Happy Reading❣️
•••
Havana berteriak, "Perawat! Siapa yang menukar wajahku?!"
"Apa?! Siapa?! Kenapa?!" Vania tersentak ketika pasiennya berteriak.
"Ini! Siapa ini?!" Teriak Havana sambil menunjuk wajahnya yang benar-benar terlihat berbeda.
"Oh, aku kira kenapa. Menukar wajah? Dari kau datang sampai sekarang pun wajahmu tetap sama," ucap Vania sambil memerhatikan wajah pasien di hadapannya.
Havana merasakan nyeri pada bagian kepala, rasanya benar-benar sakit.
Ia memegang kepalanya. Sungguh ia merasa kepalanya akan hancur jika sakit itu terus hinggap di sana."Pergi," ucap Havana yang langsung memberikan ponsel Vania ke pemiliknya kembali.
"Kenapa?! Ada yang sakit?" Vania panik mencoba memegang kepala Havana yang kemudian disentak oleh si pasien.
"Aku bilang pergi!" Havana menatap tajam Vania, jari telunjuknya mengarah ke pintu keluar.
"Tapi, kau tidak apa-apa?"
"Aku mohon, pergi!" Teriak Havana sekali lagi.
Karena khawatir, akhirnya Vania memilih untuk meninggalkan Havana seorang diri di ruangan itu.
Havana memukul kepalanya berkali-kali, berharap sakit itu segera hilang dari sana, "Bagaimana mungkin?" Setelah sakit kepala itu mereda, Havana bergumam sendiri memikirkan apa yang terjadi pada dirinya.
Semalam sebelum Havana kembali tidur, ia sempat menggerakkan tangannya. Havana melihat tangannya yang terasa mengecil. Aneh, sekali pikirnya. Namun, Havana tetap berpikir bahwa ia hanya berhalusinasi.
Lalu setelah itu, Havana bergerak mengusap rambutnya, ia rasa rambut itu lebih pendek dari sebelumnya. Havana pikir mungkin rambutnya dipotong sedikit untuk kebutuhan operasi. Jika benar, kenapa pula wajahnya berubah ketika ia melihat pantulan di ponsel tadi?
Havana meringis, rasanya benar-benar memusingkan ketika memikirkan semua hal itu. Havana menerka, apakah ia menjalani operasi plastik? Tapi, itu tidak mungkin. Perawat itu mengatakan wajahnya sudah seperti ini dari awal.
"Apa mungkin...?"
"Tidak, tidak mungkin. Itu fiksi, tidak mungkin, bukan?" Havana bergumam, mengenyahkan pikiran liarnya.
"Bagaimana jika itu benar?" Racau Havana, ia memegang kepalanya, "Oh, kepalaku hampir pecah rasanya."
---
Sudah empat hari sejak Havana sadar dari komanya. Dari empat hari itu juga Havana sudah melancarkan rencananya.
Havana berusaha untuk sembuh dan mencari informasi sebanyak yang ia bisa.Sejauh ini, informasi yang Havana dapatkan adalah kemungkinan, ia benar-benar mengalami sesuatu yang dinamakan, perubahan tubuh. Semacam tranformasi, perubahan rupa Havana.
Havana menyembunyikan identitasnya dengan berpura-pura lupa ingatan.
Setiap hari, Havana menjalani fisioterapi bersama dokter wanita kemarin, dokter Celine.Seperti hari ini, Havana tengah berjalan di halaman belakang rumah sakit.
Ia berjalan untuk memulihkan kakinya yang masih terasa kaku.Suasananya begitu tenang sebab tak ada siapapun, hanya ada Havana seorang.
Matahari sudah hampir tenggelam, menyisakan warna jingga yang terang. Disuguhi pemandangan indah yang memanjakan mata sungguh membuat senyum kecil terbit di bibir Havana.Ia tahu, dunia yang ia tempati bukanlah sesuatu yang nyata.
Tapi apa pun tempat yang ia singgahi, tempat itu tetaplah terlihat indah dan terlihat nyata.Havana menghentikan langkahnya, ia menghampiri kursi taman dan duduk memandang jingganya langit senja. Derap suara langkah kaki terdengar samar, pelan-pelan suaranya mendekat semakin jelas, suara itu berhenti di belakang Havana.
"Sedang apa disini?" Tanya suara di belakangnya.
"Eh, dokter. Selamat sore," sapa Havana pada pria di belakangnya.
"Sedang apa?" Tanya Ashley pada gadis di depannya.
"Duduk?" Jawab Havana terdengar tidak yakin.
Ashley menatap wajah gadis yang diam menatapnya acuh. Ia menghela napas, kemudian ikut duduk di samping Havana.
"Lalu, apa yang dokter lakukan di sini?" Havana bertanya pada Ashley.
"Duduk juga," jawab Ashley singkat tanpa menoleh pada lawan bicaranya.
"Oh, begitu," imbuh Havana.
Hening. Dua manusia yang sedang duduk di bangku taman itu, memilih melihat pemandangan yang disuguhi langit sore.
"Dokter, sepertinya aku akan pergi." seru Havana tanpa mengalihkan perhatiannya.
"Ke mana?"
"Entah. Aku ingin saja keluar dari rumah sakit ini," jelas Havana.
"Memangnya, kau sudah bertemu keluargamu?" Tanya Ashley menoleh pada Havana yang masih saja diam memandang langit senja.
"Ingat saja tidak, bagaimana bisa bertemu?" Havana menggeleng.
"Itu kau tahu. Aku pikir kau tidak bisa memikirkan hal itu," kata Ashley meremehkan.
"Tapi, tidak ada yang tahu, 'kan? Mungkin saja, aku bisa menemukan mereka ketika keluar dari sini," jawab Havana acuh tak acuh.
"Gelandangan saja butuh orang lain untuk bertahan hidup, apalagi anak sepertimu," ucap Ashley enteng.
"Aku kan bukan gelandangan."
"Coba saja jika kau bisa," ucap Ashley menantang.
Havana berdiri, memberikan tatapan sinis pada pria di hadapannya lalu pergi. Ashley, pria itu tersenyum kecil, ia berdiri mengikuti langkah kaki Havana yang pergi mendahuluinya meninggalkan taman itu.
•••
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
Velvet
Teen FictionDua raga satu jiwa. Havana Norton, perempuan yang hidup kebosanan di atas dunia yang dijalaninya itu malah tertimpa nasib yang merubah hidupnya secara drastis. Havana yang tak suka drama diberikan takdir yang membuatnya menjalani kehidupan di mana...