Nggak lama setelah bakso gue habis, hujan akhirnya reda sehingga gue dan Hesa bisa melanjutkan perjalanan pulang. Sejujurnya, meskipun gue menikmati hari ini, gue rasa makin berbahaya bagi gue kalau gue berlama-lama lagi dengan cowok itu. Makin lama gue bersamanya, makin terobrak-abrik juga hati gue dibuatnya.
Sejak gue memutuskan untuk mundur dari menyukai Hesa waktu itu, gue sudah melakukan cara terbaik agar perasaan gue hilang, yaitu dengan mengurangi sebanyak mungkin interaksi dengan Hesa. Gue berhenti stalking media sosialnya, menghindari lapangan tiap kali ia bermain basket, hingga memalingkan wajah tiap kali gue nggak sengaja memandanginya diam-diam. Yang terakhir adalah yang paling sulit dilakukan karena entah mengapa, memperhatikan Hesa tiap kali ia lewat adalah sesuatu yang natural buat gue, tetapi mau nggak mau, gue harus meninggalkan kebiasaan itu.
Semuanya berjalan lancar karena gue juga mengurangi asupan film romance dan lagu-lagu cinta, sekalipun itu lagu Shawn Mendes. Untuk mengalihkan pikiran gue dari Hesa, gue juga sadar bahwa gue nggak bisa goler-goleran di kasur sambil main HP seperti biasa. Jadi, karena gue nggak ikut ekskul, gue menyibukkan diri di rumah dengan mencuci piring, membereskan kamar, menyetrika baju, menyapu dan mengepel rumah, mengelap perabotan, hingga menggunting rumput di halaman. Nyokap gue sampai heran dan bertanya, “Kamu kesambet roh apa, Ran?” karena gue mendadak terlalu rajin. Saat ditanya begitu, gue cuma cengengesan dan beralasan ingin meringankan bebannya, yang untungnya nggak membawa curiga bagi nyokap gue.
Cara itu gue pikir cukup ampuh. Setelah gue punya kesibukan lain, Hesa makin memudar dari pikiran gue. Gue yakin bahwa setelah berusaha move on hingga naik kelas sebelas, Hesa akhirnya bisa menjadi sekadar teman buat gue, nggak lebih.
Sayangnya, dua bulan setelah gue menarik kesimpulan itu, insiden Pak Danar terjadi. Entah karena apa, insiden itu memantik Hesa untuk banyak mengajak gue berinteraksi dan memberi gue perhatian. Setiap ia melakukan itu, gue selalu mengingatkan diri sendiri bahwa perasaan gue sudah berakhir. Gue sudah selesai menyukainya. Lagipula, Hesa memang baik pada semua orang sehingga perhatiannya buat gue—seharusnya—masih masuk akal, sekalipun perhatian itu ditunjukkan dengan susu kotak di kolong meja gue. Hesa juga senang bergurau sehingga perlakuannya sebisa mungkin nggak gue anggap serius … sampai hari ini terjadi.
Hari ini, tepat setelah Hesa mengelus kepala gue, gue kehabisan alasan untuk menoleransi perbuatannya. Meskipun saat Hesa melakukan itu gue masih bisa protes dengan berseru, “Ih, diem! Rambut gue jadi berantakan!” yang dibalas dengan tawanya, hati gue benar-benar nggak aman.
After all this time, have I really, really moved on?
“Ran, sekali lagi makasih, ya.” Hesa membuka pembicaraan saat kami telah kembali berjalan kaki. Lagi-lagi, cowok itu menempatkan dirinya di sisi jalan yang lebih dekat dengan kendaraan yang berlalu-lalang.
“Buat?”
“Buat saran dan kata-kata lo tadi. Soal masa depan gue.” Hesa menoleh ke arah gue, kemudian tersenyum. “Itu nenangin. Banget.”
Sial. Karena gue masih bisa merasakan hangatnya tangan Hesa di kepala gue tadi, melihat senyumnya saja kini membuat gue salah tingkah. “Nggak masalah, Hes. Namanya juga masa depan, nggak semua orang bisa langsung tahu gitu aja,” balas gue, berusaha sesantai mungkin. “Beda cerita kalau lo masih TK. Gampang banget nentuin cita-cita.”
“Bah, dulu pas masih bocil, gue hampir tiap hari ganti cita-cita.”
“Apaan aja, tuh, cita-cita lo?” tanya gue.
“Awalnya, gue mau jadi astronot. Besokannya, gara-gara liat pesawat, gue langsung mau jadi pilot. Abis itu, pas liat om gue pake jas dokter, gue pengin juga jadi dokter.” Hesa tersenyum geli karena ceritanya sendiri. “Nggak tahu aja si bocah ntar gedenya masuk IPS.”
Senyum geli gue ikut terbit karena kelakuan gue dulu juga persis. “Sama, gue juga tukang ganti cita-cita pas kecil! Dari dokter, pramugari, chef, polwan, semuanya gue mau.” Gue turut bercerita. “Bokap-nyokap gue mah bagian iya-iya aja dulu.”
“Ya iya, lah. Ntar lo pundung kalau nggak diiyain.”
Gue jadi ingat dengan kebiasaan gue waktu kecil yang untungnya sudah langka sekarang, yaitu cengeng. “Duh, bener lagi. Pasti kalau cita-cita gue nggak diiyain, gue auto nangis, tuh.”
“Utututu, kaciaaan.” Seraya memandang gue, Hesa mengerucutkan bibirnya dan mengubah nada suaranya menjadi menye-menye. “Kilan mau jadi apa? Doktel? Plamugali? Pengucaha? Boleeeh. Semuanya boleh.”
Gue terbahak. “Idih! Yang ada gue makin kejer dihibur manusia modelan lo,” cerca gue. “Ibarat hujan, nih, yang awalnya gue gerimis doang, abis lo hibur malah jadi hujan badai tornado puting beliung angin ribut."
“Nggak sekalian angin duduk?”
“Itu mah penyakit, Bahlul.”
Secara bersamaan, gue dan Hesa mentertawai humor kelewat jayus itu. “Tapi emangnya lo pernah, Ran, nangis ampe bertornado puting beliung gitu?” tanya Hesa kemudian.
Pertanyaan itu di luar tebakan gue, tapi gue nggak kaget karena gue sedang mengobrol dengan Mahesa Bimantara, orang yang dapat mengubah apa pun menjadi topik obrolan. “Dulu, sih, sering. Pas masih kecil, gue cengeng banget, apalagi kalau ditinggal bokap gue kerja. Alay banget, deh, gue ampe teriak-teriak. Padahal gue tahu bokap gue pasti pulang lagi malemnya, tapi waktu kecil, gue bawaannya udah kayak mau ditinggal perang.”
Alih-alih mentertawakan, Hesa menyambut jawaban gue dengan senyum. “Alay apanya? Itu nggak alay.”
“Masa?”
“Iya, karena itu artinya lo sayang sama bokap lo, jadi lo nggak mau bokap lo pergi. Ya, nggak?”
Hati gue menghangat. Jawaban itu mewakili perasaan gue. Karena gue banyak menghabiskan masa kecil dengan bokap, gue nggak rela kalau beliau harus meninggalkan gue sekalipun itu untuk bekerja. “Bener, sih. Lagian, tahu apa anak kecil soal kerja? Yang gue tahu waktu itu, bokap gue mau pergi, jadinya nggak gue bolehin.”
“Gue paham rasanya. Gue juga pernah kayak gitu pas kelas tiga SD, tapi ke kakak gue. Nggak sampe nangis tornado, sih, tapi ngerengek-rengek mah ada.”
“Emang kakak lo mau pergi ke mana?”
“Main sama temen-temennya. Dulu, gue minta ditemenin nyusun lego di rumah, tapi Mas Hilmi udah janjian mau main PS di rumah temennya. Gue ngambek, lah, masa doi lebih milih temennya daripada gue?” Hesa terkekeh, kemudian memberi jeda sejenak. “Tapi, waktu itu ternyata kakak gue lagi kurang beruntung.”
“Hah? Kenapa emang?”
“Pas balik dari main, dia keserempet motor. Kakinya luka parah sampe harus dirawat dua minggu di RS. Baru, deh, di situ gue nangis.”
Gue tertegun, nggak menyangka bahwa cerita Hesa akan berujung memori kecelakaan. “Ya ampun, kasian banget kakak lo ….”
“Kacau, Ran, kakak gue jadi nggak bisa ngapa-ngapain selama dua minggu itu. Gue ikut sedih, makanya gue nangis. Bukan karena gue nggak punya temen main, tapi karena kakak gue kayak kesakitan, cuma keliatan banget ditahan-tahan.” Hesa kembali bercerita. “Kalau lo nangisnya tornado, gue kayaknya lebih ke banjir bandang, Ran. Jujur, dari kecil sampe sekarang, gue jarang banget nangis. Tapi sekalinya nangis, gue beneran nggak berenti-berenti, apalagi kalau sedih banget.”
Satu fakta lagi tentang Hesa yang gue ketahui hari ini adalah sama halnya seperti gue, ia gemar bercerita. Namun, gue kembali dibuat tertegun karena cowok di samping gue ini benar-benar terbuka soal kenangannya yang sedih, tetapi ia menceritakannya dengan nada seenteng udara. Untuk yang kedua kalinya, gue merasakan betapa sayangnya Hesa terhadap kakak satu-satunya yang ia miliki itu.
“Itu kayaknya terakhir kali gue nangis yang banjir bandang, deh, Ran. Abis Mas Hilmi sembuh, gue malah nggak pernah nangis lagi,” lanjut Hesa.
“Nggak pernah nangis lagi? Dari kelas tiga SD?”
Hesa berpikir sejenak seperti memastikan ucapannya sendiri, kemudian mengangguk yakin. “Iya. Sejak itu, percaya atau nggak, gue nggak pernah nangis lagi. Kalaupun pernah, berarti gue yang lupa.”
“Wow.” Gue bergumam, setengah nggak percaya dengan omongannya. “Tapi kalau sedih pasti pernah, ‘kan?”
“Pernah, lah, cuma nggak sampe nangis aja. Palingan gue bad mood, terus nggak ngajak ngobrol orang sampe gue udah mau cerita,” jelas Hesa. “Lo sendiri masih inget, nggak, kapan terakhir kali lo nangis?”
Seketika gue bungkam. Tanpa berpikir lama, gue ingat jelas bahwa kali terakhir gue menangis adalah saat Hesa dekat dengan Ivona. Waktu pertama kali mendengar berita itu, gue masih bisa mengontrol diri gue walaupun sedih. Namun, hati gue rasanya langsung jatuh ke tanah ketika suatu siang, saat tim Hesa baru saja memenangkan lomba basket cup sekolah gue, gue melihat Hesa berfoto dengan Ivona di pinggir lapangan dengan pose merangkul bahu cewek itu. Yang menyakitkan adalah gue melihat mereka dengan mata kepala gue sendiri, bukan lewat perantara Instagram Story maupun gosip orang-orang. Parahnya lagi, setelah menyaksikan semua itu, gue masih berharap bahwa yang berada pada posisi Ivona adalah gue, yang jelas-jelas nggak mungkin terjadi.
Perjalanan pulang gue hari itu diiringi dengan air mata di pipi gue. Seakan mendukung suasana, Spotify gue yang waktu itu berada dalam mode shuffle justru memutar lagu That Should Be Me milik Justin Bieber. Demi apa pun, perjalanan itu adalah perjalanan pulang termelodramatis gue seumur hidup. Sebenarnya, itu bukan kali pertama gue mencicipi sakit hati pada percintaan masa sekolah. Waktu SMP, gue pernah berpacaran dengan teman gue yang bernama Nino, dan kami berakhir putus setelah tiga bulan berpacaran. Gue memang sedih, tetapi nggak sampai menangis karena gue nggak sesedih itu pascaputus. Namun, kenapa ketika gue melihat Hesa merangkul cewek lain, rasanya lebih menyakitkan daripada putus dengan mantan gue? Padahal, Hesa bukan siapa-siapa.
Hesa bukan siapa-siapa, begitupun gue yang bukan siapa-siapa baginya. Gue nggak paham alasan pemandangan Hesa-Ivona di pinggir lapangan bisa semenyakitkan itu di mata gue, tetapi yang jelas, untuk hari itu saja, gue cuma ingin menangis. Gue cuma ingin menangis dan gue melakukannya … sampai gue sadar bahwa pemandangan itu adalah tanda bagi gue untuk berhenti menyukai Hesa.
“Ran? Lo nggak apa-apa?”
Lamunan gue yang memutar memori itu langsung buyar. Ketika gue menyambut pandangan Hesa, gue melihat seberkas khawatir pada matanya. “Sorry, sorry. Gue tadi ngelamun dikit,” tukas gue.
“Kalau lo nggak nyaman sama pertanyaan gue juga nggak apa-apa, Ran. Nggak usah dijawab,” ujar Hesa. “Maaf, ya, gue bikin lo nggak nyaman.”
Kontan, gue menggeleng. Menanyakan pertanyaan itu bukanlah salah Hesa. Membuat hati gue remuk waktu itu juga bukan kesengajaan Hesa. Jadi, nggak ada yang perlu dimaafkan. “Santai aja, Hes. Lo nggak salah, kok,” tutur gue, kemudian memberanikan diri untuk menjawab pertanyaannya. “Terakhir kali gue nangis itu gara-gara cowok yang gue suka udah deket sama cewek lain. Sedih, sih, tapi gue nggak bisa apa-apa.”
