"Nyawa hampa itu terlihat hidup dalam balutan raga yang di kelilingi ranting kesepian"______________________________________
Tuhan itu maha adil, apa yang telah di korbankan hambanya pasti akan digantikan dengan yang lebih indah. Padahal hanya dengan bermodalkan rasa sabar dan ucapan syukur yang ikhlas.
Jaehyun berpikir apakah ini sudah menjadi puncak bahagianya, memiliki pekerjaan yang mapan, orang tua yang selalu mendukungnya, sahabat yang baik padanya, serta keluarga kecil yang hangat.
Jika ditanya perihal menikah lagi, Jaehyun hanya akan tersenyum manis menampilkan dimple manis di pipinya. Bukan tak ingin, tapi ia memang belum terpikirkan terlebih rasanya bahagianya telah lengkap walaupun hanya bersama putra kecilnya.
Jaehyun pikir ini akan terasa sulit, membesarkan seorang bayi mungil yang bahkan iapun belum memiliki pengalaman apapun sebelumnya.
Jika mengingat bahwa langkahnya sudah sejauh ini, Jaehyun tau mengapa semua di masa lalu harus terjadi. Tuhan bukan semata memberikan hambanya cobaan, namun cobaan itulah sebab utama hambanya menjadi kuat.
Putranya yang dulu hanya bisa menangis kini sudah bisa merajuk karena keinginannya yang belum Jaehyun penuhi.
Jaehyun menghela nafas pelan. "Kita sudah pernah membahas ini kan, Nana akan tetap bersekolah di SMA dekat rumah, tidak di Jogja".
"Ahhhh ayolah, di Jogja kan ada Mima".
Jaehyun yang masih fokus menyetir, dengan sengaja mengabaikan ucapan putranya yang sudah sangat frustasi.
Nana yang merasa bahwa ayahnya di pagi itu sangat menyebalkan, memilih untuk membuang arah pandangnya.
Yahh pagi yang menyenangkan untuk memulai perdebatan kecil yang esok akan dirindukan.
___
Seorang pemuda manis itu dengan tetiba merangkul pundak Jaemin yang sedikit limbung.
"Jadi?," Ia bertanya dengan cengiran yang sangat menyebalkan bagi Jaemin.
"Bola matamu mengecil kah, kau tak lihat siapa pria yang sedang mengobrol dengan ayahmu di sana". Balasnya ketus.
Haechan tertawa melihat bagaimana sahabat nya itu sepertinya benar-benar sedang kesal. "Sudah kuduga, ayahmu itu bersekongkol dengan ayahku. Padahal Jogja tidak terlalu buruk tapi tetap saja tidak diizinkan, kemarin saja kami tidak berbicara satu sama lain selama dua hari".
Jaemin terkesiap dengan ucapan Haechan, temannya yang dikenal sangat dekat dengan ayahnya itu bahkan bisa juga bertengkar sama tidak berbicara.
"Kau serius?".
Haechan mengangguk. "Awalnya kupikir ini sepele, kita akan melanjutkan SMA di Jogja dan akan pulang setiap liburan semester, bukan masalah besar kan. Tapi setelah ayahku mendiami ku rasanya jantungku sesak. Dia bahkan tidak membangunkan ku untuk makan bersama, kami tidak menonton tv bersama, dan tidak menghabiskan waktu bersama. Di hari itu ku pikir aku akan baik-baik saja walaupun dia mengabaikan ku, tapi di hari ke dua aku mulai merasa gelisah dan tiba-tiba air mataku mengalir, ya aku menangis dan aku tidak tau apa penyebabnya yang aku tau rasanya kosong. Sejak itu aku sadar, bukan ayahku yang egois tapi kami berdua yang tak bisa berpisah. Jadi kupikir om Jae juga memiliki alasan yang sama seperti ayahku. Nana SMA ini juga tidak buruk bukan?".
Jaemin terdiam.
___
Perkataan Haechan terus berputar dikepalanya, terlebih setelah pulang mengantarnya Jaehyun belum menemuinya untuk sekedar bertanya apakah harinya menyenangkan. Sesampainya mereka di rumah Jaehyun langsung disibukkan dengan panggilan telepon yang Jaemin tau itu dari pamannya Doyoung.
Apakah Jaehyun sedang mengabaikannya? Jaemin mulai gelisah. Haechan benar bagaimana ia bisa bangun pagi jika tidak ada ayahnya, bagaimana ia bisa tidur jika tidak ada ayahnya, bagaimana jika Mima tidak sesabar ayahnya.
Dadanya melai sesak, diabaikan oleh ayahnya jauh lebih menakutkan daripada dijauhi karena tidak punya ibu. Tanpa sadar air matanya mulai mengalir, Jaemin memukul dada kirinya dengan pelan merasa oksigen yang dia hirup rasanya tak cukup.
Jaehyun yang baru saja membuka pintu kamar anaknya pun terkejut melihat Jaemin meringkuk dengan isakan yang terdengar pilu, dengan segera ia membantu Jaemin duduk lalu merengkuhnya, tangan Jaemin ia genggam kemudian yang satunya lagi ia gunakan untuk mengelus dada kiri putranya.
"Ayah disini sayang maafin ayah, ayah yang salah," Jaehyun berucap seraya menciumi kening putranya yang masih terisak.
Setelah di rasa sudah tenang Jaemin membuka matanya melihat bagaimana ayahnya yang tampan juga ikut menangis seperti ikut merasakan sesak yang Jaemin rasa.
"Ayah maafin Nana, Nana nggak akan minta sekolah ke Jogja lagi tapi ayah jangan cuekin Nana".
Jaehyun terdiam memikirkan letak kesalahannya yang membuat putranya bisa berpikir demikian.
"Ayah marah kan, makanya pas pulang dari sekolah tadi ayah nggak ngajak Nana ngobrol".
Jaehyun bodoh.
Lantas ia menggeleng pelan. "Nggak sayang bukan begitu maksud ayah, ayah nggak marah sama Nana sama sekali nggak, tadi paman Doy telponnya agak lama makanya ayah baru nyamperin Nana sekarang".
Jaemin menenggelamkan wajahnya di dada bidang ayahnya. "Jangan marah, Nana nggak bisa kalok nggak ada ayah".
Jaehyun tersenyum, mengeratkan rengkuhannya seolah mengatakan bahwa seisi dunia pun tak akan bisa menyakiti putranya. "Ayah yang nggak bisa kalok nggak ada Nana".
______________________________________
Bumi dipijak
Desember 2023Halo semua terima kasih buat kalian yang sudah membaca cerita ini, pertama aku mau minta maaf kalau di rasa alurnya terlalu cepat.
"Dari bayi tiga bulan udah SMA aja". Maaf ya karena aku mau terfokus bagaimana nanti waktu menuju konflik tidak terlalu jauh.
Terima kasih sekali lagi buat kalian yang mau nungguin cerita ini. Update nya lama maklum mau KKN jadi terima kasih lagi dan lagi buat kalian yang udah sabar nungguin cerita ini.
💚
KAMU SEDANG MEMBACA
My Son || Jaemin
Fanfiction" Kemarilah, dunia terlalu mengerikan untukmu putraku "