03. Redupnya bulan Desember
×.
Ardana Putra Kalingga.
Lima tahun laki-laki itu melewati dunianya dengan langkah terseok-seok, seorang diri-- atau mungkin tidak. Ardana melewatinya bersama dengan sepi, berteman dengan sunyi, bergurau dengan waktu yang membentuk sebilah belati.
Menyayat diri, seakan-akan waktu itu mengusirnya untuk tidak lagi ada di tempat ini. Rumahnya, tempat tinggalnya, bangunan dimana dia tumbuh dan belajar banyak hal.
Semua tentang Ardana, bermula di rumah itu.
Tentang bagaimana Ardana berhasil melangkahkan kaki untuk yang pertama kali, berjalan-jalan kecil sampai akhirnya pandai berlari-- menjauhi mimpi yang kala itu juga dia susun rapi-rapi.
Dia tidak pernah menyalahkan takdir. Tidak pernah menyalahkan bumi yang berputar pada poros yang salah, sehingga membuat kehidupannya berubah dari apa yang telah dia tetapkan sejak awal.
Hanya dengan kenyataan itu saja, membuat hati Ardana tergetar dan berdenyut nyeri. Dia baru saja tiba di rumah, baru saja mengucapkan salam dan mengistirahatkan diri di atas sofa.
Ardana menoleh kearah pintu, menarik nafas panjang hanya untuk membuat kaburan di kedua bola matanya hilang. Kala itu, Ardana memutuskan untuk tidak menangis.
Ardana mengistirahatkan tubuh lelah itu sesaat, sebelum berakhir bangkit dan menyambar kunci motor dari atas meja.
Dia melangkah keluar, mengunci pintu untuk meninggalkan pekarangan rumah. Ternyata keputusannya untuk pulang agar dapat beristirahat merupakan sebuah kesalahan.
Bukannya mendapatkan ketenangan, Ardana justru di hantui oleh bayang-bayang masa lalu. Dimana, gambaran-gambaran tentang ibunya yang pergi tanpa alasan yang jelas terlintas begitu saja.
Motor matic biru Ardana berhenti di angkringan pinggir jalan. Dia tidak memiliki tujuan lain, selain mendatangi tempat ini. Ardana rasa, secangkir wedang jahe akan sedikit menenangkan hati.
"Abah, wedang jahenya satu," pesan Ardana.
"Tumben sore-sore gini sudah ke angkringan? Biasanya malam, kenapa?" Abah Rusdi-- pemilik warung angkringan yang menjadi langganan Ardana-- bertanya heran.
Sedikit informasi, wedang jahe buatan peria paruh baya itu selalu menjadi nomor satu di daerah Kalimantan. Hidangan hangat yang cocok di sandingkan dengan Desember-- bulan yang identik dengan musim penghujan.
"Biasalah, Bah. Mobil tua masuk bengkel lagi,"
"Mobil kamu itu, sudah seharusnya di masukin kedalam museum. Umurnya aja, sudah jauh lebih tua daripada Abah." praktis membuat Ardana tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
For all stories
Short StoryKumpulan cerpen nih sayangku cintaku, boleh dicopy untuk tugas sekolah yaa, jadi nggak perlu minta izin kalau mau ambil. Asal nggak disalah gunakan dan diaku-akui. Sekian dari saya.. ( Panggil saja Cici ) And Happy Reading Guys!!!