Selama beberapa detik, yang gue dengar hanya suara lalu-lalang kendaraan karena Hesa hanya diam dengan ekspresi yang nggak bisa gue baca. Aduh, kenapa anak ini tiba-tiba jadi hening? Meskipun Hesa nggak sadar tentang orang yang gue maksud, gue jadi berdebar-debar karena secara nggak langsung, gue baru saja mengungkapkan perasaan gue untuknya.
Buru-buru, gue beralibi. “Tapi itu udah lama banget, lah, pokoknya! Gue juga udah hampir lupa kalau lo nggak nanya.”
Hesa akhirnya bereaksi dengan mengangguk-angguk samar. “Ternyata lo pernah kena friendzone, ya. Sakit, sih,” tanggapnya. “Nggak apa-apa, Ran. Itu artinya cowok itu bukan buat lo. Lagian masih banyak, kok, yang lebih baik daripada cowok itu.”
Awalnya, gue juga yakin bahwa setelah melihat kejadian di pinggir lapangan itu, lo bukan buat gue, Hes. Namun, pada hari-hari setelah insiden Pak Danar dan khususnya hari ini, mengapa rasanya lo seperti berusaha mematahkan asumsi itu?
“Iya, emang masih banyak, tapi belum tentu gue suka.” Karena belum ada yang kayak lo.
“Emangnya cowok itu sekeren apa, sih, sampe lo bisa suka?”
Kalau saja Hesa tahu tentang orang yang gue bicarakan, gue sudah meledekinya narsis karena menanyakan soal diri sendiri. “Orangnya lucu, ramah, baik ke semua orang, terus pinter. Bakatnya banyak, tapi nggak sombong sama sekali. Malah bukannya sombong, dia lebih ke konyol, sih,” ungkap gue. “Sebenernya di dunia ini banyak yang kayak gitu, tapi entah kenapa, gue sukanya dia.”
“Sejak kapan, tuh, lo suka sama dia?”
“Gue nggak tahu sejak kapan gue suka, tapi tiba-tiba aja, waktu itu gue sadar kalau gue sering merhatiin dia tanpa alesan. Di rumah juga gue sering kepikiran dia, terus akhirnya gue tahu kalau gue udah mulai suka.”
“Oooh, gitu, ya.” Hesa ber-oh ria. “Gue kenal, nggak, sama orangnya?”
Aduh, gue rasanya mau teriak di depan wajah Hesa kalau tanpa berkenalan pun, ia sudah tahu. “Emang kenapa kalau belum kenal? Mau kenalan?”
“Nggak, sih. Mau tahu aja orangnya yang mana.”
Sesaat setelah Hesa mengatakan itu, kami tiba di sebuah perempatan yang menjadi tanda bahwa rumah gue sudah dekat. Hanya tinggal belok kiri dan berjalan lurus sedikit, gue sudah bisa menemukan gapura perumahan gue. “Nggak penting amat, dah,” tanggap gue seraya berbelok ke kiri, diikuti oleh Hesa.
“Boleh, nggak, Ran, gue nanya sesuatu?”
“Nanya apa?”
“Lo masih suka sama cowok itu?”
Pertanyaan itu kembali membungkam gue. Gue benci mengakui ini, tetapi nyatanya, gue masih berdebar, gugup, bahkan merona di hadapannya. Gue benci bahwa setelah berusaha sekuat tenaga menyingkirkan Hesa dari hati gue, gue nggak pernah benar-benar lupa dengan Hesa. Gue hanya mengalihkan fokus gue ke hal lain selama beberapa waktu, tetapi cowok itu berhasil merebut kembali fokus itu ke arahnya.
Mungkin gue yang terlalu mudah terbawa perasaan dalam menanggapinya, tetapi itu nggak akan terjadi kalau gue nggak punya sisa rasa suka.•••
WRITER'S NOTE
Hayoloooow siapa suruh nekat pulang bareng,,,,, btw I found this on Twitter trus meme ini sangat Kiran bgt
Wkwkwkwkwk anyway have a nice day kawan-kawan semoga kalian hari ini seneng :D I'll update the next chapter right after this karena nanggung ajah hehe
Love,
A
KAMU SEDANG MEMBACA
Shall I Walk You Home Tomorrow, Too?
Novela JuvenilGara-gara satu kejadian lucu di kelas, Kiran dijodoh-jodohkan oleh seluruh penghuni XI IPS 3 dengan Hesa, orang yang diam-diam pernah ia sukai saat kelas sepuluh. Berbeda dengan Kiran yang cenderung mengelak, Hesa justru menikmati alur yang dibuat t...