Happy Reading❣️
•••
Seorang gadis tanggung tengah berbaring di ruangan bernuansa putih dengan bau khas obat-obatan yang dominan di dalamnya. Matanya terlelap menandakan ia tidak terjaga. Seorang pria berjubah putih memasuki ruangan dengan kacamata hinggap di hidungnya.
Pria itu menghampiri gadis yang menjadi pasiennya, kemudian memeriksa gadis yang masih tak sadarkan diri hampir dua minggu sudah.
"Bagaimana perkembangannya?" Seorang wanita cantik tiba-tiba datang dari arah belakang pria itu. Gadis yang diperiksanya masih terbaring lemah di atas ranjang.
"Masih sama," ucap pria itu tanpa mengalihkan pandangannya.
"Hampir dua minggu, bukan? Tapi, tidak ada keluarga korban yang datang." Wanita itu menghela napas, menatap iba sang gadis yang masih saja terlelap.
"Menurutmu, bagaimana?" Tanya wanita itu pada si pria.
"Bagaimana apa?"
"Apa yang akan terjadi pada anak ini?" Wanita itu melipatkan tangan di atas perut.
"Tidak ada yang tahu. Sudah, ayo pergi." Setelahnya, pria itu pergi meninggalkan ruangan senggang yang hanya diisi oleh si gadis tersebut.
---
Langit biru tidak tampak sebab digantikan gelapnya malam. Bulan menggantikan matahari, bintang pun ikut menyinari. Angin malam berhembus pelan, mengantarkan hawa dingin yang kian menjadi.
Malam ini suasananya begitu sunyi, orang-orang mungkin sudah bergelung di bawah selimut hangat. Terlelap tidur menikmati waktu mereka untuk beristirahat. Tapi berbeda dengan gadis yang terjaga tengah malam ini. Dia masih membuka lebar kedua kelopak matanya.
Mungkin sudah dua jam yang lalu ia berbaring dengan mata yang masih terjaga. Dia tengah berpikir, apa yang sebenarnya terjadi padanya?
Gadis itu yakin, bawah ia sedang berada di rumah sakit. Kamar bernuansa putih dan bau obat-obat yang dominan tercium oleh hidungnya. Tapi bukan itu masalahnya, masalah yang sebenarnya adalah ia tidak mungkin masih hidup saat ini.
Anehnya jika ia benar-benar hidup, maka di mana kakaknya? Ia yakin setelah kejadian itu, kakaknya pasti akan ada di sisinya. Tapi, dia tidak menemukan siapapun di ruangan itu. Hanya ada dirinya seorang dan tak ada siapapun lagi.
Badannya sulit untuk digerakkan, mungkin sudah lama ia tidak sadarkan diri. Tapi berapa lama? Ia juga tidak tahu.
Sudahlah, dirinya tak kuat lagi menahan kantuk, ia akan memikirkan masalah ini besok. Sekarang ia ingin tidur.
Selamat tidur, Havana, batinnya membisik.
---
Pagi hari menyambut bangun sang gadis dari tidur panjangnya. Seperti kemarin malam, ia masih saja tak bisa menggerakkan tubuhnya. Tubuhnya sangat sulit untuk digerakkan. Tapi saat ini, ia kehausan. Tenggorokannya terasa sangat kering.
Havana berusaha menggerakkan tangannya untuk menjangkau gelas yang berada di atas nakas. Hampir dapat, tangan Havana dapat meraih gelas tersebut sebelum akhirnya gelas itu jatuh dan pecah berserakan di lantai.
Havana benar-benar kesal. Ia bahkan tidak bisa memegang gelas minum dengan mudah. Seorang wanita dengan pakaian perawat datang ke ruangan yang kini Havana tempati. Perawat itu berjalan menghampiri Havana dengan tangan yang membawa nampan berisi obat-obatan.
"Perawat! Hei, bolehkah aku meminta tolong?" Tanya Havana begitu melihat seorang perawat masuk ke dalam ruangannya.
"Kau sudah sadar?!" Perawat itu terkejut hingga menjatuhkan nampan yang ia pegang, kemudian pergi meninggalkan Havana yang menatap bingung pada sang perawat.
"Hei! Perawat! Tunggu!" Teriak Havana tak digubris sedikit pun oleh sang perawat yang berlari menjauh.
"Memangnya dia melihat hantu?!" Havana marah dan hanya diam menunggu perawat itu kembali.
Tak lama setelahnya, perawat itu kembali lagi dengan seorang pria berjubah putih dan wanita cantik yang membuntutinya.
Tidak memberi kesempatan, pria itu langsung memeriksa Havana. Melihat dengan teliti dan mengamati Havana untuk mengetahui keadaaan pasien di hadapannya.
"Kau tidak apa-apa? Apa yang kau rasakan?" Tanya pria itu setelahnya.
"Apa kau dokter?" Tanya Havana setelah melihat pria itu.
"Ya, kau merasa sakit?" Tanya dokter pria itu.
"Haus. Aku sangat kehausan," ucap Havana dengan suara yang sedikit serak.
Dokter itu mengambilkan gelas baru yang berisi air di dalamnya.
"Bersihkan pecahan gelasnya!" Seru sang dokter pada perawat itu.
Setelah membasahi tenggorokannya, Havana mulai menatap satu persatu orang yang ada di ruangan itu.
Havana melihat nametag yang terpasang pada setiap masing-masing seragam yang mereka kenakan.Tertera di sana nama dokter pria itu, Ashley Madison. Juga nama dokter wanita cantik yang sedang menatapnya, Celine Selyna.
Dan terakhir, Vania, nama sang perawat wanita."Sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri?" Havana bertanya pada dokter di depannya dengan tenang.
"13 hari," ucap Celine menyahuti.
Havana terkejut, "Pantas tubuhku sulit digerakkan," gumam Havana tak sengaja terdengar oleh Ashley.
"Tubuhmu pasti sulit digerakkan beberapa hari. Kau harus menjalani fisioterapi," ucap Ashley.
"Apa Grey datang?" Tanya Havana mengabaikan ucapan Ashley yang kini menatap dingin dirinya.
"Tidak ada. Oh ya, siapa namamu?" Bukan Ashley yang menjawab. Melainkan Celine.
Havana tidak menjawab, dia terlalu larut dalam pikirannya. Kakaknya tidak datang. Sulit mempercayai hal itu.
"Dokter, kenapa aku masih hidup?"
Havana khawatir sendiri, terakhir ia ingat, dirinya tertabrak mobil yang melaju kencang sekali. Sulit mempercayai bahwa ia masih hidup saat ini.
"Kau tidak boleh begitu! Seharusnya kau bersyukur masih bisa diberikan kehidupan dengan bernapas," ujar Celine menasihati.
"Kau mengalami kecelakaan beruntun," jelas Ashley.
"Kecelakaan? Oh ya, aku tertabrak. Tunggu, kecelakaan beruntun?" Havana benar-benar pusing, kepalanya berdenyut nyeri. Apa yang telah terjadi padanya ia benar-benar tidak tahu.
"Ya, kecelakaan beruntun. Kau ingat?" Celine bertanya sambil mencondongkan badan ke depan.
Havana hanya mengernyitkan dahi, menggeleng pelan menjawab tak tahu. Celine menatap Ashley yang juga menatapnya. Kembali memandang gadis itu, Celine mendekati ranjang yang di tempati oleh Havana, "Kau ingat apa saja?"
"Dokter! Dokter! Ada beberapa pasien gawat darurat!" Sebelum menyelesaikan ucapannya, seseorang datang memanggil mereka berdua.
"Jaga dia," ucap Ashley sebelum pergi meninggalkan Havana dengan Vania di dalam ruangan itu.
"Perawat, boleh aku meminjam ponselmu?" Meski sulit, Havana berusaha untuk mengangkat tangannya sampai Vania memberikan ponselnya.
Vania mengerti, lantas membantu Havana dengan menaikan kepala ranjang yang bisa di naik-turun oleh tombol di bawahnya.
Havana mengetik satu persatu nomor yang ia ingat milik Grey. Berkali-kali ia mencoba, tapi tetap saja tidak ada jawaban. Havana menyerah dan memutuskan menyudahi usahanya yang sia-sia itu.
Havana mematikan layar ponsel yang menyala dan menjadikannya gelap. Dengan mudah, Havana dapat melihat pantulan wajahnya pada layar ponsel. Betapa terkejutnya Havana melihat pantulan wajah itu di layar ponsel yang sudah tak menyala lagi.
•••
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
Velvet
Teen FictionDua raga satu jiwa. Havana Norton, perempuan yang hidup kebosanan di atas dunia yang dijalaninya itu malah tertimpa nasib yang merubah hidupnya secara drastis. Havana yang tak suka drama diberikan takdir yang membuatnya menjalani kehidupan di mana...