Happy Reading❣️
•••
Pagi-pagi sekali Havana sudah rapi dengan baju pasiennya menunggu seseorang di lobi rumah sakit. Sembari menunggu, Havana melakukan sapa pagi kepada orang-orang yang berlalu lalang. Entah itu dokter yang ia sapa, perawat, pasien, pengunjung, atau petugas kebersihan sekalipun.
Setelah seseorang yang ditunggunya datang, Havana bergegas menghampirinya, "Halo dokter, selamat pagi!" Sapa Havana riang.
Ashley menoleh sekilas lalu mengabaikan Havana dan pergi meninggalkan gadis itu di sana. Havana mengedipkan mata, kesal karena diabaikan.
Dengan cepat ia mengalihkan perhatian pada hal lain agar tidak terlalu malu diabaikan. Havana melihat Celine yang berada di meja resepsionis, wajahnya kembali riang, ia menghampiri Celine yang berdiri membelakanginya.
"Halo, dokter Celine!" Sapa Havana dengan senyum merekah di wajahnya.
"Oh, halo. Sedang apa di sini?" Tanya Celine merangkul pundak Havana pergi bersama menuju ruangan kerjanya berada.
"Tidak sedang apa-apa, aku hanya bosan saja di kamar," jelas Havana tersenyum.
"Begitu rupanya."
Sepanjang perjalanan, setiap orang yang berlalu dan berpapasan dengan mereka pasti menyapa keduanya. Entah itu pada Celine ataupun pada Havana.
"Wah, kamu terkenal juga rupanya," ucap Celine pada gadis di sampingnya.
"Tidak terlalu. Mungkin ini karena aku terlalu cantik," imbuh Havana mengibaskan rambutnya dengan wajah jemawa.
"Terserah kau saja," Celine berlalu pergi ke ruangan kerjanya, mendahului gadis yang tertawa senang di belakangnya.
"Dokter, tunggu!" Seru Havana sambil mengejar Celine yang sudah berjalan jauh di depannya.
Havana mengikuti Celine yang memasuki ruang kerja milik wanita itu.Havana berbaring di sofa ruangan kerja Celine, sesekali ia duduk saat merasa bosan menunggu Celine yang belum juga beranjak dari pekerjaannya.
Sudah genap lima hari Havana berada di rumah sakit itu. Di dunia yang tidak ia kenali. Havana sungguh merasa bosan, kegiatan sehari-hari benar-benar monoton. Tidak ada yang menarik dalam hidupnya.
Havana berpikir, hal apa yang sebaiknya harus ia lakukan supaya tidak kebosanan. Ia melamun sejenak. Tiba-tiba, sebuah ide muncul di kepalanya.
"Dokter, aku pergi!" Seru Havana lalu pergi meninggalkan Celine dengan setumpuk pekerjaannya.
Celine menatap kepergian Havana lalu mengangkat bahunya, tidak peduli.
---
Havana berjalan sambil menyapa orang-orang yang berpapasan dengannya. Ia tersenyum sambil memikirkan apa yang akan ia lakukan dengan tempat tujuannya.
Setelah sampai Havana ke tempat tujuannya, ia mengetuk pintu di hadapannya pelan-pelan.
"Masuk." Terdengar suara seseorang di dalamnya yang menyeru Havana untuk masuk.
"Halo, dokter!" Sapa Havana pada seseorang yang sedang berkutat dengan pekerjaannya di atas meja.
"Kau... siapa?" Tanya seorang pria paruh baya berkacamata di depan Havana.
"Eh? Anda siapa?" Havana terkejut melihat seseorang yang tidak ia kenali di depannya.
Pria itu terlihat kebingungan, "Justru kau siapa?" Tanya pria paruh baya itu lagi.
Havana merasa janggal kemudian ia melangkah mundur hingga sampai di luar ruangan. Havana mendongak ke atas melihat papan nama ruangan di atas kepala pintu.
Tertulis di sana dengan jelas, President Director.
Havana kemudian masuk kembali dengan senyum kecut tersemat di wajahnya.
Sungguh, ia merasa malu. Bagaimana bisa ia salah memasuki ruangan dan malah memasuki ruangan seorang Direktur. Bahkan seorang Direktur Utama.Havana tertawa kering, "Hai, eh? Halo, eh? Maaf, Pak. Aduh." Havana tergagap merasa canggung.
Pria paruh baya itu masih merasa bingung, ia tetap pada posisinya dengan tangan yang masih memegang pena dan sebuah dokumen.
"Aku, saya pasien, Pak," ucap Havana dengan tangannya terangkat menunjukan gelang pasien yang terpasang di pergelangan tangannya.
"Lalu?" Tanya Direktur tersebut mengerutkan dahinya.
"Lalu?" Ulang Havana Gugup.
"Apa?" Tanyanya lagi.
"Apa?" Ulang Havana kemudian. Havana memukul kepalanya sambil memejamkan mata.
Direktur itu pun melepaskan kacamata yang semulanya bertengger di hidungnya.
Duduk dengan tegap sambil bersedekap dada."Maksudku, ada keperluan apa kau datang ke mari?" Tanya Direktur itu merasa jengkel dengan gadis kecil di depannya.
"Sa-saya, saya.... "
Sepertinya hari ini benar-benar hari yang sial untuk Havana. Ia harus cepat-cepat memikirkan jawaban yang masuk di akal sang Direktur dengan tatapan intimidasi yang menyorot pada Havana.
"Saya sedang jalan-jalan. Kebetulan sekali baru-baru ini saya mulai menjalani fisioterapi. Lalu, saya tidak sengaja masuk ruangan ini, Pak. Sungguh saya tidak sengaja. Saya pikir, ini ruangan dokter Ashley, Pak." Jelas Havana panjang lebar.
"Begitu...."
"Benar, Pak. Sungguh saya benar-benar tidak sengaja, Pak," jelas Havana menyakinkan pria paruh baya itu.
"Sudah, tidak apa-apa. Lalu, siapa namamu?" Tanyanya sambil menatap tajam Havana.
"Nama... saya?" Havana bingung sekaligus takut dengan pertanyaan itu. " Tidak ada. Maksud saya, kebetulan saya lupa," ucap Havana.
"Lupa?" Bingung pria paruh baya itu.
"Saya amnesia, Pak," ucap Havana hati-hati.
"Oh, begitu."
"Iya, begitu, Pak."
"Hah?"
"Eh. Kalau boleh tahu siapa nama Anda?" Havana gelagapan ketika merasa suasananya sangat canggung.
"Kenapa memangnya?"
"Saya... hanya ingin tahu saja," ujar Havana sambil tertawa tidak jelas.
Pria paruh baya itu kemudian menunjuk papan nama yang ada di meja dengan sorot matanya. Tertulis nama, Henry Cameron, di sana.
Havana berjalan menghampiri meja Henry dan mengulurkan tangannya. Dengan wajah bingungnya, Henry menerima uluran tangan Havana.
"Kalau begitu, salam kenal, Pak Henry. Panggil saya senyaman Anda," ujar Havana lalu berlari pergi meninggalkan ruangan itu.
Henry menggeleng heran memikirkan perilaku gadis yang barusan saja berlari pergi meninggalkan ruangan kerjanya, "Aneh sekali."
•••
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
Velvet
Teen FictionDua raga satu jiwa. Havana Norton, perempuan yang hidup kebosanan di atas dunia yang dijalaninya itu malah tertimpa nasib yang merubah hidupnya secara drastis. Havana yang tak suka drama diberikan takdir yang membuatnya menjalani kehidupan di mana...