Hujan

12 1 0
                                    

Titik rintik sendu di waktu senja yang turun dari cakrawala yang kian menjingga, disusul derai angin yang terus menghantam raga yang kian lemah. Bak tubuh manusia yang rasa batinnya tak bertulang, kian mengikat erat rindu yang terus merasukinya, dan meremukan rusuknya. Sungguh, atma mana yang tega memisahkan seseorang dengan atma yang telah melahirkan dirinya ke dunia.

Di sebuah gubuk tepi desa yang jauh dari hiruk-pikuk ramainya para manusia yang saling bercengkrama, yang saling berbaur dengan para londho yang berkuasa. Gubuk yang beratapkan pelapah kelapa kering yang kian usang milik dari seorang insan.

Andai saja kala itu Tuhan berkehendak menurunkan hujan yang begitu besar, pasti saja atma yang sedang terduduk merenung sendiri di dalamnya akan tertimpa puing-puingnya.
Terduduk sendiri menatap cahaya remang-remang dari lentera yang juga terletak di atas meja, lentera yang menyala sembari mengeluarkan asap hitamnya; mengepul tak berkesudahan.
Sembari disambut tirta nestapa yang mengalir perlahan yang dari pulupuk mata yang kian membasahi pipinya. Karena rasa rindu yang kian menyiksa batin juga raga, lalu disusul dendam serta amarah.

"Hei, Djongos!! kau kira aku membeli mahal dirimu untuk bermalas-malasan seperti ini, hah?" teriak seorang lelaki paruh baya yang berperawakan tinggi, berkulit sedikit gelap khas pribumi.

Panggilan Djongos adalah sebutan untuk seorang budak bagi anak laki-laki, mereka biasanya bisa dibeli dengan sangat mudah di sebuah tempat yang memeperjual belikan manusia.
Pada era berdirinya VOC sejak abad ke-17, para anak laki-laki menjadi awal dari perbudakan. Anak-anak tersebut mulai mengerjakan pekerjaan rumah tangga, menjadi pelayan, hingga menggali kanal dan mendirikan bangunan. Para anak laki-laki tersebut disebut dengan huisjongen yang kemudian akrab dengan istilah jongens.
Jongens yang ditujukan kepada panggilan anak laki-laki di era Belanda. Para masyarakat pribumi kemudian mengistilahkan jongens dengan djongos atau jongos.

"Keluar, kau!" teriaknya.

"M-maaf, tuan, ada apa lagi ya?" ujaran pertanyaan dari seseorang yang keluar dari gubuk tersebut.

"Bu-bukankah tugas terakhir saya hari ini sudah selesai? saya sudah antarkan hasil bumi yang tuan maksud ke balai desa, baru saja." Jelasnya sembari menunduk menatap bumi dengan jari jemarinya yang saling memijat satu sama lain, tanda rasa takutnya.

"Hei pemalas!! tugas mu belum selesai, antarkan beberapa karung beras ke rumah tuan Hanson. Rumahnya ada di pusat kota, kau bisa tanya ke beberapa orang di sana, mereka pasti mengenalnya."

"B-baik, tuan." Ujarnya patuh.

"Kabari aku bila kau sudah mengantarnya, ingat."

Hanya anggukan, tanda jawaban yang pria itu berikan. 

Sementara senja yang semakin tenggelam dalam kuasa gelap malam, rasa batin yang bercucur kelam dalam perjalanan sepinya, yang hanya ditemani seonggok karung yang beisikan beras milik dari seorang tuan yang baru saja juragan tadi bicarakan.

Jalan masih ramai walau disusul gelap malam, aroma malam di tengah kota memang sangat berbeda dari susana lingkungan tempat tinggalnya, londho-londho kelas atas yang terlihat masuk kedalam rumah bordil kian saling bersusulan. Pemandangan yang jarang ia lihat di desa, matanya memandang tajam setiap sudut atas prilaku orang-orang di kota. Dia yang hanya terduduk di sebuah kereta kuda yang terus berjalan sambari membawa bebannya, dalam batinnya bingung serta sedikit menelaah dan penasaran akan kehidupan di kota.

Perjalanan malamnya terhenti di depan sebuah rumah yang sangat besar, rumah berwarna putih dengan gaya asitektur belanda menjadi ciri khasnya.

"Permisi tuan, saya ingin bertemu dan mengantarkan beberapa karung beras pada tuan Hanson," ucapnya pada penjaga rumah besar itu.

Antara Langit dan LautTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang