04. WITHOUT HIS CONSENT (AGAIN)

380 29 2
                                    

WARNING ⚠️
Cerita ini mengandung unsur LGBT, kekerasan, kata-kata kasar, dan seksualitas. Pembaca diharap bijak.

•••

Dalam keaadan setengah sadar, Navier merasakan satu tangan sedang menahan kedua tangannya di atas kepalanya. Lehernya terasa seperti di cekik oleh seseorang. Tubuh bagian bawahnya juga merasakan sesuatu yang penuh bergerak keluar masuk. Suara desahan laki-laki juga samar-samar tertangkap di indra pendengarannya. Namun, terasa begitu berat bagi Navier untuk membuka matanya.

•••

Pukul 5 pagi. Suara rintikan air shower yang terdengar dari kamar mandi membuat mata yang telah lama terpejam itu akhirnya perlahan-lahan terbuka meski terasa sedikit berat. Hal yang pertama kali Navier lihat adalah pemandangan gedung-gedung tinggi dengan banyaknya titik-titik cahaya dari balik jendela besar apartement milik Marva.

Saat Navier mencoba mengubah posisinya menjadi setengah duduk, ia sudah tak begitu merasakan nyeri yang menghujami kepalanya lagi. Tapi anehnya, hampir semua bagian tubuhnya terasa sakit, terutama bagian bawahnya. Bahkan, rasanya bisa dibilang pedih. Ia tak sengaja meloloskan desahan dari bibirnya ketika denyut sakitnya sampai menuju kepalanya.

"Eh? Udah bangun?" Kepala Navier tertoleh ke arah samping dengan spontan. Netra matanya menangkap presensi laki-laki yang tengah telanjang dada dengan balutan handuk berwarna hitam yang melilit di pinggangnya seperkian detik. Tentunya, tubuh atletis laki-laki itu terlihat dengan sangat jelas ditambah beberapa tetes air membasahi tubuhnya.

"Marva... sakit..." lirih Navier dengan nada bergetar. Perhatiannya tak lagi terpusat kepada Marva ketika ia memejamkan kedua matanya erat. Kedua tangannya mencengkram erat sprei kasur berwarna putih itu untuk menyalurkan rasa sakitnya. Sampai dimana ia tidak bisa menahan rasa itu lagi, Navier pun meneteskan setetes air mata yang membasahi pipinya.

Marva langsung mengetahui hal itu adalah akibat ulahnya semalam. Bukannya merasa bersalah, justru Marva menyunggingkan senyum tipis. Ia lantas melangkah ringan menghampiri Navier yang tampaknya sedang mati-matian menahan semuanya. "Kenapa? Lo kenapa?" tanya Marva berpura-pura, kedua tangannya menangkup pipi laki-laki itu.

"S-sakit... gue n-nggak tau ini kenapa..." Kini satu tangan Navier beralih mencengkram kuat bahu Marva saat laki-laki itu sudah duduk di pinggir ranjang dekat dengannya. "Bawah gue sakit banget Va..." lanjut Navier, ia menatap Marva dikala kedua matanya sudah berkaca-kaca dan mengeluarkan bulir-bulir air.

Tatapan intens itu ditujukan kepada Navier. "Ah... kayaknya gue terlalu kasar kemarin mainnya, sorry, ya Nav?" Ibu jari Marva bergerak pelan mengusap-usap pipi Navier, berusaha menenangkan laki-laki di hadapannya yang kini tengah menangis.

Kedua alis Navier mengeryit ketika mendengar penuturan Marva. "Maksud lo apa?" tanya Navier membutuhkan penjelasan. Namun, Marva memilih untuk tidak menjawab dan hanya tersenyum seraya menyelipkan anak rambut Navier ke belakang kepalanya. Merasa diabaikan, Navier langsung menepis kasar tangan Marva. "Maksud lo apa, Marva?" lanjut Navier sekali lagi.

Ketika Navier mengingat suatu hal yang tiba-tiba terputar di dalam pikirannya, detik itu juga ia terdiam. Ia mengingat keadaan dimana ia setengah sadar. Awalnya, Navier kira itu hanyalah bunga tidur mengingat ia sama sekali tidak bisa membuka kedua matanya. Sebelumnya akhirnya bersuara, ia mengepalkan kedua tangannya. Ia menyadari sesuatu yang tak beres. "Lo apain gue semalam, Va? Lo kasih gue obat tidur, kan?!" tanya Navier dengan tatapan tak percaya.

RED LIGHTS  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang