Hesa
Banyak orang bilang bahwa masa SMA adalah salah satu masa terindah dalam hidup, dan gue beruntung karena gue termasuk barisan orang yang setuju dengan pernyataan itu. Selama SMA, gue dipertemukan dengan banyak pengalaman unik yang nggak bakal gue sesali seumur hidup. Mau pengalaman gue seabsurd rambut gue digunting kepsek karena mulai gondrong atau kepeleset di depan perpustakaan karena nggak tahu kalau lantainya habis dipel, gue tetap mensyukuri masa putih abu-abu gue. SMA menjadi jenjang sekolah yang memorinya paling membekas di hati gue karena di tengah petualangan gue, gue juga dipertemukan dengan teman-teman yang baik, guru-guru yang mengesankan, dan Kirania Danakitri.
Pertama kali gue bertemu Kiran adalah saat kelas sepuluh karena kami sekelas. Setahun pertama mengenal Kiran nggak meninggalkan banyak memori karena kami belum sedekat itu. Kami hanya pernah mengobrol sesekali karena gue lebih sering main bareng teman-teman sepergaulan gue, yaitu Rafa, Seno, Jayden, dan Athala. Waktu itu, gue juga sedang mendekati Ivona—cewek yang waktu itu gue suka dan ternyata lebih cocok jadi teman gue, jadinya gue nggak melirik cewek lain. Kiran hanyalah teman sekelas yang ditunjuk sebagai bendahara dan sering tunjuk tangan tiap sesi tanya-jawab pelajaran Ekonomi. Kiran hanyalah teman sekelas yang ramah, tapi kadang galak kalau menagih uang kas—tipikal bendahara yang tegas.
Kiran hanya sekadar teman sekelas sampai akhirnya saat kelas sebelas, gadis itu menyebut nama gue waktu Pak Danar bertanya soal cowok terganteng di kelas. Reaksi gue? Tentu kaget. Gue akui gue memang ganteng, tapi mendapat pujian itu dari Kiran rasanya random karena gue nggak mengharapkan itu sama sekali. Gue pikir, mungkin Kiran lagi kepepet, jadinya gue yang disebut. Dari situlah warga XI IPS 3 mulai menjodoh-jodohkan kami berdua. Gue, sih, nggak keberatan karena itu cuma buat lucu-lucuan. Biar suasana kelas makin seru, gue ikut mendukung skenario itu dengan meledeki Kiran sebagai pacar bohongan gue, misalnya ketika Kiran lewat di depan gue.
“Ceileh, Kiran, sengaja bener lewat depan lakinye! Jalanan masih lebar, kali!” goda Athala ketika Kiran melewati geng-gengan gue di kantin.
Gue menyeringai. “Kalau kangen sama gue bilang, Ran. Kangen, ya?”
Kiran mendengkus dan berkata, “Dih, nggak penting amat. Mending pada bayar kas dulu baru bacot!” yang mengundang tawa gue.
Reaksinya itulah yang mendorong gue untuk terus jail di dekatnya, sampai lama-lama gue hafal bahwa kalau diledek, Kiran nggak cuma membalas dengan kalimat andalannya itu, tapi dahinya juga akan berkerut. Gue juga hafal bahwa anak itu betulan maniak Shawn Mendes karena tiap jam kosong, gue sering melihatnya menonton music video penyanyi itu. Gue juga hafal bahwa Kiran berteman dekat dengan Gista dan Laras. Gue juga hafal bahwa Kiran nggak terlalu suka Geografi karena ekspresinya selalu bosan tiap kali pelajaran itu berlangsung. Gue juga hafal bahwa senyum Kiran akan melebar sempurna ketika ada yang melunasi kas untuk lebih dari satu bulan sekaligus.
Gue juga hafal bahwa senyumnya seringkali menularkan lengkungan yang sama pada bibir gue.
Awalnya, yang gue lakukan hanya sebatas bercanda. Namun, reaksi dan senyum gadis itu betah menghuni pikiran gue bahkan ketika gue sudah di rumah. Yang gue mau hanya lucu-lucuan sebelum mata gue tiba-tiba ingin memperhatikannya lebih lama daripada biasanya. Yang gue incar hanya banyolan asal-asalan sebelum akhirnya, siang itu, gue melihatnya tertawa lepas di kelas dan gue refleks membatin, “Gila, cantik banget ....”
Siang itu, gue tercenung, selama ini gue sesibuk apa sampai gue nggak sadar ada yang tawanya semanis itu di kelas gue? Namun, gue tahu bahwa gue belum terlambat. Belum terlambat untuk sadar bahwa gue suka Kiran dan gue mau lebih dekat dengan gadis itu.
Dari situ, gue makin gencar mendekati Kiran. Gue berusaha untuk terus berada di sampingnya, termasuk saat Kiran makan di kantin, bermain game sendirian di kelas, dan memanggil guru di lantai bawah. Gue juga mem-follow second account-nya di Instagram agar gue hafal kesehariannya, termasuk fakta-fakta tentangnya yang waktu itu gue dapat dari kegabutannya bermain question box. Waktu Kiran mengeluh di Story tentang kesusahan belajar Geografi, gue langsung memanfaatkan momen itu untuk meneleponnya dengan alibi mengajarinya materi. Untung, otak gue bisa diandalkan.
Sekecil apa pun kesempatan gue untuk lebih dekat dengan Kiran, gue pasti ambil, termasuk kesempatan pulang jalan kaki bersamanya. Hari itu, dunia sangat berpihak pada gue karena gue nggak cuma mendapatkan waktu bersama Kiran, tapi juga cerita-cerita kehidupannya karena Kiran suka mengobrol seperti gue. Gue masih ingat binar pada mata bulatnya ketika ia bercerita tentang hal-hal yang disukainya—Shawn Mendes dan Ekonomi. Gue juga ingat betapa atentifnya gadis itu ketika giliran gue yang bercerita. Gue juga menangkap rona merah pada pipinya ketika gue goda dan lagi-lagi, itu membuatnya terlihat cantik.
Hari itu, gue juga nggak keberatan untuk menumpahkan seluruh isi pikiran gue pada Kiran, termasuk kegelisahan gue mengenai masa depan. Gue nggak menyesal karena ternyata, respons Kiran membawa ketenangan untuk hati gue. Sore itu, Kiran beribu kali lipat lebih cantik karena gadis itu bukan hanya sosok yang supel dan ramah—dan kadang sedikit galak soal kas, tapi juga sosok dengan cara pikir menarik tentang hidup. Kiran punya passion yang kuat pada bidang yang ia sukai, yaitu ekonomi, dan Kiran berkemauan keras untuk mengejar sesuatu yang ia inginkan. Mengagumkan? Jelas. Makanya gue suka.
Gue makin senang ketika gue mengakui perasaan gue dan ternyata Kiran merasakan yang sama jauh lebih dulu. Gue sebenarnya kaget ketika tahu bahwa Kiran sudah menyukai gue sejak kelas sepuluh, karena gerak-geriknya benar-benar nggak kentara! Namun, untuk menyandang status sebagai cowoknya Kiran, gue masih harus melakukan pendekatan lagi selama sebulan karena walaupun cewek itu suka sama gue juga, Kiran nggak mau terlalu cepat. Gue setuju, jadi gue nggak keberatan untuk pelan-pelan. Pada akhir kelas sebelas, Kiran akhirnya mempersilakan gue untuk menjadi pacar betulannya.
Awalnya, gue kira yang gue jalani dengan Kiran nggak ada bedanya dengan cinta monyet anak SMA yang bubar saat lulus, tapi gue dan Kiran nggak pernah kepikiran buat putus. Selama menjadi pacar Kiran, gue merasa Kiran benar-benar nyambung sama gue dari berbagai sisi, seperti kepribadian, selera humor, hobi bercerita, sampai musik favorit. Kenapa ada musik favorit? Karena gue ketularan jadi Mendesarmy sejak banyak bergaul dengan Kiran. Sisa-sisa masa SMA gue juga banyak gue habiskan bersama Kiran. Kami berdua main bareng, ke kantin bareng, sekelompok bareng, bahkan belajar UTBK juga bareng, entah di rumah gue atau rumahnya.
Kiran juga menemani gue pada masa-masa gue mengeksplor jurusan kuliah. Sampai akhirnya, pilihan gue jatuh pada Ilmu Komunikasi, jurusan yang gue pilih karena gue tertarik dengan hampir semua peminatannya. Kiran jugalah yang pertama kali menyemangati gue ketika gue sudah menentukan pilihan itu.
“Sumpah, Hes? Jadinya Ikom?”
“Iya, Ran. Aku udah liat-liat matkul Ikom, terus nanya-nanya temennya Mas Hilmi yang Ikom. Kayaknya ini yang paling aku suka.” Sore itu, di rumah gue, gue memberitahu pilihan final gue sebelum sesi belajar kami dimulai.
“Yes, akhirnya! Dapet juga jurusan yang paling cocok.” Kiran tersenyum lega. Tangannya kemudian menepuk bahu gue. “Semangat, ya! Sekarang tinggal diperjuangin. Pasti dapet, kok.”
Senyum gue terpatri tulus untuknya. “Makasih banyak udah bantuin aku, ya, Ran. Kamu mau temenin aku lagi, ‘kan, buat merjuangin jurusan ini?”
“Mau, tapi aku boleh request juga, nggak?”
“Boleh, lah. Kamu mau apa?”
“Mau kita daftar di kampus yang sama.” Kiran menatap gue penuh harap. “Kamu mau, nggak?”
Kalau mata bulatnya sudah menatap gue seperti itu, mana bisa gue nggak jatuh suka? Gue tertawa kecil. “Cie, nggak tahan jauh-jauh dari gue, ‘kan, lo?”
“Yeee, Mujidin.” Gue pikir, Kiran akan lanjut mencibir gue seperti biasanya, tetapi gadis itu justru menyengir. “Tahu aja.”
“Aduh, lucu amat cewek gue.” Gemas, gue bawa tangan gue untuk mengacak rambutnya, kemudian gue cubit kecil pipinya. “Kamu nggak usah request juga aku udah mau, Ran. Dari awal juga aku rencananya gitu.”
Ya, karena sejujurnya yang lebih nggak kuat jauh-jauhan adalah gue. Ketika kami akhirnya diterima di kampus yang berbeda, gue lebih nggak sanggup untuk nggak melihat wajahnya walau hanya sehari. Bodo amat, deh, dibilang bulol—bucin tolol—sama teman satu indekos gue, si Dimas. Yang penting gue bisa melihat wajah Kiran tiap hari, meskipun cuma lewat video call. Kadang-kadang juga gue menghampiri indekosnya yang untungnya masih bisa dijangkau karena kedua kampus kami masih satu kota. Bayangkan, gue yang awalnya apa-apa berdua sama Kiran sampai orang tua masing-masing sudah kenal satu sama lain, harus terpisah karena beda kampus dan jarak. Wajar, dong, gue kangen tiap hari?
Keterpisahan kami awalnya nggak jadi masalah karena gue dan Kiran masih bisa meluangkan waktu untuk bertemu satu sama lain, tapi setelah tanggung jawab kami makin banyak, semuanya nggak semudah itu. Meskipun begitu, gue tetap bertekad untuk mempertahankan komunikasi kami lewat chat. Kalau nggak sempat video call, kami pasti berkirim pesan.
Namun, ternyata cewek gue jauh lebih sibuk daripada yang gue bayangkan. Sejak menjadi mahasiswi Ilmu Ekonomi dan terlibat dalam himpunan mahasiswa jurusannya, waktu Kiran banyak habis untuk kepanitiaan. Nggak cuma itu, cewek gue juga ikut berbagai lomba bersama teman-temannya di tengah padatnya proker. Gue sudah pasti bangga karena cewek gue punya ambisi di luar akademik. Kegiatan gue sebagai mahasiswa Ilmu Komunikasi pun nggak jauh-jauh dari situ, jadi gue nggak punya alasan untuk nggak mendukung Kiran sebagaimana Kiran mendukung gue.
Sayangnya, ada masa ketika kesibukan Kiran membuat alur komunikasi kami goyah. Kiran mulai jarang membalas chat gue dari hari ke hari, sampai di titik Kiran nggak menghubungi gue seharian. Kabar terakhir yang gue tahu adalah Kiran sedang sibuk mengurus lomba business plan-nya dan pada saat yang sama, ia juga menjabat sebagai vice project officer proker pengabdian masyarakat di himpunannya. Gue paham Kiran sibuk, tapi masa nggak ada waktu untuk sekadar membalas chat gue? Yang paling parah adalah ketika kami sudah memiliki janji makan malam berdua, anak itu nggak ada saat gue jemput di indekosnya dan nggak bisa dihubungi.
Seharusnya gue kesal karena Kiran melupakan janji kami, tapi malam itu, gue cemas setengah mati karena Kiran nggak bisa gue temukan. Sebenarnya, Kiran ke mana? Saat gue telepon salah satu teman dekatnya di himpunan, barulah gue tahu kalau Kiran dan teman-temannya sedang survei lokasi untuk pengabdian masyarakatnya, tapi Kiran nggak kasih gue kabar. Gue tadinya mau jemput di lokasi, tapi temannya bilang, rombongan himpunan Kiran sudah berada di jalan pulang. Akhirnya, gue tunggu Kiran di depan indekosnya dan lima belas menit setelahnya, anak itu memunculkan batang hidungnya.
“Loh, Hesa? Kamu nungguin aku?” Raut wajah Kiran tampak kaget melihat gue, tapi gue masih bisa menangkap lelah pada matanya. Ikatan rambutnya nggak beraturan, poninya lepek, dan bibirnya sedikit pucat.
Gue menghela napas melihat keadaannya. Kalau kondisinya begini, gue sama sekali nggak bisa marah. “Kamu capek banget, ya, hari ini?”
“Iya, aku tadi abis—astaga, aku belum ngabarin kamu, ya?” Kiran menatap gue bersalah. “Tadi sore abis kelas, aku survei tempat ke lokasi pengmas hima. Harusnya survei tempat itu jadwalnya masih lusa, tapi tiba-tiba Pak RT-nya bilang nggak bisa. Aku sempet nanya, surveinya bisa besok, nggak? Ternyata nggak bisa juga, jadi terpaksa hari ini. Soalnya kalau diundur minggu depan, nanti timeline-nya molor semua.”
“Kenapa nggak ngasih tahu aku?” tanya gue, sehalus mungkin tanpa terdengar menuntut karena Kiran sedang kelelahan.
“HP aku mati, sampai sekarang juga masih mati soalnya baterainya abis. Temen-temen aku nggak ada yang bawa powerbank, terus tadi di sana juga lumayan lama diskusinya, jadi aku nggak kepikiran buat hubungin kamu. Maafin aku, ya?” Kiran masih menatap gue penuh rasa bersalah. Kemudian, matanya tiba-tiba membeliak. “Ya ampun, hari ini tanggal berapa?”
“Dua puluh.”
“Dua puluh? Astaga, harusnya hari ini kita makan di luar, ya?” Sesal menyelimuti raut wajah Kiran. “Maafin aku, ya, Hes ... harusnya tadi aku effort hubungin kamu biar kamu tahu aku nggak bisa. Harusnya tadi aku pinjem HP temen aku aja, ya? Kenapa tadi aku nggak mikir gitu, ya? Malah kamu yang jadi nungguin aku di sini. Aku nggak ada pembelaan apa-apa, kok. Ini emang pure salah aku, jadi aku minta maaf, ya ....”
Permintaan maaf itu terucap oleh Kiran dengan nada penuh penyesalan. Mata lelahnya menatap gue sayu dan gue tahu kalau gue membalasnya dengan argumen, pasti air matanya akan turun. Gue nggak mau menutup malam itu dengan adu mulut, dan gue mana tega menyerangnya dengan kata-kata gue kalau Kiran sudah memelas begini?
“Kamu marah, ya, Hes?” Suara Kiran melirih.
Gue menggeleng, kemudian gue tarik gadis itu ke dalam pelukan gue. “Aku nggak marah, aku cuma khawatir soalnya kamu dicariin nggak ada. Aku takut kamu kenapa-napa.” Tangan gue mengelus rambutnya lembut, kemudian gue tinggalkan kecupan singkat di puncak kepalanya. “Besok-besok nggak gitu lagi, ya, Sayang?”
Kiran mengangguk di dalam pelukan gue. “Iya, aku nggak bakal gitu lagi. Janji.” Tangan kecilnya mendekap tubuh gue lebih erat. “Maafin aku boleh, ya?”
“Boleh. Kabarin aku kalau ada apa-apa juga boleh, ya?”
“Boleh banget. Pasti aku kabarin.” Gadis itu menarik kepalanya dari pelukan gue, kemudian menengadah untuk menatap gue tanpa melepas lingkar tangannya pada tubuh gue. “Aku beneran nyesel udah lupa sama dinner kita hari ini.”
Gue terkekeh singkat, kemudian gue selipkan helai rambutnya ke belakang telinga. “Parah banget, nih, emang. Kalau gini mendingan tadi aku ngewarteg sendiri.”
“Jadi kamu dari tadi belum makan?”
“Belum, lah. ‘Kan nungguin kamu.”
“Ya ampun, Mahesa ....” Kedua mata Kiran menatap gue lagi-lagi dengan bersalah. “Ya udah, kita makan sekarang, ya? Kamu mau aku masakin, nggak, biar cepet? Aku masakin aja, ya, di kosan aku?”
“Nggak usah, Ran, kamu keliatannya capek banget. Aku beli sendiri aja abis ini, biar kamu langsung istirahat.”
“Nggak, nggak apa-apa. Aku juga belum makan malem, kok, jadinya sekalian.” Kiran meyakinkan. “Ya? Makan sama aku aja, ya?”
Ajakannya gue terima dan persetujuan gue membangkitkan senyum pada wajah kesayangan gue itu. Namun, ternyata, permintaan maaf Kiran nggak berakhir hanya pada malam itu. Besoknya, sore sepulang gue dari kampus, gue memergoki Kiran sedang menunggu di depan indekos gue dengan sebatang cokelat di tangannya.
“Kamu, kok, nggak bilang-bilang mau nyamper?” tanya gue ketika sudah berhadapan dengan Kiran.
Kiran tersenyum manis. “Maaf, ya, aku nggak bilang dulu mau ke sini. Aku nungguin kamu biar impas, soalnya kamu udah nungguin aku lama kemarin.” Gadis itu menyodorkan cokelatnya ke arah gue. “Ini buat kamu. Maafin aku soal yang kemarin, ya?”
Kelakuan Kiran membuat sudut bibir gue tertarik ke atas. Padahal, gue sudah memaafkannya dan bahkan memeluknya kemarin. Seharusnya itu cukup menjadi bukti bahwa gue sudah memaafkannya, tapi Kiran tetap memberikan sesuatu buat gue sebagai tanda permintaan maaf. Mana anaknya nungguin gue pulang juga lagi.
“Segala pake impas-impas, emang mainan anak SD?” Gue acak-acak poninya gemas, kemudian gue terima cokelat itu darinya. “Makasih, ya, Cantik. Padahal kemarin udah aku maafin.”
“Nggak apa-apa. Aku lagi pengin liat kamu seneng hari ini, jadi aku bawain cokelat yang kamu suka.”
Kalimatnya itu makin membuat gue gemas. Kurang lucu apa cewek gue coba? “Kamu mau bikin aku lebih seneng, nggak?”
“Mau. Gimana?”
“Abis ini jangan langsung pulang. Pergi dulu sama aku.” Di kepala gue, terlintas sebuah tempat yang sempat jadi bahan obrolan teman-teman gue di kampus tadi siang. “Di deket sini ada restoran sushi baru buka. Denger-denger, sih, enak.”
“Boleh, kita cobain aja kalau gitu. Kemarin, ‘kan, makan di luarnya batal.”
“Oke, ayo berangkat sekarang.” Gue menelusupkan jemari gue di sela-sela jemari Kiran, menggenggam tangannya erat. Ketika mata kami bertemu, gue mengulas sebuah senyum simpul untuknya.
Sadar dengan niat gue menggandeng tangannya, Kiran menatap gue antusias. “Kita jalan kaki?”
“Tiga puluh menit. Aman, nggak?”
Gadis kesayangan gue mengangguk tanpa ragu. “Kamu tahu aku nggak akan nolak jalan kaki selama apa pun sama kamu,” jawabnya. “Shall we walk, then?”
Gue daratkan satu kecupan lembut di punggung tangannya sebelum berkata, “Of course.”
Awalnya, gue kira yang gue jalani dengan Kiran nggak ada bedanya dengan cinta monyet anak SMA yang bubar saat lulus, tapi gue dan Kiran memilih terus melanjutkan. Hubungan gue dengan Kiran memang nggak mulus karena persoalan dan kesalahpahaman kami masih jauh lebih banyak daripada yang gue ceritakan. Namun, sama seperti Kiran, gue nggak akan pernah menolak berjalan selama apa pun kalau ada Kiran di sisi gue. Jadi, dengan ketidaksempurnaan yang kami miliki saat ini, gue nggak apa-apa.
Gue tahu jalan kami masih jauh. Masih banyak yang akan kami lewati di kemudian hari nanti, tapi selama Kiran masih bersama gue, gue sanggup berjalan lebih jauh lagi.
I'll walk with her any day. I'll walk with her tomorrow and forever, too.
•••
WRITER'S NOTE
HII! Apa kabar semuanya? Semoga baik-baik yaaa. Tbh cerita ini sebenernya udah finished di chapter sebelumnya (yup chapter 07 was the last chapter), but I still have some ideas for an extra part, so here you go!
Thank you for walking with Hesa and Kiran throughout their little journey! I'm officially signing off :D see you in another story!
Love,
A
KAMU SEDANG MEMBACA
Shall I Walk You Home Tomorrow, Too?
Novela JuvenilGara-gara satu kejadian lucu di kelas, Kiran dijodoh-jodohkan oleh seluruh penghuni XI IPS 3 dengan Hesa, orang yang diam-diam pernah ia sukai saat kelas sepuluh. Berbeda dengan Kiran yang cenderung mengelak, Hesa justru menikmati alur yang dibuat t...