27. Barren

19.1K 1.2K 107
                                    

"Jadi, tak ada yang bisa kita lakukan selain menunggu?" Ira bertanya sekali lagi pada Aria tepat setelah tiga hari Kavian terbaring tak sadarkan diri dalam kondisi mengerikan, kondisi yang pertama kali dilihatnya saat pertemuan pertama dulu.

Aria mau tak mau mengangguk dan menjawab. "Kita tidak punya pilihan, lagipula ini penyakit yang diluar kuasa manusia. Mengapa tak coba berdoa pada Tuhan?"

Mendengar itu Ira menghela nafas dalam, dia merasa sedih. "Terimakasih telah membantu."

"Aku hanya memberitahukan kondisi terkininya saja." Aria menjawab, "semoga masih ada kesempatan sembuh walau mustahil."

"Semoga saja." Menanggapi ucapan Aria, Ira mengusap wajahnya resah sebanyak dua kali.

Jantungnya berdetak kencang tak karuan, menekan sensasi sedih yang muncul dan menyerangnya bertubi-tubi. Tak lama kucuran air mata mengalir deras membuat Ira menangis sesenggukan kala melihat nafas Kavian semakin melemah.

"B-bisa tinggalkan aku sendiri?" ucapnya pada mereka yang berada di ruangan itu termasuk Aria.

"Semuanya ayo keluar," Interupsi Aria mengajak para pelayan dan penjaga termasuk Liam lalu pintu kamar itu ditutup.

"Hiks..." Ira menangis di sisi ranjang dengan perasaan berkecamuk yang didominasi kesedihan. "Kavian, Kavian... " dia mencoba membangunkan laki-laki itu.

"Jangan mati bodoh!" makinya teringat sudah berapa kali mereka menghabiskan malam bersama. "Kau akan meninggalkanku begitu saja?"

"B-bagaimana... bagaimana kalau aku punya anak?" tangisan Ira semakin menjadi, dia mungkin akan menanggung malu seumur hidup karena itu. "Kau akan pergi begitu saja? Hiks..."

"Aku..."

Pikirannya melayang. Haruskah ia gantung diri?

Ira menggigit bibir. Kepalanya tertunduk lesu dan kedua tangannya ia kepalkan erat-erat. Mungkin minum racun serangga jauh lebih baik?

"J-jangan berlebihan." Tegur seseorang mengejutkan Ira.

"K-Kavian...?"

"Huh?" Pria kurus itu terbatukterbatuk berusaha bangkit mengubah posisinya jadi duduk. "J-jangan berlebihan. A-aku hanya belum makan." Timpalnya.

"Kau bercanda?" Ira menangis sesenggukan, mengusapi wajahnya yang basah berkali-kali. "Haruskah aku mencarikanmu makan?"

Kavian menggeleng. "Kemari sebentar," Ucapnya lemah pada Ira.

Gadis itu mendekat sesuai dengan perintah Kavian. Dimana pemuda itu langsung menahan sisi lehernya dan mendekat, menempatkan mulutnya ke permukaan kulit leher Ira. Memberi sedikit gigitan dengan kedua taring kecilnya hingga berdarah lalu tanpa berlama-lama Kavian segera menghisapnya.

"Engh..." lenguh Ira tersentak kaget saat darahnya dihisap cukup banyak oleh Kavian.

Perlahan tubuh Kavian kembali ke bentuk semula, bentuk idealnya sebagai seorang pria dewasa. Kembali tampan dan rupawan seperti biasa. Pun pria itu merasa segar bugar seperti habis bangun tidur di pagi hari, membuka jendela lalu mandi pagi. Kurang lebih Kavian merasa seperti itu.

"Kau tidak mati?" celetuk Ira polos.

Kavian meringis. "Aku hanya sedikit lebih dramatis saja tadi tapi aku sempat berpikir bahwa beberapa saat lalu adalah akhirku namun tiba-tiba saja aku tersadar dan meminta darahmu." Jelasnya jujur mendeskripsikan apa yang dia rasakan sebelum meminum darah Ira.

"Namun aku sudah merasa baik-baik saja sekarang." Ujar Kavian dalam rangka menenangkan gadis itu sembari mengusapi sisi pipi Ira yang basah. "Kau membuang-buang air mata berhargamu ini."

Duke, Please Ignore Me!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang