“Mona.”
“Eh?” Aku tersentak dari lamunan tentang ucapan terakhir Joe malam itu. Stevia dengan kurang ajarnya menyerobot gelas capuccino milikku di atas meja. “Ei! Itu punyaku!”
Stevia meneguk cepat dan mengembalikan ke tempatnya semula, lalu berkata dengan sangat tidak berdosanya. “Kamu ngelamun terus, sih kirain gak mau diminum. Jadi aku minum aja.”
Demi Kungfu Panda yang baru saja kutonton kemarin sore! Kenapa bisa-bisanya ada manusia seperti ini?! Padahal aku sudah berusaha setengah mati untuk merelakan harga diriku yang tinggi untuk membujuk Kak Auston agar diberikan uang lebih.
Untuk apa? Jelas untuk mentraktir makhluk lucknut di depanku yang sekarang malah dengan santai mencomot kentang goreng—yang juga—milikku. Astaga, ingin sekali kujejalkan saus sambal ini ke wajahnya. Huft. Padahal dia yang mengajakku ke sini, tapi kenapa malah dia yang mencomot semua makananku itu ke dalam mulutnya?!
“Mona, Agrav kok tumben, ya gak ikut kita?”
Aku langsung siaga begitu nama Agrav terdengar di telinga. Iya juga, biasanya dia yang paling antusias kalau diajak keluar begini. Secara, dia, kan tukang tampung makanan. Kalau tidak punyaku yang ditampung perutnya itu, ya, punya Stevia.
Tapi benar juga, kok tumben-tumbenan dia tidak kelihatan sekarang. Aku menatap Stevia. “Bukannya dia sepupumu, ya? Kenapa malah nanya aku?”
Gadis berkuncir kuda itu hanya mengedik acuh. “Kemarin terakhir, kan sama kamu. Kali aja kamu tau gitu.”
Aku bungkam. Benar juga. Memang kemarin aku yang terakhir bersamanya. Aku bergumam pelan. “Aku gak tau.” Mungkinkah Agrav masih memikirkan masalah yang kemarin?
Semalam, setelah memastikan Joe tidak ada di kamar, aku bergegas mengambil ponsel dan mengirim chat untuk Agrav, bercerita sesuai dengan apa yang Joe katakan mentah-mentah padaku dua jam lalu.
Aku benar-benar masih shock jika mengingat sikap Joe tadi. Dia membentak dan memarahiku seolah memang aku yang salah di sini. Ekspresinya yang dingin kala itu membuatku takut. Padahal dia tak pernah sekalipun menunjukkan ekspresi itu padaku.
Aku masih berpikir. Apa mungkin benar memang aku yang salah malam itu? Padahal aku tidak membela siapapun. Aku hanya mencoba menengahi permasalahan yang terjadi di antara mereka.
Tapi Joe terus meledak seolah dia bisa saja menghancurkanku hanya dengan sekali tatap. Dan setelah malam itu, aku belum melihatnya lagi berkeliaran di dalam kamar, maupun sekitar rumah. Hum, mungkin dia sedang travelling seperti biasanya.
***
Sepanjang perjalanan pulang, aku sibuk menendang ringan kerikil kecil yang kutemui di jalan. Padahal tujuanku adalah rumah, tapi pikiranku yang berkelana bebas ini justru membuat kakiku berjalan tak tentu arah.
Sore ini terasa hampa. Andai saja Joe muncul, aku benar-benar ingin minta maaf karena sudah membuatnya meledak seperti itu. Aku yakin, akulah yang membuatnya jadi murka begitu. Karena kekeras kepalaanku yang berujung ikut terbawa emosi dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Friendly Ghost
ParanormalAku tidak pernah menyangka jika rumah peninggalan orang tuaku, ternyata sudah lebih dulu berpenghuni sebelum kami datang. Aku bukan seorang indigo. Apalagi memiliki kemampuan sixth sense. Tapi entah kenapa, aku justru bisa melihat dia, Hantu seorang...