Bab 1 | Pertemuan

68 8 19
                                    

Aku Yuki, sejak kecil aku senantiasa hidup di bawah bayang-bayang ketakutan karena aku selalu jadi bahan bully oleh teman-temanku. Aku tidak tahu apa kesalahanku hingga mereka tega menyakitiku. Dikala sekolah pun seperti itu, aku sering dijauhi oleh teman-temanku. Sampai SMP pun aku selalu menjadi bahan candaan teman-temanku.

Seringkali aku diejek karena tidak mempunyai orang tua. Aku sangat sedih ketika mendengar kata kata mereka, orang lemah seperti ku hanya bisa diam saja. Sebab itu aku pun selalu menyendiri dan jarang berbaur dengan teman-temanku.

Di sore hari, ketika aku sedang dalam perjalanan menuju ke rumah, aku bertemu dengan teman sekolah yang selalu menggangguku. Dan benar saja, orang-orang itu menghalangi jalan dan mengejekku. Mereka mengambil upah kerjaku, menarik bajuku, memukul perutku yang membuatku susah bernapas serta mendorong tubuhku yang membuatku terjatuh ke jalanan, setelah itu orang-orang itu langsung pergi meninggalkanku.

Aku tersungkur jatuh ke jalanan yang berbatu, membuat sekujur tubuhku terasa kesakitan. kepalaku terbentur batu dan aku hanya bisa diam meringkuk menahan rasa sakit yang kurasakan. Aku mendengar suara samar-samar langkah kaki seseorang, pandanganku kabur tetapi aku melihat dia menghampiriku sembari bertanya kepadaku.

"Kau tidak apa-apa?" ucapnya sambil membangunkan tubuhku. Aku hanya bisa terdiam karena menahan rasa sakit.

"Dahimu berdarah, aku akan membawamu ke dokter," ucapnya sembari mengangkut tubuhku.

"Jangan ... jangan ke dokter ... aku baik-baik saja ... ini hanya luka kecil," balasku sembari terengah-engah.

"Kalau begitu kita ke pos ronda terdekat, aku akan membawakan mu obat," ucapnya sembari menggendongku menuju pos ronda.

Sesampai di pos ronda, dia menaruhku tiduran di lantai.

"Aku akan membeli obat merah di warung, tolong tunggu sebentar," ucapnya dengan nada khawatir.

Laki-laki itu pun pergi dengan tergesa-gesa.

Matahari telah terbenam, langit juga sudah redup. Hanya menyisakan bintang-bintang yang bersinar. Aku merenungkan kejadian-kejadian di masa lalu.

"Untuk apa aku dilahirkan bila orang tuaku saja sudah tidak ada, tidak ada gunanya." Hanya kalimat itu yang selalu terpikirkan dalam benakku.

"Apa salahnya jika aku bekerja untuk menyambung hidup?"

"Tuhan, sudah cukup penderitaan yang kau berikan kepadaku. Akhiri saja penderitaanku bersama dengan hidupku. Aku sudah tidak kuat hidup sendirian di dunia ini."

...

Aku mendengar langkah kaki mendekat. Dengan tergesa-gesa, laki-laki tersebut tiba membawakan obat merah.

"Ayo bangun, biar aku obati lukamu," ucapnya sembari mengangkat tubuhku serta menyenderkan tubuhku ke tembok.

"Sini aku lihat dahimu, aku oleskan obat merahnya," ucapnya sembari mengangkat poni rambutku.

Dia mengobati luka-lukaku dengan perlahan serta hati-hati.

"Ahh." Aku merasakan perih pada luka di dahiku.

"Eh, maaf-maaf. Tahan, sedikit lagi mau selesai," ucapnya sembari terus mengolesi lukaku.

"Nah, sudah selesai. Sekarang aku tempelkan perban di luka mu," ucapnya sembari memotong perban.

Air mata berlinang di pipiku, entah mengapa aku tiba-tiba menangis.

"Kamu mengapa menangis? sebentar lagi tidak sakit lagi kok," ucapnya sembari memandang wajahku.

"Eh, aku nggak nangis, aneh sekali," balasku sambil sedikit tertawa.

Entah itu air mata penyesalan ataupun air mata bahagia. Belum pernah ada orang yang sepeduli ini kepadaku.

Sahabat di Balik MonsterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang