Eila tak suka jika Nuka memanggil dengan nama lengkap. Jadi, sebut saja dia Eila. Pertama kali kenal adalah dengan cara yang klise. Nuka tidak sengaja menabrak Eila dan menumpahkan minuman pada bajunya. Nuka meminjamkan jaket untuk menutupi, karena kebetulan baju yang Eila kenakan adalah putih, yang tentunya berubah transparan ketika basah.
Dua hari setelahnya Eila mengembalikan jaket itu. Mereka mulai berbincang dan merasa nyaman dengan obrolan satu sama lain. Nuka pun menawarkan Eila untuk ikut membantu di Artemis, cafe milik kakak sepupu Nuka. Cewek itu menerima dan mereka pun semakin dekat.
Namun, meskipun mereka sangat dekat, Eila seolah memasang tembok tinggi tentang latar belakangnya. Eila tidak pernah membahas urusan pribadi, satu-satunya hal yang bisa dibilang curhat adalah ketika Eila berkata ada masalah di sekolah dia. Dengan senang hati Nuka menyarankan Eila untuk pindah ke sekolahnya.
Saat itulah Nuka merasa dijatuhi bom secara tiba-tiba. Cewek yang punya senyum lebar dan lirikan sinis saat Nuka jahili ternyata punya keluarga yang tidak baik-baik saja. Segala desas-desus tentang dia menjadi hal terpanas dibahas saat dia menjadi anak baru.
Nuka merasa bersalah. Dia hanya memikirkan agar lebih dekat dengan Eila, tapi ternyata Nuka justru membawa Eila ke sarang orang-orang yang tidak bisa menjaga ucapannya, yang bisa membuat suatu hal menjadi berkali-kali lipat lebih buruk. Eila bersikap biasa saat bersamanya, dia tetap menjadi teman mengobrol yang asyik hingga Nuka tak pernah punya kesempatan untuk meminta maaf atas hal itu.
Saat bercerita di atap sore tadi pun, Nuka tidak bisa menafsirkan, apakah Eila terluka atau hanya sekedar sarkasme remeh bahwa dirinya tak mempedulikan hal itu. Hanya satu yang pasti yaitu tentang mereka yang sudah berani mengganggu Eila secara langsung, Nuka kibarkan bendera kebencian.
"Ka, Meyra ke mana?"
Baru saja dipikirkan, sosoknya langsung muncul di hadapan Nuka. Dia tengah melepas celemek pegawai sementara tangan yang lain membawa jinjingan.
"Ke toilet bentar. Kenapa?"
"Kata Mbak Nisa makan malam dulu." Eila mengacungkan jinjingan yang dirinya bawa. "Katanya di depan nggak terlalu hectic kok, jadi kita bisa nyantai."
Sebagai orang dalam, Nuka tentunya diberi kebebasan oleh Bia, pemilik cafe ini. Bagian belakang terdapat ruang untuk tempat tinggal pegawai. Sayangnya sudah tidak digunakan karena pegawai di sini rata-rata sudah menikah.
Nuka dan Yesa pun menjadikannya tempat kumpul, terkadang menginap di sana. Sebagai gantinya mereka bantu-bantu jika cafe ramai. Meyra yang jadian dengan Yesa pun ikut ke sini dan Eila menjadi anggota terakhir yang gabung atas ajakan Nuka.
Sepupu Nuka membuka freelance, sayangnya tidak ada yang mau menerima gaji. Akhirnya kakak sepupunya itu hanya menjamin makanan. Kulkas di sini pun tak pernah kosong dengan cemilan yang tentu membuat keempat anak itu semakin betah.
"Si Mey nanti aja. Lo dulu yang makan, tadi siang lo juga nggak makan. Nggak keliatan nongol di kantin."
"Iya-iya." Eila menjawab cepat, tidak ingin mendengar omelan Nuka lebih jauh.
Eila mengeluarkan dua kotak untuk dirinya dan Nuka. Dia memeriksa ke dalam jinjingan ketika tidak menemukan sendok. Karena sudah langganan, biasanya mereka juga menyediakan sendoknya di dalam.
"Eh Ei sorry, kata Mas Bayu lupa ngasih sendok. Nih pake ini," ucap Nisa yang datang menghampiri dengan membawa 4 sendok dan garpu.
Mata Nuka membelalak. Dia langsung bangkit lalu mencegat Nisa sebelum Eila menoleh. Nuka merebut alat makan itu, memilih sendok lalu semua garpu di kembalikan pada Nisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
How Sweet?
Подростковая литератураEila tidak ingin menjelaskan tentang dirinya, tapi jika diibaratkan dengan Nuka, itu bagaikan langit dan bumi. Keluarga cemara, pintar, populer ... Nuka terlalu sempurna sampai mungkin bisa seenaknya begitu. "Gue murahan." "Gue orang termiskin kare...