Bagian 2 | Tidak Ada

9.7K 1.2K 93
                                    

Beralih dari hidung, aku berusaha menggerakan seluruh badanku. Semuanya cukup normal hingga akhirnya kusadari satu hal. Satu hal yang kurasa sangat janggal. Kejanggalan ini membangkitkan rasa takutku. Takut hingga hatiku berdegup tak menentu.

Aku ... tidak dapat menggerakan kaki kananku.


-

Bagian 2 | Tidak Ada



Terik di siang hari yang menyapaku dari jendela kamar terlalu menyilaukan. Aku butuh menyipitkan mataku untuk menghindari kilauan itu. Melalui jendela itu juga aku dapat melihat suasana Bandung. Kereta api yang melintas di rel, mobil dan motor yang sedang berlalu lalang, orang-orang yang ramai berjalan kaki, semuanya dapat terlihat dengan jelas dari tempatku berbaring di lantai delapan ini.

"Mau minum?" Suara seseorang mengalihkan perhatianku, membuat pikiranku yang sempat terbang ke tempat lain kembali mengingat kenyataan yang sedang aku alami.

Aku menoleh pelan. "Kaki Rada belum bisa digerakkan, Bu."

Ibu terlihat seperti menarik napas panjang dengan raut muka yang berusaha melembut. "Bayi baru lahir nggak akan langsung bisa jalan. Masak air panas di kompor juga nggak akan langsung mendidih. Begitu juga kamu. Kaki kamu baru semalam operasi, kalau langsung bisa digerakkan namanya lucu."

Aku mengerutkan dahi, memejamkan mata perlahan, menahan geraman kesal. "Sakit Bu, Rada nggak kuaaat," lirihku menahan isak.

Ibu mengusap-usap dahi dan rambutku. Aku tidak dapat menangkap emosi apa yang mencuat ke air mukanya. Aku seperti melihatnya tanpa ekspresi, sedangkan aku sudah tak karuan menahan air mata yang sedari tadi berusaha kubendung.

Aku merasakan sakit yang sangat amat menyakitkan di kaki kananku. Rasanya begitu ngilu, seperti ada rembesan darah yang masih keluar dari kulit paha itu. Bukan hanya sakit, tapi juga perih yang luar biasa kurasakan di sepanjang luka. Membayangkan daging pahaku itu bekas disayat, seketika keluarlah air mataku.

"Bu ...," Aku memanggil lemah Ibu yang masih di sampingku. "sakit Bu ...."

Ibu kembali mengusap-usap dahiku. "Obat biusnya abis, wajar kalau sakit. Rada juga tau kan? Setelah obat bius abis itu emang bakal sakit."

Aku menghela napas pasrah. Aku memang dinyatakan menderita penyakit yang tidak biasa. Fibrous Dysplasia. Tak banyak orang yang tahu penyakit itu. Itu memang bukan penyakit mematikan yang sampai belum ada obatnya seperti penyakit jenis HIV atau yang lain. Hanya saja, penyakit yang kuderita ini sangat langka.

Ya, penyakit dengan nama lain tumor sumsum tulang yang menyebalkan itu menyerang bagian paha kananku. Tumor menggrogoti sumsum tulangku hingga menghasilkan lubang besar. Beberapa tahun lalu penyakitku telah diangkat, tapi belakangan ... kembali berulah.

Mengingat betapa sakitnya ini, aku sudah menangis. Aku sudah sangat menangis. Dahiku sudah mengerut sempurna. Mulutku sudah menggeram perlahan. Aku menggerak-gerakkan wajahku ke kanan-kiri hanya demi menahan kesakitan ini. Meski sebelumnya aku pernah juga operasi yang sama, kali ini tetap terasa sangat luar biasa. Ini ... adalah rasa sakit terdahsyat yang pernah aku rasa.

.

.

-

Badanku lemas. Rasanya aku sangat lemah. Sedari tadi mataku berkali-kali terlelap, sadar, terlelap, sadar. Terus saja begitu berulang-ulang. Aktivitasku beberapa hari ini sangat membosankan. Aku hanya berbaring di tempat tidur tanpa bisa bergerak kemana pun aku mau. Aku bahkan tidak mandi. Aku sampai buang air di tempat tidur dengan alat rumah sakit.

Aku melirik kaki kananku. Masih tergulung perban yang begitu banyak sepanjang paha hingga ke bawah lutut. Masih ada selang darah kotor yang menancap pada paha itu, yang menyambung ke plastik transparan yang tergantung di bawah ranjang tidur. Selang darah itu mengeluarkan darah kotor dari lukaku.

Jahitanku belum dibuka. Kata dokter, kemarin lukaku dijahit sepanjang 35 sentimeter, memanjang dari paha ke bawah lutut. Operasi pertama saat aku SMP, pahaku hanya dijahit tujuh setimeter. Operasi kedua saat SMA, bekas luka lama dibuka, lalu dijahit lagi mencapai lima belas sentimeter. Lalu sekarang, kembali jahitan itu dibuka dan tambah panjang hingga 35 sentimeter.

Aku sudah pasrah. Entah akan seperti apa bekas luka itu nanti. Mungkin aku jadi terlihat seperti punya tato keren. Kapan lagi kan aku diizinkan punya tato oleh orang tuaku? Menggelikan.

Beralih ke tanganku. Tangan kananku tertempel jarum infus, tangan kiriku tertempel jarum lain dengan selang yang terlihat berwarna merah mengalir ke cairan yang ada di bagian atas kiriku. Itu darah. Iya, aku terpaksa ditransfusi darah karena kehilangan darah yang sangat banyak. Saat operasi, aku ditransfusi sebanyak lima labu, lalu ini adalah labu keempat semenjak aku dirawat di kamar pasien.

Cih, dasar tubuh lemah. Aku sudah lelah dengan semua siksaan sejenis ini. Lihat saja seluruh lenganku. Penuh dengan perban bekas tusukan jarum. Tusukan infus yang dipindah-pindah, tusukan ambil darah, tusukan suntikan obat, semuanya saja terus rusakkan tubuhku. Tubuhku bukan milikku lagi. Sekarang dia milik dokter, bisa dirusak seenaknya saja, juga kapan saja mereka mau.

Namun ... sejujurnya, bukan hanya masalah penyakit ini yang sekarang memenuhi pikiranku. Aku merasa seperti sedang ... sangat kecewa karna suatu hal lain. Aku merasa sangat sedih karena hal itu.

"Raaad," panggil seseorang menyadarkan lamunanku.

Aku menoleh pada laki-laki itu. Tanpa suara, tatapanku kubuat sedemikian hingga dia tahu bahwa aku sekarang fokus ke arahnya.

"Aku panggil kamu berkali-kali dari tadi, malah ngelamun. Nanti kesambet loh," ucapnya sambil tersenyum dan mengacak-acak rambut di puncak kepalaku.

Aku memajukan bibirku kesal. "Gak lucu sama sekali, Dim."

Dimar tersenyum lembut menatapku. "Masih sakit?" tanyanya pelan.

Aku menarik bahuku ke atas dengan enggan. "Pikir aja sendiri," ketusku.

Dimar mengubah wajahnya menjadi jauh lebih serius. Perlahan, dia menggegam tangan kananku renggang. "Kamu kenapa sih ketus terus kalau ketemu aku? Itu aku udah beliin bunga mawar merah satu buket loh buat kamu."

"Aku nggak mau bunga, aku nggak pengen bunga!" seruku dengan tangan yang aku tarik menjauh dari genggamannya.

Dimar menghela napas panjang dengan wajah yang ... ah, entahlah ... mungkin dia lelah berurusan denganku. "Kamu nggak boleh marah-marahin orang kayak gini, Rada. Nggak baik. Orang lama-lama bisa ninggalin kamu kalo kamu terus kayak gitu," ucap Dimar yang masih cukup bersabar.

"Aku masih harus mikirin orang lain di saat orang lain gak ada yang mikirin aku, gitu?" tanyaku lemah.

"Maksud kamu?" tanya Dimar mengerutkan dahi karna penasaran.

"Kamu tau kan? Saat sehat ... aku punya banyak teman. Temanku di sana-sini. Aku yang nggak bisa diem, aktif di kegiatan ini-itu, berteman dengan banyak orang. Tapi coba kamu liat sekarang. Aku udah beberapa hari dirawat karena operasi besar, tapi nggak ada satupun temenku yang dateng buat jenguk aku."

Dimar diam cukup lama setelah aku mengatakan itu. Beberapa saat berlalu untukku merenungi kalimat-kalimatku sendiri. Aku merasa terlalu ... jahat. Aku merasa terlalu ketus. Tapi mau bagaimana lagi? Aku sudah terlalu lelah berpura-pura baik-baik saja saat hatiku mengatakan sebaliknya. Aku lelah berpura-pura bersikap baik sedangkan hatiku sedang tidak ada mood untuk itu.

Aku yang hanya bisa terbaring lurus karna kakiku sakit, tak bisa memiringkan badanku. Pegal kurasakan biasa. Bosan kurasakan seperti teman yang setia. "Dim, bisa kamu tinggalin aku? Aku mau istirahat," pintaku pelan yang hanya bisa memalingkan wajah.

Kudengar suara seretan kursi menandakan Dimar terbangun dari duduknya. "Rada, kamu cuman perlu inget satu hal. Saat kamu sibuk mencari yang belum ada, di sana kamu akan kehilangan apa yang ada."

Aku ... hanya bisa melihat nanar bunga mawar merah yang ada di meja sampingku.



[dipublikasikan 13 Juni 2015]

Radelusi [4/4 End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang