01. WAYS TO GET HIM BACK

737 41 4
                                    

WARNING ⚠️
Cerita ini mengandung unsur LGBT, kekerasan, kata-kata kasar, dan seksualitas. Pembaca diharap bijak.

•••

Sebuah percikan air jatuh berkali-kali mengenai wajah Navier yang kini tengah terbaring tak sadarkan diri di atas brankar UKS. Sudah 10 menit berlalu semenjak ia kehilangan kesadarannya, namun laki-laki itu tak kunjung membuka kedua matanya. Tepat di sebelah brankar, terlihat Marva yang tengah duduk di atas kursi. Satu tangannya sibuk membuat percikan air dari botol mineral yang ada di dalam genggamannya, dengan harapan, Navier akan sadarkan diri.

Selang beberapa detik, Marva menghentikan aksinya untuk membuat percikan air ketika ia melihat kedua mata Navier yang perlahan-lahan terbuka. Tak lama, terdengar suara lenguhan dari bibir Navier. Melihat hal itu, Marva mengembuskan napasnya lega. Rupanya, laki-laki itu memilih untuk menetap di dunia dan tak mengunjungi alam baka.

Setelah kedua matanya terbuka sempurna, Navier memegangi kepalanya yang terasa begitu pusing. Marva menyingkirkan tangan Navier dengan pelan, lalu memposisikannya di samping tubuhnya. Satu tangan Marva lantas beralih mengusap-usap puncak kepala Navier, sebuah senyuman tipis pun terukir di wajahnya ketika ia menatap wajah rupawan laki-laki itu.

"I'm sorry. I went too far." Tatapan yang intens itu ditujukan kepada Navier. Tangannya yang semula berada di puncak kepala Navier kini sudah menyentuh pipi laki-laki itu, ibu jarinya bergerak dengan lembut di atas permukaan kulit yang terasa begitu halus. Ada perasaan bersalah di dalam dirinya setelah memperlakukan Navier dengan kasar.

Sebenarnya, Navier malas melihat wajah laki-laki yang kini tengah berada tepat di sampingnya. Jika boleh mengatakan yang sebenarnya, Navier ingin teman perempuan di organisasi PMR-nya lah yang menunjukkan diri saat ia membuka matanya. Tapi apa daya, mengingat Marva yang tak ingin melihatnya berdekatan dengan laki-laki maupun perempuan, membuat Navier harus menghilangkan harapannya.

Navier menepis tangan Marva kasar dari pipinya, lalu memalingkan wajahnya ke arah samping. "Leave me alone. Gue nggak mau liat muka lo!" Kejadian yang membuatnya tak tersadarkan diri tiba-tiba teringat jelas, membuatnya meringis sendiri. Atau lebih tepatnya, membenci laki-laki yang telah memperlakukannya dengan tak manusiawi.

Sebuah hembusan napas pelan terdengar. Pernyataan yang dilontarkan Navier sukses membuat Marva kembali merasakan kesal. Namun, ia berusaha menahannya agar emosinya tak semakin mendidih. "Maaf Nav, maafin gue ya? Gue cuma nggak suka lo deket sama Ethan." Ia mencoba mencuri rasa iba di hati Navier dengan mengelus punggung tangan laki-laki itu.

Alih-alih menerima permintaan maafnya, laki-laki itu justru kembali menepis kasar tangan Marva. "Nggak! Cuma gara-gara gue sekelompok sama dia, lo mukul gue lagi? Mending lo pergi sana!" kesal Navier. Tatapan mata tak suka di kedua matanya tentu ditujukan kepada Marva yang kini mati-matian menahan amarahnya yang tertahan dan semakin bergemuruh.

Sedikit merasa geram dengan perintah laki-laki itu, Marva menggertakkan rahangnya kuat. "Cuma lo bilang? Lo tau, kan Nav? Seberapa nggak sukanya gue sama Ethan?" Dirinya benar-benar diuji kali ini, ia benar-benar tak ingin menyakiti Navier lagi. Namun, entah mengapa perlakuan Navier kepadanya membuatnya ingin sekali melayangkan satu pukulan yang kuat agar laki-laki itu sepenuhnya berada di bawah kendalinya.

Mendengar sahutan Marva yang terdengar seperti tak terima, Navier mengubah posisinya menjadi duduk dengan perlahan. "Pergi nggak lo? Atau mending gue yang pergi?" ketus Navier, ia menatap nyalang ke arah Marva yang rupanya sedang dilakukan oleh laki-laki itu juga. "Apa lo? Cepet pergi! Atau kita pu-"

Setelah seperkian detik menahan emosi yang tak lagi terbendung itu, akhirnya emosi Marva kembali meledak bagaikan gunung berapi yang memuntahkan lavanya. Tiba-tiba, Marva mengubah posisinya menjadi berdiri. Lalu, satu tangannya dengan cepat bergerak mencekik leher Navier hingga tubuh laki-laki itu kembali terbaring sempurna.

RED LIGHTS  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang