3. Dunia berubah

6 1 0
                                    

Lucia terkekeh dan menggeleng beberapa kali. Aiden baru saja menghubungkan pikirannya dengan Lucia, meminta bantuan untuk membuka pintunya. Padahal jika pintu itu dihancurkan, Lucia tidak akan marah.

"Lucian, bukakan pintu untuk Aiden."

Lucian mengangguk. Laki-laki berwajah tegas itu segera melaksanakan perintah.

Lucia duduk di kursi paling ujung dengan bawahannya yang duduk juga di kursi masing-masing.

Pelayan masuk bergiliran membawa makanan. Ini lebih seperti perjamuan, pikir Lucia.

Semuanya makan dengan tenang hingga pintu terbuka memperlihatkan Aiden dengan wajah masamnya. Di belakang Lucian juga berwajah masam, pakaian keduanya berantakan, sepertinya habis berkelahi.

Aiden melangkah maju ke arah Siv, hendak bertarung yang langsung saja dihentikan oleh Isaac yang tidak ingin makannya terganggu. Siv dengan senang hati menerima, meledek Aiden, menambah minyak dalam kobaran api.

"Kau!"

"Ah, kau berhasil keluar? Yah, dengan bantuan Lucian itu memang bisa sih~"

"Diam kau pengecut. Jika aku menghajarnya sekarang, kau hanya bisa melarikan diri ke laut, ck."

Siv menggeram tidak terima. "Hah! Kalau begitu ayo bertarung sekarang. Kau kupastikan akan tercekik hingga mati!"

Aiden menyugar rambutnya. "Sini ikan sialan. Aku pastikan kau kehabisan darah hingga tidak bisa bergerak lagi."

Wajah Siv memerah. Ia kesal. Siv meraih garpu di sampingnya, melempar ke Aiden, namun sayangnya, garpu tersebut malah menuju ke Isaac yang langsung saja Isaac mengangkat piring untuk melindungi dirinya, membuat steak yang enak itu terlempar ke depan, ke wajah Selina.

Selina yang diam sejak tadi, menikmati makanannya kemudian tiba-tiba dilempari berdiri, menatap Lucian sambil tersenyum.

"Lucian, kau ingat kau memiliki satu janji kepadaku? Kau bilang akan mengabulkan keinginanku." Lucian mengangguk. Senyum Selina terbit lebih indah, gadis itu menunjuk Aiden, Isaac, dan Siv.

"Sepertinya mereka masih belum mengerti tata krama makan. Aku ingin kau menjadi guru untuk mereka."

Lucia meletakkan alat makannya, melirik tertarik pada kerusuhan di depan. Dia terkikik geli.

Ketiga orang yang ditunjuk Selina berkeringat dingin. Isaac yang lebih dulu berbicara. "Aku tidak ikut-ikutan!" belanya yang tidak dihiraukan Selina.

Lucian mengangguk saja. Janji adalah janji walau harus membuat temannya kesusahan. Lucian juga tidak akan melembutkan caranya mengajar, toh Selina maunya Lucian sebenarnya menyiksa mereka.

"Sekarang duduk dan makan."

Semuanya mengangguk kecuali ketiganya yang akan dihukum. Mereka mengangguk dengan perasaan tertekan. Pelayan sekali lagi masuk membereskan kekacauan dan menyajikan makanan baru.

***

Sudah seminggu Lucia berada di ruang latihan, ingin mengecek apakah karakternya masih memiliki kekuatan atau haruskah ia memulai dari awal.

Hasil yang didapat Lucia membuat gadis itu menghela napas lega. Kekuatan Lucia tidak hilang, hanya sedikit berkarat seperti meleset atau tidak ia kesulitan mengatur besarnya kekuatan yang dikeluarkan. Hal itu membuat lapangan berubah 180° dari keadaan awalnya.

Selina menahan napas. Mengerikan. Pohon tumbang, rumput hijau memiliki lubang, bahkan sampai menjadi sebuah kawah.

Lucia sekali lagi mengalirkan mana ke cambuknya, mencambuk tanah hingga sedikit terbelah. "Kali ini kurang kekuatan," gumam Lucia.

Our Story Never EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang