1. Eila - Nuka

757 134 86
                                    

Sebenarnya Eila tidak seburuk itu.

Ia hanya sering tidur di kelas dan tidak suka membuang waktu dengan berbicara omong kosong pada orang lain. Dia tidak pernah berpikir untuk berseteru apalagi mengganggu, tapi semua memberi titel 'buruk' dengan mudah padanya.

Eila tidak mengakukan diri sebagai orang yang baik juga. Karena tidak menyimak, tentu saja nilai dia rendah. Wajar tidak disukai. Namun, sampai harus selalu menjadi bahan ejekan sementara masih banyak murid yang mendapat nilai di bawahnya, Eila merasa itu berlebihan.

Eila tak merugikan mereka, ia hanya menjalankan hidup untuk dirinya sendiri. Namun, mereka memilih menjadi hakim daripada hal sederhana seperti menganggap Eila tidak ada. Eila lebih baik jika keberadaannya tidak dihiraukan saja, karena terkadang cara mereka membuatnya lelah.

"Mending nggak usah sekolah aja nggak sih daripada cuma bisanya tidur."

Mata Eila tertutup dengan kepala menimpa tangan yang dilipat di atas meja, meskipun begitu ia masih punya kesadaran hingga bisa mendengar jelas ucapan salah satu penghuni di kelasnya itu.

"Lo mau berdalih karena nggak dapet ketenangan dari rumah lo, sampe nggak bisa tidur?"

Eila membuka matanya. Tubuhnya menegak lalu menatap sosok yang barusan berkata. Eila tidak mengerti, tapi lagi-lagi semuanya kembali pada titik itu. Apa pun yang Eila lakukan, semuanya selalu berbalik pada hal yang jujur saja, Eila lebih memilih untuk tidak dibahas lagi.

"Apa? Nggak terima? Kan fakta," seru anak cewek yang diketahui bernama Kalisa. Wajahnya jelas sekali menunjukkan ketidaksukaan. Sisa anak yang lain juga menatap dengan sorot yang sama. Membuat Kalisa semakin mendapat kepercayaan diri atas tindakannya menegur Eila ini.

"Kalo lo emang rusak karena keluarga lo, seenggaknya jangan bawa ke tempat ini. Lo simpan aja sendiri sana. Muak liat lo bikin ulah dengan dalih tersakiti. Lo tau kelas ini jadi dipandang jelek sama kelas lain. Guru-guru juga banyak ngeluh."

Eila baru satu bulan di sekolah ini. Di minggu pertama segala sesuatu tentang dirinya termasuk soal keluarganya yang tidak sempurna sudah menjadi konsumsi anak-anak di sini, bahkan di saat Eila belum membuka satu patah kata pun pada mereka. Hal itu menyebar begitu saja entah dari mana.

"Bukannya introspeksi dan bikin diri jadi lebih baik, lo bahkan jual kemalangan lo itu buat deketin Nuka, kan?"

Tangan Eila sedikit bereaksi begitu nama cowok itu disebut. Sosok yang merekomendasikan Eila untuk masuk sekolah ini setelah dirinya mendapat masalah dari sekolah lama. Eila baru tahu jika di sekolah ini cowok itu terkenal. Mengejutkannya lagi dia adalah murid yang dibanggakan. Namanya bersih bersinar, yang tentunya jika Eila berdiri di sampingnya hanya akan membuat Eila terlihat semakin hitam saja.

"Sadar dong, Nuka deket sama lo bukan karena tulus, tapi karena lo itu gampang diajak keluar, nggak ada ortu yang larang. Percaya deh lo bukan dipilih buat selamanya, buat masa remaja gini, cowok cuma ngelirik have fun aja."

Eila hanya diam mengamati. Tidak berniat membalas. Karena apa pun yang dirinya katakan, tak akan didengar jika itu bukan yang diinginkan Kalisa. Dulu Eila selalu berusaha meluruskan pandangan mereka, tapi sekarang ia mengerti bahwa itu hanya sia-sia.

"Gue ngingetin lo sebelum lo terjerumus semakin dalam. Lo kurang kasih sayang, gampang kerayu, nggak menutup kemungkinan bikin Nuka kegoda buat bertindak lebih. Nggak cuma soal diri lo, tapi lo juga bisa narik Nuka ke hal yang buruk. Jadi mending secepetnya lo nyadar diri."

Eila menghela napas kemudian memilih merebahkan kembali kepalanya ke atas meja.

"Hey Eila! Gue lagi ngingetin lo ya!" Kalisa meninggikan suaranya. Kesabarannya menguap hilang.

How Sweet? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang