2. Teenage Dream

56 13 1
                                    

Hinata membalikkan halaman novel yang sedang dia baca untuk kesekian kalinya. Ia tidak pernah bosan dengan hobinya yang satu ini. Novel di tangannya adalah yang keseratus. Selain membaca, dia juga selalu menomori setiap novelnya. Hal itu membuat Hinata merasakan kepuasan tersendiri. Kebanyakan novelnya bertema romansa dengan kata-kata yang menggetarkan jiwa.

Di umurnya yang kelima belas, Hinata berharap dia akan jatuh cinta seperti itu. Cinta yang memberikan ketenangan. Hal inilah yang membuatnya sering menahan diri ketika teman-temannya mengajak Hinata untuk bersenang-senang, seperti saat ini.

"Ayolah, Hinata. Berkencan sekali tidak akan membuatmu terluka. Ini hanya kencan biasa. Kita akan bertemu di bioskop, makan es krim, dan menyanyi di karaoke. Toneri tidak akan langsung menjadi pacarmu dengan satu kali kencan."

Ino bukanlah seseorang yang mudah menyerah. Ia sudah membujuk Hinata selama dua jam. Gaara, pacarnya memintanya tolong pada Ino untuk mengenalkan Hinata pada Toneri yang sudah menyukai gadis itu sejak pertama dia melihatnya. Cinta pada pandangan pertama, begitu Toneri menyebutnya.

Masalahnya adalah Hinata bukan seseorang yang mudah dibujuk. Jika ada satu sifat Hinata yang membuat orang lain frustrasi, keras kepala adalah jawabannya. Ia lebih keras kepala dibandingkan ketiga temannya jika digabungkan sekaligus.

Ino melirik ke arah Tenten, meminta bantuannya untuk meyakinkan Hinata. Tenten menggelengkan kepala, sebagai isyarat untuk meminta Ino menyerah saja. Tidak seperti mereka bertiga yang memandang masa remaja untuk menemukan jati diri dan untuk memulai bermimpi, Hinata sudah tahu apa yang diinginkannya setahun yang lalu. Jadi, tentu saja, mimpi masa remajanya berbeda dengan mereka bertiga.

Sakura dan Ino mungkin tidak tahu kenapa sulit sekali mengajak Hinata bersenang-senang. Mereka juga tidak tahu kenapa Hinata lebih suka kegiatan yang membosankan untuk mengisi waktu luang, tapi Tenten tahu.

Gadis cantik itu tidak pernah bercerita, namun tempo hari, secara tidak sengaja Tenten menyaksikannya. Bukan suatu hal yang aneh jika dilihat dari kacamata seseorang yang tidak mengenal Hinata.

Hanya orang-orang yang dekat dengan gadis itu yang mampu menebak apa yang ada di pikirannya. Tenten termasuk golongan orang-orang tersebut. Ia melihat Hinata dengan seorang pria.

Tidak, gadis itu tidak melakukan hal yang tidak boleh dilakukan oleh seorang remaja. Tenten melihat Hinata sedang bertatapan dengan pria dewasa yang sangat tinggi, berbahu lebar, dan bermata segelap malam. Pria dewasa yang tampannya tidak keruan, juga memiliki senyuman paling menawan. Tatapannya pada Hinata memancarkan kelembutan. Hal-hal sederhana tersebut menjelaskan semuanya pada Tenten.

Hinata dan pria dewasa tersebut, entah bagaimana, memiliki ikatan yang telah terbentuk sejak lama, yang mungkin saja lebih baik daripada nilon kekuatannya. Entah kemarin, hari ini, esok, atau sepuluh tahun lagi, tapi tersebut akan terus mengikat keduanya.

Jadi Tenten berkata dengan tegas pada Ino, "Berhentilah memaksa Hinata melakukan sesuatu yang tidak diinginkannya. Hinata tidak menyukai Toneri, biar aku saja yang pergi dengan kalian. Ini kencan buta berpasangan, kan?"

Sakura dan Ino kompak berteriak pada Tenten, "Tapi Toneri sukanya Hinata!"

Tenten hanya menyeringai sinis, lalu menjawab, "Lagi pula ini hanya kencan biasa untuk bersenang-senang. Dia tidak akan jadi pacarku dengan sekali kencan."

Tenten membalas Sakura dan Ino dengan telak sehingga keduanya tidak bisa berkutik lagi. Hinata tersenyum geli melihat ketiga temannya saling beradu argumen.

Hinata tahu bahwa penolakannya adalah hal yang menyebalkan, bahwa ia adalah orang yang membosankan. Padahal teman-temannya bermaksud baik namun Hinata tidak bisa menerima ajakan Sakura dan Ino.

Dream CatcherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang