6. Menyusul Daddy Mark

43 7 0
                                    

Waktu yang ditunggu-tunggu Mali akhirnya tiba. Dia akan menyusul Mark, walau dirinya merasa heran dan kesal.

Mengapa dia tak ikut dengan Mark kemarin? Mengapa harus dalam waktu terpisah? Apakah waktu bersamanya membosankan?

Sebegitu menyenangkannya-kah pekerjaan Mark hingga menyita waktu bersamanya? Mali harap setelah konser ini, dia memiliki banyak-banyak waktu bersama Mark.

Terkadang hati mungilnya penasaran bagaimana penasaran, tentang bagaimana bila bersama sang Daddy. Apakah dirinya akan seperti teman-teman lain, yang dengan bangga mengatakan 'Waktu bersama keluarga itu paling menyenangkan, bermain tak se-menyenangkan itu karena percakapan keluarga lebih menyenangkan'?

Langkah kaki menuju ke pesawat sangatlah hening. Bahkan suara mesin pesawat terdengar sangat keras.

Mama dari Mark mengernyit bingung. Tumben sekali cucunya ini sunyi senyap, biasanya cerita dengan segala tema terangkai apik dari lisan mungil itu.

"Mali."

"Mali dipanggil Oma tuh."

Mali seketika tersadar lamunannya. Lelaki kecil tersebut mengedipkan mata, lalu menoleh ke sang Opa dan Oma secara bergantian.

"Mali lelah berjalan? Mau Oma atau Opa saja yang menggendong?"

Mali mengerucutkan bibir, menatap ke langit tak begitu terik, lalu menggelengkan kepala, "Tidak, Oma. Terima kasih."

Mama Mark tersenyum hangat lalu mengusap surai kecoklatan sang cucu, "Merindukan Daddy?"

Mali menganggukkan kepala secara antusias. Dia selalu merindukan Mark, lebih tepatnya merindukan waktu bersama dengan Mark.

"Ayo Mali naik." Papa Mark mengulurkan tangan membantu sang cucu menaiki tiap anak tangga pesawat.

Barisan bangku tiket ekslusif pesawat hari ini sangatlah sepi. Bahkan terlampau sepi bagian tersebut hanya berisi Mali dan orang tua Mark saja.

Tidak-tidak. Ini bukan jet pribadi ataupun Mark sengaja membeli semua bangku bagian ekslusif, melainkan maskapai ini masih sangat baru sehingga cukup sepi.

Benda full besi dengan sayap kanan kiri, mulai memunculkan kembali roda kecilnya bersiap untuk landing.

Oma Mali mengambil barang-barang di bagasi atas. Berpuluh-puluh tahun tidak naik pesawat bersama balita, tak membuat jemari Opa Mali gemetar.

Selain barang-barang dia yang bawa, sang istri yang bergandeng pada bahu, dia juga menggendong Mali terlelap.

Yaps, balita empat tahun tersebut terlelap beberapa menit setelah take off, sembari mendekap sebungkus snack sisa semalam.

"MALI!" teriak Mark bahagia dari kejauhan.

Papa dari Mark menghela nafas panjang, merasa kesal dan gemas. Sudah bagus-bagus putranya terlelap nyenyak, tetapi sang papa dengan penampilan serba tertutup berteriak dari kejauhan.

Manager Mark yang berdiri di samping terkekeh. Mereka menghampiri orang tua Mark dan Mali. Mali menggeliat di gendongan sang Opa.

"Kau ini---" Baru saja hendak memukul kecil pantat Mark. Mali telah terlebih dahulu mencubit lengan sang Opa, dengan nyawa masih setengah.

"Opa tidak boleh begitu pada Daddy-nya Mali."

Manager cukup tercengang. Bagaimana tidak terkejut. Balita seumuran Mali yang jarang memiliki waktu dengan kedua orangtuanya, tetapi tetap membela sang ayah walau dalam hal kecil. Ah, Mark sangat beruntung memiliki malaikat kecil padahal gila kerja. Terlalu gila hingga dirinya juga terseret gila kerja, padahal telah menegur sekali tetapi tak membuahkan hasil.

"Tapi Nak, yang nakal duluan Daddy Mali."

Mali mengerutkan kening sembari menatap Mark. "Benarkah Daddy?" tanya Mali sembari memiringkan kepala.

"Benar Sayang, Daddy kamu berteriak menghebohkan bandara dan membangunkanmu," jelas manager Mark.

Mali mengangguk-anggukkan kepala paham, "Berarti Daddy dan Opa harus saling meminta maaf. Opa telah hendak memukul Daddy, dan Daddy telah mengejutkan kami semua."

Mark terkekeh bangga melihat kecerdasan putranya. Mali menggerakkan tangannya melebar, menjelaskan sebanyak itu definisi kata semua yang dia maksud.

"Cucu Oma pintar sekali. Miss siapa yang mengajari, hm?"

Mali membusungkan dada yang diikuti dengan perut buncitnya ikut maju. "Miss Cel, Oma."

Para penggemar Mark yang saat itu berada di bandara, terutama mengerubungi mereka seketika berteriak gemas.

"Sudah-sudah kalau begitu ayo ke hotel," kata manager Mark mengajak.

Keempat pasang kaki orang dewasa ditambah sepasang kaki menggemaskan balita, akhirnya tiba di depan kamar yang akan menjadi peristirahatan selama di sini.

"Apabila Om dan Tante perlu suatu bantuan silakan hubungi saya kapanpun," pamit manager Mark.

Orang tua Mark tersenyum sebagai bentuk terima kasih.

"Apabila Mali ada perlu juga boleh menghubungi Uncle Manager?" celetuk Mali membuat keempat orang dewasa tersenyum gemas.

Manager Mark menunduk menyamakan tinggi dengan Mali, "Tentu saja dengan senang hati Uncle Manager tunggu panggilan Mali. Memang Mali perlu apa?"

Mali menatap Oma, Opa, dan Mark bergantian, lalu mengode agar manager sang Papa kembali menunduk.

"Mali ingin waktu Daddy untuk Mali juga Uncle."

Netra manager Mark spontan terbelalak terkejut. Sudut hatinya berdenyut nyeri bak tertikam hunusan pisau runcing. Mulutnya kelu bingung bertutur bagaimana.

Anak kecil selalu jujur. Kalimat sederhana tersebut sangatlah cocok dengan kepolosan Mali. Manager Mark hanya mampu tersenyum canggung, menepuk kepala Mali, berdiri dari jongkok.

"Mark ayo ke panggung," ajak manager Mark setelah kembali berpamitan dengan orang tua Mark, dan si menggemaskan Mali.

Mark baru teringat bahwa selain menjemput keluarganya, dia juga harus kembali melanjutkan hari kedua konser.

"Mommy dan Daddy istirahat saja."

"Kami akan menyusul setelah Mali tidur lagi, Nak" ucap Mama Mark.

Mark menggelengkan kepala. Orang tuanya pasti sangat capek. Toh, besok adalah hari ketiga dimana konser akan lebih lama berakhir, sebagai hari terakhir konser.

 Toh, besok adalah hari ketiga dimana konser akan lebih lama berakhir, sebagai hari terakhir konser

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
My Daddy Is Superhero Idol (SLOW UPDATE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang