"Kamu merasakan begitu juga, gak?" Lino menatapnya sendu. Iris gelap itu jelas menunjukkan seberapa sedih dan kesepiannya ia di sini tak ada siapa pun yang menemani.
Sayang malaikat bawel itu hanya bisa menggeleng pelan karena memang tak pernah merasakan bagaimana rasanya ditinggal atau meninggalkan pergi orang lain.
"Ayahku ... Papa ... kami baru saja akur saat aku mendekati ajalku. Aku senang saat Papa akhirnya menerima maafku dan akhirnya mau mengakuiku sebagai anaknya. Aku juga senang akhirnya Papa mau memelukku setelah sekian belas tahun tak pernah mau menyentuhku sama sekali. Aku senang karena Papa bilang mau memulainya dari awal lagi. Tapi aku gak senang karena aku tak punya waktu panjang untuk melakukan itu dengannya, dan malah memilih pergi meninggalkannya seperti Mama dulu. Aku justru menyakiti Papa disaat Papa mulai menaruh harapan baru padaku," urai Lino pedih.
Ia menengadah sesaat ke langit sembari memejamkan matanya. "Bunda ... Bunda sayang banget sama aku padahal aku bukan anak kandungnya. Aku gak pernah ngebahagiain Bunda selama ini dan malah terus-terusan ngasih beban. Bukan satu atau dua kali Bunda menangis karenaku. Rasanya sedikit menyesal karena aku belum bisa memberikan apa pun agar Bunda bisa tersenyum."
"Lino ...." Panggil Chris.
"Kak Juy ... Kakakku yang usil itu juga, dia baik banget karena sering ngebelain aku kalau Papa marah. Aku punya hutang budi dengannya." Tapi Lino masih bercerita hingga ia tak tega menyela ucapannya.
"Dan Felix ... aku sering melihatnya sendirian, murung, kesepian karena gak punya banyak teman. Aku bukan kakak yang baik buatnya, aku juga sering menyusahkannya."
Ada setetes air mata yang turun ke pipi pucat itu meski detik berikutnya segera ia sapu. Wajahnya lantas menoleh ke arah Chris dan ia tersenyum getir. "Aku belum sempat membuat mereka bahagia, Chris. Itulah yang membuatku murung sejak datang ke sini. Tempat ini sangat indah, aku suka sekali tinggal di sini. Tubuhku gak sakit lagi, dan aku bebas mau melakukan apa pun yang kumau. Tapi apa gunanya kalau aku hanya sendirian tanpa keluargaku? Aku ingin membawa mereka juga, tapi itu gak mungkin bisa," lirihnya pedih.
Sedikit-banyak Chris bisa merasakan apa yang Lino katakan. Dari raut wajahnya yang terlihat semakin sedih dan sendu, dari suaranya yang terdengar berat karena menahan tangis, dari bahunya yang terlihat tegang saat bercerita, dari seulas senyuman tipis nan getir yang disuguhkannya. Chris tahu jiwa Lino terpukul saat ini karena meninggalkan keluarganya begitu saja. Bukan berarti ia menyesal karena sudah memilih mati, hanya ia menyesal karena tak sempat memberikan yang terbaik pada mereka.
Dugaannya yang awal mula berpikir kalau Lino murung karena tak suka berada di sini jelas salah. Dan setelah mendengar semua itu darinya langsung membuat Chris bungkam, ia tak tahu harus menjawab apa.
"Aku merindukan mereka, apa aku bisa bertemu lagi? Satu kali saja. Aku ingin mereka tau kalau aku sekarang tinggal di sini dan aku udah gak sakit lagi," pinta Lino.
Sayang, gelengan kepala Chris adalah satu-satunya jawaban yang diterimanya.
"Kamu gak bisa bertemu dengan mereka lagi, Lino."
Mendengar itu jelas membuat wajah manis si remaja pun tertunduk lesu. Ia bergumam pelan, pasrah akan keadaan yang diterimanya, "Ya ... aku tau itu gak akan mungkin."
Kalau begini Chris jadi serba salah sendiri. Ia merutuki dirinya yang kepo dan bawel tadi. Jikalau masalahnya ada pada keluarga yang Lino tinggalkan tentu ia takkan menuntut jawaban sampai mengekorinya terus begini.
Namun di tengah keheningan yang menyapa mereka karena tak lagi ada yang berbicara, mendadak Chris teringat sesuatu.
"Eh! Bentar! Aku tau!" pekiknya seketika yang membuat Lino kembali menatapnya heran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Star ✓ [Lee Know ft. Bang Chan & Hyunjin]
Fiksi Remaja[beberapa bab tersusun acak dengan sendirinya dari wp. Jadi disarankan untuk melihat angkanya lebih dulu.] Chris bingung, kenapa sosok anak lelaki itu terlihat murung dan menyendiri? Di tempat baru yang indah ini, semua orang yang sudah mati dengan...