaran itu. Jadi, gue mengangguk setuju. “Boleh.”
“Oke! Nanti kita cari waktunya, ya,” ujarnya riang. “Tapi sebenernya nggak usah kenalan juga Mas Hilmi udah tahu, sih.”
“Hah?” Dahi gue mengernyit bingung.
“Gue udah cerita soal lo ke Mas Hilmi.”
Refleks, gue tertegun dan berhenti berjalan. Menceritakan soal gue kepada kakaknya? Tentang apa? Buat apa? Pun gue menatap lurus-lurus pada Hesa dan berniat menghilangkan rasa penasaran gue.
“Lo cerita apa aja?” tanya gue. Semoga Hesa hanya membicarakan hal-hal baik tentang gue di depan kakaknya.
Hesa ikut menghentikan langkahnya. Tatapannya kembali terarah pada gue. “Gue cerita ada cewek yang diceng-cengin sama gue di kelas karena bilang gue ganteng, terus Mas Hilmi ketawa.” Sebuah tawa ringan lolos dari mulutnya. “Abis itu Mas Hilmi nanya, ceweknya kayak gimana?”
Gue sedikit harap-harap cemas menunggu lelaki itu melanjutkan penjelasannya. Hesa telah memulai cerita tentang gue pada kakaknya dengan pengalaman cringy itu, jadi sebenarnya gue cukup waswas dengan kalimat selanjutnya.
“Gue bilang, cewek itu namanya Kirania Danakitri. Dipanggilnya Kiran. Anaknya ramah sama semua orang, tapi galak kalau udah nagihin uang kas, apalagi kalau udah gue isengin.” Kedua sudut bibirnya terangkat lebih tinggi. “Tapi, dia juga suka ketawa tiap gue ngelucu, padahal jokes gue aneh. Gue seneng kalau liat dia ketawa. Mas Hilmi nanya, emangnya kenapa?”
Alih-alih cemas, gue bisa merasakan jantung gue berdegup lebih cepat ketika tatapan Hesa nggak beranjak ke mana-mana dan masih tertuju pada gue, lurus menatap manik mata gue. Wah, nggak waras. Lo ngeliatinnya bisa biasa aja, nggak, sih, Hes?
“Gue jawab, soalnya Kiran paling cantik kalau lagi senyum sama ketawa. Rasanya gue ikut seneng kalau dia seneng.”
Orang gila.
Gue nggak tahu apakah Hesa benar-benar jujur atau cuma iseng, tetapi kalau ternyata ini adalah salah satu bualan konyolnya, jelas gue yang lebih konyol daripada bualan itu. Mengapa? Karena gue yang seharusnya mampu menganggap itu candaan seperti biasa, kini kembali bersikap salah tingkah sambil menahan senyum yang sialnya gagal. Oh, dan jangan lupakan pipi gue yang memanas ketika kata “cantik” terucap oleh bibirnya beriringan dengan nama gue.
Apakah akal-akalan Hesa dalam mengikuti perjodohan bodoh XI IPS 3 harus berlanjut sejauh ini? Lalu bagaimana dengan gue yang rasanya mau kayang di trotoar sekarang juga karena perilakunya itu?
“Lo mau tahu alesan lain, nggak, kenapa gue pake hoodie hampir tiap hari?”
“Kenapa?” tanya gue selagi berusaha mengontrol reaksi diri gue sendiri.
“Karena cuaca itu kadang nggak bisa ditebak, terus gue males bawa payung.” Hesa memakaikan tudung hoodie-nya ke kepalanya sendiri.
Benar saja, tepat setelah Hesa mengatakan itu, rintik-rintik hujan turun dari langit. Gue nggak tahu sejak kapan langit mengubah warnanya menjadi kelabu, tetapi yang jelas, gue tahu bahwa hujan ini pasti akan turun lebih lebat dalam waktu yang nggak lama lagi. Gue tahu itu karena gue pernah mengalami situasi yang sama—jalan kaki menuju rumah di bawah terik sinar matahari, tetapi tiba-tiba malah turun hujan—dan bodohnya, hari ini gue nggak bawa payung.
“Neduh dulu, yuk, Ran?”
Ketika rintik-rintik hujan itu mulai berubah menjadi hujan yang lebih deras, gue tahu bahwa gue masih harus bersama dengan cowok gila ini untuk waktu yang lebih lama lagi.•••
WRITER'S NOTE
Hello, everyoneee! Selamat beraktivitas dan semoga hari kalian menyenangkan yaaaa. Enjoy the fourth chapter :D
If you guys have any feedback for the story, feel free to drop your comments or just reach me out through DM!
Love,
A
KAMU SEDANG MEMBACA
Shall I Walk You Home Tomorrow, Too?
Novela JuvenilGara-gara satu kejadian lucu di kelas, Kiran dijodoh-jodohkan oleh seluruh penghuni XI IPS 3 dengan Hesa, orang yang diam-diam pernah ia sukai saat kelas sepuluh. Berbeda dengan Kiran yang cenderung mengelak, Hesa justru menikmati alur yang dibuat t...