Semuanya berlalu begitu saja. Hari ini, setelah menguatkan diri dan mental, Selena mendatangi ruang klub musik. Biasanya, Dero, cowok yang sudah ditaksir sejak setahun terakhir itu ada di sana. Latihan atau sekadar menulis lagu barunya.
Namun, Selena tidak menyangka ketika dirinya sudah berdiri di depan pintu klub musik, pintu tersebut langsung terbuka keras diiringi suara dentuman. Dari dalamnya, Dero keluar dengan terburu-buru. Dia bahkan tidak memperhatikan keberadaan Selena yang ada di depan hidungnya.
Alhasil, Selena tertabrak begitu keras. Tubuhnya yang mungil tidak bisa menjaga keseimbangan. Selena limbung, dia berakhir membentur pembatas koridor, lalu terjungkal. Dari lantai tiga, Selena terjun bebas.
Dia masih belum sadar dengan posisinya saat ini. Pikirannya seakan mati. Masih dengan isi kepala yang kalut, sosok cowok yang asing terlihat mengulurkan tangannya. Dia terlihat khawatir. Namun, sebelum Selena menyadari apa yang sedang terjadi, kepalanya sudah lebih dulu membentur paving dengan keras.
Sudah berapa lama?
Satu jam?
Dua jam?
Atau, satu hari? Dua hari?
Selena hanya merasakan dingin yang menusuk tulang. Dia berada di tempat yang gelap. Selena yang ketakutan hanya bisa meringkuk di salah satu sisi kegelapan yang tak berujung. Tubuhnya gemetar. Dia berharap semua mimpi buruk ini segera berakhir.
Siapa pun, Selena meminta tolong dalam gumamannya.
“Selena.”
Cewek berusia 16 tahun itu terkesiap kala merasakan sebuah tangan yang agak lebar menyentuh pundak kanan serta memanggil namanya. Di saat itulah, suasana mendadak berubah. Kegelapan menghilang.
Hal pertama yang Selena lihat ketika matanya terbuka adalah sosok cowok dengan potongan french crop sedang membungkuk menatapnya. Dia mengenakan seragam putih abu-abu yang sama seperti dirinya. Matanya terlihat berkilau dan ekspresi wajahnya menyiratkan sebuah kekhawatiran.
“Lo ... siapa?” Selena bertanya dengan suara kecil.
Cewek dengan tinggi tubuh 150 sentimeter dan berat 40 kilogram itu mulai mendudukkan tubuh. Kepalanya masih pusing. Mimpi yang barusan benar-benar terasa seperti nyata.
Cowok itu tersenyum. “Gue Wildan,” katanya lembut.
Dia mundur selangkah, lalu berjongkok di depan Selena. “Gimana? Udah merasa baikan?”
Selena tidak langsung merespons. Keningnya berkerut dalam, berusaha mengingat nama yang rasanya tidak asing terdengar telinga. Namun, sebelum otaknya mendapatkan berkas tersebut, tiba-tiba saja sosok Wildan yang semula memiliki wajah dengan rahang tegas, mata seperti kacang almond dengan iris cokelat, hidung yang terbilang mancung, dan bibir tipis dengan warna sedikit gelap yang cocok dengan kulitnya dengan warna tan, berubah.
Selena menganga. Tubuhnya kembali gemetar. Bagaimana tidak, cowok yang terlihat ramah itu kini terlihat mengerikan dengan mata kanan yang terjatuh dari rongga mata hingga menggantung seperti mainan kunci. Bukan hanya itu saja. Bagian kiri kepalanya pun mendadak terlihat peang dan sesaat kemudian, tengkorak kepala dekat keningnya terlepas, jatuh di paving.
Wildan bukan manusia, dia hantu.
Selena meringkuk. Menyembunyikan wajahnya di antara kedua lutut. Kedua tangannya terangkat menutup kedua telinga. Dia tidak bisa mencerna situasi ini. Apakah dirinya masih berada dalam mimpi?
“Pergi!” selena memekik.
“Lina, tenang dulu.” Wildan mengulurkan tangan, menyentuh kedua pundak Selena membuat cewek dengan rambut terurai sepundak itu menggeliat seperti orang tersetrum.
“Pergi! Lo setan, jangan sentuh gue!” Selena histeris. Dia mengibaskan tangan Wildan yang menyentuh pundaknya hingga terlepas.
Wildan terjungkal. Dia tidak mengira tubuh mungil Selena ternyata mempunyai kekuatan yang besar. Wildan mengangkat tangannya dan meraih mata kanannya yang menggantung untuk diletakkan kembali dalam rongga mata.
“Ya ampun. Mempertahankan wujud normal dengan energi positif yang sedikit benar-benar merepotkan,” gerutunya.
Wildan meraih pecahan tulang tengkoraknya, lalu menempelkannya kembali pada tempat seharusnya. Sekarang, Wildan terlihat seperti sedang bermain puzzle sederhana dengan bagian-bagian tubuhnya.
“Tenang, Lin. Setan enggak bisa menyentuh manusia!” suara Wildan meninggi. Dia kembali mencengkeram pundak Selena dan mengguncang tubuh mungil itu. “Lihat sekitar, sekarang, lo juga sama kayak gue.”
“Pergi! Jangan ganggu gue!” Selena tidak mau mendengar, suaranya semakin tinggi.
“Selena!”
Suara Wildan lebih tinggi. Bahkan, nada suara yang berat itu membuat tubuh Selena lebih merinding daripada mendapati sosok Wildan yang tidak wajar.
“Lo sudah mati, Lin. Sekarang, kita sama-sama hantu. Enggak ada yang perlu lo takutkan,” ucap Wildan. Dia menangkup wajah Selena dan membuat mata keduanya bertatapan. “Lihat sekitar. Di sini, di tempat ini, lo mati.”
Saat itu juga Selina terdiam. Pandangannya semakin jernih. Dia mengikuti saran Wildan dan memperhatikan sekitar. Benar saja, di sekelilingnya, garis polisi membentang dan di tempatnya berada tercium aroma anyir dan sisa darah yang sudah menghitam di beberapa bagian paving.
“Enggak, enggak mungkin! Enggak mungkin gue udah mati. Enggak mungkin!”
Selena yang masih belum bisa menerima keadaannya saat ini kembali histeris. Tangisnya yang keras memecah malam yang sepi, seperti musik pengiring tragis yang tidak enak didengar.
“Lo udah mati dan itu kenyataannya. Kalau lo enggak percaya, lo harus pegang kepala lo sendiri. Soalnya, enggak ada manusia yang otaknya kelihatan begitu.”
Tangan Selena spontan terangkat. Dia menyentuh ujung kepalanya yang botak dan kenyal. Ha? Sejak kapan tempurung kepala terasa begitu empuk seperti ini?”
“Itu otak lo, Lina,” komentar Wildan santai seolah pemandangan yang disuguhkan tersebut tidak terlihat takut sama sekali.
Selena meremas otaknya sedikit keras dan tanpa sengaja mencuilnya. Dia menatap gumpalan otak yang sedikit remuk itu dengan mata membesar, lalu berteriak kencang setelah melemparkan cuilan otaknya ke sembarang arah.
“Sebenarnya apa yang terjadi? Ke-kenapa gue jadi kayak gini?” suaranya tergagap dan sedikit bergetar.
Saat ini, tubuh yang sekaligus jiwanya terkejut berat dan rasanya kalau aliran darah dan jantungnya masih berdetak, Selena bisa saja mati karena darah tinggi atau serangan jantung.
Tampilan Wildan yang normal kembali menghilang. Mata kanannta kembali menggantung dan sudut kiri keningnya berlubang, memperlihatkan bagian otaknya yang terlihat berkedut.
“Ah, energi positif yang gue kumpulkan udah habis semuanya.” Wildan mendesah sembari memasukkan kembali matanya ke rongga mata.
Wildan kembali mengalihkan atensinya pada Selena. Cewek tersebut masih terdiam seperti patung taman yang mengerikan. Tatapan Wildan yang semula lembut berubah drastis. Dari bola matanya itu, terasa sekali kalau Wildan mulai serius.
“Lo udah mati, Lin. Itu faktanya. Kenapa lo bisa kayak gini, karena Dero ... yang membunuh lo.”
“Hah? Dero? Enggak mungkin. Dia itu orangnya baik, enggak mungkin dia bunuh gue tanpa alasan yang jelas.” Selena berkilah.
“Lo disundul Dero dari lantai tiga. Secara teori, dia yang bunuh lo.”
Selena terdiam. Dia menggigit bibir bawah pelan. Setelah Selena mati-matian mengumpulkan tekad untuk menyatakan perasaan pada cowok yang sudah dia cintai diam-diam dalam setahun terakhir, kenapa malah berakhir seperti ini?
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Segitiga Tanpa Sudut (SUDAH TERBIT)
Fiksi Remaja🥇 Juara 1 Crush Series "Kisah kita seperti segitiga tanpa sudut. Setiap garis yang menjadi penyusun tidak punya peluang untuk bersatu." *** Selena baru saja mau mengaku tentang perasaannya pada Dero, cowok yang sudah dia taksir secara diam-diam dal...