Bagian 3 | Benci

8.4K 1.1K 130
                                    

Kudengar suara seretan kursi menandakan Dimar terbangun dari duduknya. "Rada, kamu cuman perlu inget satu hal. Saat kamu sibuk mencari yang belum ada, di sana kamu akan kehilangan apa yang ada."

Aku ... hanya bisa melihat nanar bunga mawar merah yang ada di meja sampingku.


--

Bagian 3 | Benci


Dua minggu telah berlalu semenjak malam operasi itu. Meski masih menempel gips dan perban di kakiku, jahitannya sudah dilepas. Aku sudah bisa bangun dari tempat tidur, bahkan kini aku sudah bisa berjalan-jalan dengan kursi roda. Jangan tanya bagaimana pandainya aku berjalan dengan kursi ini, sejak dulu aku sudah seperti terbiasa.

Aku menyisir rambutku di depan cermin kecil yang kusandarkan pada lekukkan tembok. Kulihat diriku yang menjadi kurus. Pipiku yang berisi sebelumnya seperti hilang hingga terlihat tirus. Rambutku yang pendek sudah cukup panjang hingga sudah melewati bahu. Mataku bahkan sangat sayu. Ah, menyebalkan. Aku terlalu terlihat seperti pasien rumah sakit.

Hari ini aku merasa sedikit senang. Aku--yang tidak pernah betah tinggal di sini--akhirnya akan kembali ke rumah. Akhirnya aku bisa meninggalkan segala bau rumah sakit yang selalu aku hirup setiap harinya. Akhirnya aku bisa meninggalkan rasa kesepian yang aku rasa tiap kali terbaring di ruangan.

Bagaimana bisa aku tidak senang? Sebentar lagi aku akan merasakan alaminya udara di luar. Sebentar lagi aku berada di tengah kota yang selama ini kegaduhannya hanya bisa kuamati melalui jendela kamar. Sebentar lagi aku bisa bertemu orang sekitar, bukan hanya ibu, dokter, atau perawat yang datang memeriksa suhu tubuhku saat pagi, siang, dan malam.

Hal-hal sepele di luar sana yang tampak sederhana bagi orang lain, terasa sangat luar biasa bagiku. Aku ... merasa sangat menyedihkan.

Cting

Ada pesan masuk. Kuraih ponsel di atas paha kiriku. Kulihat ada beberapa pesan masuk yang sejak beberapa jam yang lalu memang belum kubuka.

--

From: Anya

Rada, kamu operasi lagi? Kapaaan? Cepet sehat ya Rad! Rada kuat, Rada hebat!

--

From: Milla

Rada sekarang keadaannya gimana? Aku belum bisa nengok nih, diajakin ortu ke Yogya. Maaf ya Raaad. Get well soon darl :*

--

From: Lina

Rada gimana operasinya? Kamu udah sehat? Semoga kamu kuat ya. Maaf belum bisa dateng aku hectic nikahan sodara X(

--

Beberapa pesan yang lain rasanya malas kubuka. Entahlah. Aku merasa semua isinya tak akan jauh berbeda, menyemangatiku dan membuatku sakit hati dalam waktu yang bersamaan. Semua bilang peduli, semua bilang sayang. Kenyataannya, dimana mereka sekarang? Tak satu pun ada yang datang. Tak satu pun ada yang benar-benar perhatian.

Pagi ini aku melihat ibu yang sedang sibuk berjalan ke sana ke mari hanya karena membereskan barang-barangku. Tak banyak yang bisa aku bantu. Aku hanya dapat menjangkau beberapa benda ringan yang bisa kusimpan di sela kursi roda.

"Rada," panggil ibu mengalihkan pikiran.

Aku menggeser roda demi memperpendek jarakku dengan ibu. "Kenapa Bu?"

Ibu memegang bunga mawar merah yang sudah mengering. "Ini," ucap ibu terdengar sedikit ragu, "mau dibawa apa ditinggal?"

"Hmm ... buang aja bu," jawabku ringan.

Radelusi [4/4 End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang