¦ fast food ¦
"Fuck. Gua merasa tolol." Ron nyaris membanting pintu mobil begitu keluar. Ia mengibarkan bendera putih. "Gue udah nggak sanggup komunikasi non verbal lagi."
Di belakang, Riko mengikuti langkahnya sambil cengengesan. Mereka berjalan beriringan dari parkiran menuju pintu masuk dan selama itu pula Riko menimbang-nimbang apakah sebaiknya ia menggandeng tangan Ron atau tidak.
Riko berusaha mengingat-ingat apa yang dia lakukan ketika dulu berpacaran dengan Miranda. Namun tampaknya pengalaman berharga itu tidak terlalu aplikatif di kasus saat ini. Ia jelas-jelas belum pernah menjalin hubungan dengan laki-laki.
"Jujur, gue bingung," celutuk Riko begitu mereka membuka pintu.
Dan seolah tidak membutuhkan penjelasan konteks lebih lanjut, Ron otomatis membuang muka. "Gue apalagi."
Anehnya, mendengar itu membuat Riko merasa luar biasa lega. Roni sama sekali tidak menudingnya. Nada mereka terdengar setara. Berada di elevasi yang sama.
Satu lagi fakta menyebalkan hari ini adalah rumah makan cepat saji itu ternyata penuh. Ron sudah mengecek meja di lantai atas dan Riko di lantai bawah. Nihil. Ujung-ujungnya mereka memesan take away dan membawanya ke dalam mobil.
"Gila, apa semua orang pergi ke luar hari ini." Tangan kiri Riko memegang paperbag sementara tangan kanan mengotak-atik peta digital. Berniat mencari rute pelarian. Namun sialnya jalur disekitar mereka semuanya berwarna merah. "Kacau."
"Gua tahu ada jalan potong tapi kayaknya cuma cukup buat satu mobil. Lumayan panjang. Repot kalau entar nggak sengaja papasan."
"Jangan," kata Riko. Ia memundurkan joknya, mendorong sandarannya sampai rendah sekali ke bawah supaya bisa semi berbaring. "Paling entar dua jam-an lagi kita cabut. Gue mau istirahat sebentar dulu. Capek."
"Istirahat selama yang lo mau aja." Roni menurunkan kaca jendela. Bisa mengerti karena dia yang duduk di bangku penumpang saja sudah mulai pegal. "Selama-lamanya juga nggak masalah."
Detik itu, Ron agak menyesali perkataannya. Entah kenapa lidahnya seperti sudah punya pengaturan default untuk melontarkan perkataan busuk jika menyangkut Riko. Mulai sekarang, Ron rasanya harus berusaha keras untuk menghilangkan kebiasaan itu. Terlebih lagi karena hal itu akan mengundang Riko untuk menyelutuk iseng semacam;
"Punya pacar jahat amat."
Ron berjengit luar biasa sampai-sampai Riko ingin ngakak. Ini juga salah satu yang membuat Riko sejak tadi cenderung diam. Karena sebetulnya ia agak gatal ingin flirting untuk sekadar memecah suasana. Hanya saja ia tahu Ron berpotensi menendangnya ke Alaska jadi ia menutup mulutnya.
Jendela yang tadinya dibuka buru-buru Ron naikkan kembali. Seolah takut ada orang di luar sana yang mendengar ucapan Riko. Itu juga membuat Ron teringat pada obrolan mereka yang terputus. "Lo ... udah minta maaf ke si Yohan, nggak?? Dia marah?"
"Oh iya, kita lanjut obrolan tadi pagi ya." Riko menyeruput Coca-Cola float-nya. "Nggak secara langsung sih. Yaa, pasti marah lah dia."
Ron ragu-ragu mengulang pertanyaannya yang belum sempat terjawab, "Lo ... lo bilang kalau kita...?"
Kali ini Riko menoleh penuh. "Apa?" Sinar matanya sarat banyolan karena Ron tidak kunjung menjawab. "Kalau lo merasa tabu banget sama kata pacar, gue nggak keberatan pakai kosakata pengganti." Riko membuang kertas burger-nya ke tempat sampah kecil di doortrim mobilnya. "Tenang. Gue nggak bilang ke si Yohan kalau kita pacuan kuda."
Entah kenapa kata pengganti itu malah terdengar semakin tabu.
"Tapi gimana ya, si Yohan juga punya otak lah. Memangnya lo berkespektasi kalau dia bakal mikir; 'Wah si Riko gila sampai cipok sesama cowok cuma gara-gara mabok durian' kan enggak ya."
"Pasti dia punya otak." Ron menyetujui. Dia jelas paham hal itu. Namun ia tetap saja dongkol. "Tapi lo kelihatan nggak khawatir sama sekali."
Riko mengedik. "Gue nggak terlalu waswas sih. Gue tahu Yohan. Kalau kemarin orang lain yang lihat mungkin gue nggak akan merasa relatif aman kayak begini." Pemuda itu membuka bungkusan double chocopie. Memoteknya lalu memasukkannya pada cangkir sundae milik Ron. "Katanya enak kalau pakai es krim."
Ron tidak terlalu memperhatikan. Tapi ketika ia menyendok es krim itu, perkataan Riko terbukti. Roni merasa ajaib. Baru kali ini ia bisa ngobrol dengan Riko tanpa ada huru-hara. Astaga, seandainya Ron tahu lebih awal kalau Riko punya mode yang mampu membuat ia tidak kesal di setiap detiknya—
"Tahu begini kenapa kita nggak pacuan kuda dari dulu aja."
Ketahuilah saudara-saudara, Ron menggumamkan kalimat itu tanpa sadar. Riko saja yang semangat sekali menoleh ke arahnya.
"Ya kan gue nungguin lo buat nembak gue."
"Bisa nggak lo berhenti ungkit-ungkit itu."
Riko terbahak. "Lo tahu, kita mungkin perlu bikin pakta di awal."
Alis Ron terangkat tidak mengerti. Riko suka sekali pakai istilah-istilah yang sok oke.
Riko mengusap tengkuknya. "Maksud gue, perjanjian tentang apa -apa aja yang bisa dan nggak bisa kita lakukan," ia terhenti sejenak, teringat obrolannya dengan Yohan tadi pagi, "....terhadap satu sama lain."
Tampang Ron kelewat datar menyahuti sambil mengunyah burger, "Memangnya lo udah mikir mau ngapain aja?"
Terdengar ringisan. Riko tampak kesulitan mengutarakan isi pikirannya. "Maksud gue, gue baru sadar ada cara pikir aneh yang gue lakukan. Karena lo laki-laki gua kadang-kadang ... merasa seolah bisa semudah itu melakukan skinship. Menganggap remeh—ah, gitu deh. Lo ngerti maksud gue kan?"
"Oh." Ron tampak mengerjap sambil mencerna. Ia terdiam sebentar. "....non-konsekuen karena gua ga bakal hamil?"
"Hahah, anjir." Riko hampir menyemburkan kolanya. Ia otomatis menggeleng-geleng sambil tersenyum. "Bukan gitu juga maksudnya. Tapi dari situ gua bisa lihat lo paham lah."
"Ya, ya, intinya lo mau gue kasih tau batas-batas di mana gue merasa nggak nyaman gitu? Cuma karena gua cowok bukan berarti nothing to lose gitu?"
"Nah." Riko menjentikkan jarinya. "Akhirnya lu pinter."
"Halah, bangke." Ron meremas sampah kertasnya kesal. "Lo cuma pinter secara akademik anjir. Teoritis. Di praktik sosial nyatanya gue jauh lebih proper daripada elu."
Belum pernah tawa Riko terdengar serenyah itu tatkala sehabis dimaki oleh Roni. Pemuda itu berusaha mengatur napasnya. "Oke, balik ke topik, karena gua bahkan belum pernah cium Miranda di bibir—"
"Baguslah."
Riko sempat cengar-cengir kepedean sebelum mendengar Ron melanjutkan,
"Kalau sempat lo pernah macem-macemin Miranda udah gua tonjok lu."
"Lo itu sebenarnya khawatir sama siapa dah," desah Riko jengkel.
.
.
.
A/N:
Ya kan Miranda orang lama di kehidupan Roni, Rik. Lo belum genap sehari juga- (eh). Anyway, selamat menikmati malam Senin gaes ngahaha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Snack Mix
Teen Fiction[2016 - 2017] [2019] Perjalanan setiap lini waktu yang belum sempat diusut dari kehidupan lingkar pertemanan Heksagon dan muda-mudi IPS-05 Angkatan 2016 milik SMA Utama. Kumpulan memori tidak penting yang tidak akan terulang begitu menggantung serag...