Rasanya perih. Aku melihat rembesan darah keluar dari perban itu perlahan. Rasanya linu--sangat linu. Aku tak kuat merasakan sakit itu hingga tak kusadari pipiku sudah basah. Aku hanya bisa diam, tanpa melakukan apa-apa.
Sepi kulihat koridor ini, sendirian kurasa aku tergeletak di sini. Tuhan ... aku benci. Aku sangat benci semua ini.
--
Bagian 4 | Hilang
Aku mendengar suara kilat menyambar di luar. Rintikan yang jatuh terdengar ramai, seperti irama-irama hujan biasanya. Irama saat mengenai atap rumah, irama saat jatuh pada kendaraan di jalan raya, atau pun irama yang menyentuh benda lainnya. Sebaliknya, di antara ramainya hujan itu ... hanya hening yang menguasai ruangan ini.
Baru beberapa menit ke belakang kesadaranku kembali sepenuhnya. Aku berusaha mengingat apa yang terjadi padaku hingga aku bisa ada di posisi ini--lagi. Terbaring lemas ditemani bau rumah sakit yang khas, aku melenguh. Kiri-kananku kosong. Kamar ini seperti tak berpenghuni lagi selain diriku sendiri.
Lalu, satu hal lain yang aneh, kakiku ... seperti tanpa rasa. Jangankan bisa aku gerakkan, bahkan aku tak merasakan apapun di sana. Aku ... pasrah ditandai lemas di sekujur tubuhku. Aku hanya bisa getir menahan pelupuk mataku agar air yang sudah kubendung tidak segera turun. Kukatup berulang kali mataku, kuhilangkan rasa ingin menangisku.
Maunya aku tak memikirkan hal buruk seandainya iya kakiku mungkin benar-benar hilang. Benar-benar ... hilang. Hilang. Kuulang berkali-kali hingga rasanya jantungku tertohok sendiri.
Ceklek
Aku melihat pintu kamarku terbuka kemudian ibu masuk, berjalan perlahan ke arahku disusul oleh dokter itu. Tak cukup dengan mereka berdua, kulihat suster pun mengikuti dari belakang. Wajah ibu terlihat kusut, sedangkan seorang dokter pria dan suster wanita itu sudah melemparkan senyumannya. Senyuman yang aku benci--seperti biasanya.
"Bagaimana Rada? Terasa sakit kah?" tanya dokter.
Terlalu malas untuk sekedar berkata-kata, terlalu malas untuk menanggapi pertanyaan, aku ... hanya bisa merengut. Ah, iya. Aku tiba-tiba teringat suatu hal. "Kaki Rada ... sulit digerakkan," ujarku hati-hati.
Dokter menampakkan wajah sungkannya. Dengan pandangannya yang sendu, aku tak sanggup memikirkan perkataan selanjutnya yang keluar dari mulut dokter itu. Perasaanku seketika tidak karuan. Firasat buruk seperti sedang berusaha memeluk diriku saat ini.
Dokter berusaha tersenyum kemudian berkata, "Ibumu sudah pesan kaki baru untukmu, Rada. Kakinya belum bisa digunakan sekarang. Sementara kamu nanti jalan-jalan dengan kursi roda dulu ya."
DEG
Jantungku rasanya mati detik itu juga. Bayangan akan menjalani kehidupan biasa seperti orang normal lainnya seketika buyar. Pikiran-pikiran buruk seperti kuliah berhenti, sulit mendapatkan pekerjaan, lalu sulit mengejar cita-cita, semuanya melayang-layang sempurna.
Aku melihat ibu--yang matanya sudah bengkak itu--mengeluarkan lagi air matanya. Beberapa kali ibu terisak. Isakan tertahan yang sepertinya sangat ibu usahakan untuk tidak keluar. Ibu berusaha menutupi erangan dari mulutnya dengan kedua tangan.
"Masih banyak yang bisa kamu lakukan dengan keadaan kamu sekarang. Semua hal yang kita alami pasti selalu ada hikmahnya." Pernyataan tersebut dokter layangkan dengan senyuman. Senyuman pemberi kekuatan yang sebenarnya ... sangat aku benci. Senyuman pertanda bahwa aku lemah dan pantas dikasihani. Senyuman yang menyadarkan diriku bahwa aku tak seperti orang biasa yang lain.
.
.
--
Sudah seminggu ini aku tak mau bicara dengan siapa pun--termasuk dengan ibuku sendiri, keluargaku satu-satunya di dunia ini. Aku hanya ingin mengurung diri di kamarku, duduk atau tidur sendirian di tempat tidur. Kursi roda hanya kugunakan saat ingin buang air, sisanya aku tak ingin melakukan apapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Radelusi [4/4 End]
סיפור קצר[hanya dipublish di http://wattpad.com/user/just-anny, jika menemukan cerita ini di situs lain artinya itu merupakan PLAGIAT/PENYEBARAN TANPA IZIN] Bagiku, semesta hanya berpihak pada mereka. Keadilan itu tidak nyata, hanya delusi orang beruntung se...