PROLOG

341 124 428
                                    

Begitu lama untukku berani menulis kisah ini, mungkin benar adanya bahwa, "Jika seorang penulis mencintai seseorang, maka orang tersebut akan abadi di tulisannya." Aku awalnya jauh - jauh hari sangat ingin melakukkannya tapi, ternyata aku tak sekuat itu dulu.

Aku duduk diam sambil menyesap segelas Teh, sesekali aku menatap sekitar, netraku terhenti di kala aku melihat seseorang yang mirip dengan mu, tapi mengapa rasanya aneh? Aku sempat heran, ada apa dengan ku? Kenapa ini tak sesakit kemarin? Aku menghirup nafas dalam dan tersenyum, dan kudapati bahwa kenyataanya bahwa itu senyum ter-iklasku.

Dulu aku sempat ragu, satu tahun, dua tahun, bahkan hingga aku memasuki dunia perkuliahhan kenapa kamu masi di sana? Hingga aku selalu menolak orang sekitarku, bahkan setiap orang men-capmu bukan orang yang baik, aku selalu membantah ucapan mereka dan membela mu.

Awalnya aku juga sempat beranggapan bahwa kamu ga akan pernah keluar dari ruangan kecil yang ada di dalam diriku, bahkan aku merasa bahwa aku hidup hanya ingin menunjukkan bahwa aku wanita terbaikk untukmu, tapi kini kenapa berbeda? Mengapa aku bisa seikhlas ini?

Mungkin benar adanya "waktu adalah obat paling ampuh" aku perlahan mulai bisa berjalan di kakiku tampa bayangmu, dan tidak lagi menyiptakkan ceritaku dengan anganku, terkadang perih tapi aku tak membencimu.

Perlahan aku membuka arsip dokumenku, yang ku beri judul "Tentang kamu" sebuah dokumen dengan judul tampa isi, seingatku dokumen ini ada 6 tahun lalu, sebuah judul yang ingin aku ceritakan tentang kita, tentang kamu, dan tentang seberapa tulusnya aku.

Tapi sayangnya saat itu aku tak sekuat itu, setiap aku mengingat mu ada sebuah rasa temaram mengiasi hatiku, ada rasa ke-asan menyerang kepalaku yang akhirnya membuatku hanya menyimpannya sebagai judul yang tak ber-isi.

Kali ini dengan senyum tulusku, aku akan menjadikkan mu abadi dalam tulisanku, aku mungkin hanya sebagian bab tak berharga di hidupmu, tapi yang pasti kamu adalah Bab terindah yang pernah ku lalui, tapi aku takk ingin mengulanginya.

Dengan ikhlasku, aku duduk di samping jendela caffe di kampusku bertemanka segelas teh ber-alunkan music lembut lalu diikuti suasana caffe tenang dengan orang- orangnya yang sibuk dengan hiruk pikuk dunianya.

Hai, terimakasi menjadi perasaan tertulusku.

TULUS TERAKHIRKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang