Prolog

44 7 4
                                    

Happy Reading❣️

•••

Seorang gadis duduk di bangku restoran seorang diri, mejanya kosong tanpa kehadiran seseorang yang menemani. Berkali-kali ia melihat ponselnya, menunggu sebuah pesan masuk. Lagi-lagi terlambat, pikirnya.

Havana Norton, perempuan itu menyeruput minuman yang sudah dingin karena menunggu terlalu lama. Sesekali, ia akan melirik pintu kaca restoran yang dilewati banyak pelanggan. Havana melihat jam tangannya, jarumnya menunjukkan pukul delapan malam, sudah satu jam ia menunggu di sana.

Tiba-tiba, seorang pria duduk di seberang Havana, "Maaf aku terlambat," kata pria itu. Havana meminum tegukan terakhir dari gelasnya, lalu berdiri dan pergi.

"Tunggu, maafkan aku. Ayo kita bicara." Pria itu menahan pergelangan tangan Havana.

"Untuk apa? Kau sudah terlambat," Havana menyentak genggaman pria itu dan tetap pergi.

Pria itu mengejar Havana yang telah berjalan jauh mendahuluinya, ia menarik Havana menuju parkiran dan membawanya menaiki mobil hitam miliknya. Pria itu melajukan mobilnya di jalanan yang ramai disinari lampu kota.

"Bisakah kau melepaskan tanganmu?"

Grey, pria itu tak mendengarkan apa yang Havana minta. Ia tetap menggenggam tangan Havana.

"Apa kau tuli?!" Sarkas Havana, kesal dengan tingkah laku pria di sampingnya.

"Grey!"

"Kakak," ucap Grey.

"Apa?" Tanya Havana berlagak tak mendengar apa yang Grey katakan.

"Aku bilang, Kakak. Panggil aku Kakak," ucap Grey menolehkan kepalanya pada Havana.

"Apa kau gila?! Lihat ke depan!" Seru Havana melihat mobil itu terus melaju dengan pengemudi yang tak fokus ke depan.

Grey terus melihat ke arah Havana, menunggu perempuan itu memanggilnya, kakak, seperti yang ia inginkan.

"Terserah, aku tidak peduli jika kita mati pun," ucap Havana mengalihkan pandanganya, tak mau lagi memperhatikan pria di sampingnya.

Grey Norton, pria yang merupakan saudara laki-laki Havana itu, kini tersenyum. Rasanya geli melihat adiknya merajuk. Suasana hatinya kembali, pikir Grey.

"Kau benar-benar gila, Grey," gumam Havana menggelengkan kepalanya.

"Sudah aku usahakan untuk tidak terlambat, tapi, maaf," ujar Grey menyesal.

Havana tak memberikan jawabannya. Entah sudah yang keberapa kali, Grey meminta maaf karena terlambat lagi. Havana menghela napas, ia menyamankan posisi duduknya, kemudian memejamkan mata.

Grey masih menggenggam tangan Havana, ia melirik adiknya, lalu tersenyum lagi. Dengan adiknya itu, Grey selalu tersenyum dan bahagia pada hal-hal kecil yang dilakukannya.

"Ayo kita pergi," pinta Grey tiba-tiba.

Havana membuka matanya, menatap Grey yang tersenyum tanpa alasan, "Berhenti," imbuh Havana.

Grey menoleh, mau tak mau, ia menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Havana melepas paksa genggaman Grey dan keluar dari mobil itu.

Grey cepat-cepat mengejar Havana, mengambil tangan adiknya itu, "Tunggu, kita harus segera pergi, Havana," ucap Grey terlihat memohon.

"Pergi ke mana?! Kau gila, Grey!" Havana menyentaknya, segera berjalan cepat dan menjauh.

"Havana, aku mohon dengarkan aku," pinta Grey terus mengejar Havana.

Havana mendorong Grey hingga pria itu tersungkur ke tanah. Havana menyebrang jalan dengan amarah yang masih di atas kepala. Tanpa ia sadari sebuah mobil melaju kencang dari arah kirinya.

"Havana...!" Teriak Grey menyadari hal itu.

Havana menoleh pada Grey, lalu ia lihat di mana pria itu memandang. Havana terlambat, mobil itu lebih cepat dari gerakan kepalanya, tubuhnya kini sudah jatuh ke atas tanah dengan darah yang berceceran di jalanan.

Samar-samar Havana mendengar Grey memanggil-manggil namanya, sebelum kegelapan menguasai Havana sepenuhnya.

•••

To be continued...

VelvetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang