/01.01.19/ ○ 10:53

2.2K 360 127
                                    

Berjingkat-jingkat.

Kei merasakan sesuatu berjingkat-jingkat di antara kakinya. Alisnya mengerut tetapi kelopak matanya tetap tertutup. Belum sudi untuk terjaga penuh. Sampai tiba-tiba ia merasakan kedua pergelangan kakinya dicengkram, kemudian ditarik.

Kei terlonjak bangun. Hampir mengira itu setan kalau saja wajah Niki tidak tiba-tiba terpampang jelas di depan hidungnya. Kei menyumpah. Ternyata memang setan.

"Sialan, Nik—"

"Ssst, kondusif!" desis Niki tajam. Ia hampir mencengkram muncung Kei ke agar pemuda itu tidak berisik. Dengan dagunya, Niki menunjuk-nunjuk sepasang insan yang berbaring di samping Kei. Tangan kanannya sudah siaga dengan ponsel pintar.

Kei melirik. Yaelah.

".....aaaaa mereka gemas banget."

Niki memekik tipis-tipis. Masih berusaha menggeser-geser kaki Kei agar memberi spasi kosong baginya untuk berjongkok dan memotret Zefan dan Didi yang sedang tidur.

"Ngefoto orang tanpa izin itu tindakan kriminal," sindir Kei. Bukan karena dia peduli pada keamanan privasi sepasang temannya itu. Ia semata-mata kesal karena Niki menginterupsi tidurnya.

"Bantuin gue ngebenerin posisi mereka dong."

"Hah?"

Kei cuma bisa menggeleng-geleng sok bijak. Yang disebut Niki membenarkan posisi adalah gadis itu pelan-pelan menarik tangan Zefan dan meletakkannya di pinggang Didi. Si pemuda cebol tampaknya tidak terganggu sama sekali dan masih sibuk dengan mimpinya. Tetapi, Zefan yang disebelahnya jelas-jelas terbangun. Melirik Niki setengah dongkol, setengah masih mengantuk. Suaranya terseret dahak. "Ngapain lu anjing."

Niki menyengir tanpa dosa. "Selamat pagi, Saudara Zefanya. Tidakkah ini masih terlalu pagi untuk berkata-kata kasar?" Ketika Niki melirik Kei untuk meminta dukungan, pemuda itu sudah memunggungi mereka semua tidak ingin tahu. Matanya masih berat. Ia baru tidur menjelang subuh tadi.

Niki tidak menyerah. "Bilang kejuuu, Zef."

"Apaan. Siniin hape lu!"

Niki nyaris menjerit ketika Zefan hampir menyepak ponsel di tangannya. Bukannya kapok, gadis itu masih berusaha untuk melanjutkan sesi dokumentasi. Zefan dengan sigap menjulurkan telapak kakinya ke lensa kamera gadis itu.

Cekrek.

"IHHHH!!!" Niki memekik gusar. Gagal mengambil foto dengan pose yang sudah susah payah diaturnya. Gadis itu harus berpuas diri dengan gambar pertama yang diambilnya.

"Argh, berisik banget lu semua," Keanu yang tidur di ujung ambal sampai protes. Ia berguling mencari posisi dan tanpa sengaja menabrak Evan. Efek domino dengan cepat menjalar ke seisi manusia yang tertidur di atas bentangan ambal itu. Mulai terdengar erangan di kiri dan kanan. Niki tanpa bertanggung jawab segera beranjak keluar dari lautan manusia tersebut. Pura-pura tidak tahu apa-apa. Ia kabur ke dapur untuk memanaskan sisa hidangan tahun baru mereka kemarin sebagai sarapan siang.

Satu per satu anak terjaga di luar kehendak mereka. Semua kecuali Kei yang kukuh memaksa matanya agar tetap tertutup dan Didi yang ... ya, selalu tidur seperti mayat.

"Jep...."

Ralat. Ternyata bocah itu juga terbangun meski matanya masih tertutup. Zefan otomatis menoleh. Pemuda itu hampir beranjak untuk mengejar Niki—sekadar memastikan galeri gadis itu bersih dari foto mereka. Namun, ia merasakan Didi menarik kaosnya. Ia terpaksa kembali menunduk ke arah si bocah yang masih berbaring.

"Ambilin dompet gue."

"Hah? Di mana lu letakin?" bisik Zefan.

"Di situ."

Di situ mana, gemas Zefan dalam hati. Untungnya ia segera menangkap bayangan dompet yang disebut-sebut tergeletak di samping ponsel yang sedang di-charge. "Nih. Mau ke mana lu memangnya."

Didi malah membuka dompetnya dan mengeluarkan lembaran uang dengan gestur sembrono. Zefan yang memperhatikannya mulai tidak yakin kalau bocah itu sadar. Soalnya matanya masih tertutup terus. Dan benar saja, Didi menyodorkan uang itu kepadanya dengan mata yang masih tertutup. "Beliin."

Zefan tergelak pelan. Tidak asing dengan kebiasaan Didi yang satu ini. Ia sedikit mencuri hirup ubun-ubun anak itu. Kurang kerjaan menyahuti-nyahuti, "Beliin apa?" Sebab uniknya, Didi yang mengigau biasanya tetap nyambung kalau diajak bicara.

Sejenak anak itu hanya menggumam tidak jelas. Kemudian, "Royal Canin." Entah apa yang sedang ia mimpikan.

"Oke." Zefan menerima uang itu dan memandanginya. Ini bocah kalau dia rampok sekarang juga mungkin tidak akan sadar.

Sesuatu terlintas di pikiran Zefan. Sesuatu yang lebih tidak jahat, yang membuatnya penasaran dan sejujurnya sudah ingin ia lakukan setiap kali menemukan Didi dalam keadaan mengigau seperti ini. Ia seketika mempersiapkan ponselnya dalam mode rekam. "Tapi coba bilang dulu; Zefan cakep pa—"

"Ehem-uhuk ... halo! Ada yang masih berusaha tidur di sini, halo! Halo-Halo Bandung!"

Zefan mendesah malas.Tidak sadar kalau masih ada jasad setengah hidup yang terdampar di belakangnya.Yang sejak tadi berusaha menahan diri sebisa mungkin tapi kali ini dia sudahtidak sanggup.


.


.


A/N: 

Dua chapter pertama "Snack Mix" didedikasikan untuk para karakter jomblo yang uwuphobia wkwkw.  Memang kadang orang pacaran itu suka nggak perhatiin time, place, and occasion waktu umbar kemesraan (ya iya, saya sirik aja sih). Jiahah, see you on the next chapter!

Snack MixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang