Penjara Kadipaten Pancer.
"Kehidupan hanyalah ilusi, Adnan." Perempuan berambut pirang bicara pelan.
Adnan terdiam, menatap dalam dengan perasaan empati.
"Seharusnya aku mampu menyelamatkannya, seharusnya semua tidak perlu berakhir dengan buruk, seharusnya-" Suaranya tertahan. Perlahan, air matanya turun membasahi pipinya yang agak kemerahan. Adnan hanya bisa memperhatikan dari luar jeruji besi. Terdengar suara gemuruh-gemuruh dari ledakan yang terjadi di luar. Agaknya sedang terjadi pertempuran. Sesekali debu berjatuhan dari langit-langit penjara, karena ruangan yang Adnan singgahi bergetar.
Suasana ruangan tersebut remang, hanya cahaya dari lentera sebagai penerangnya. Hawanya dingin, ditambah tembok batu tua yang menambah hawa menjadi lebih dingin. Benda-benda tua, alat-alat penghukum tahanan, juga beberapa buku yang ada di lemari kayu menambah kesan menyeramkan ruangan tersebut. Penjara Kadipaten Pancer, penjara tua yang telah beroperasi sejak ratusan tahun yang lalu. Penyiksaan, eksekusi, dan mengerikan, itulah yang ada di benak masyarakat Kadipaten Pancer ketika mendengar penjara tersebut.
"Kalau begitu, aku duluan, ya. Tunggulah hingga aku kembali. Maaf, aku tidak bisa membawamu dalam keadaan seperti ini. Semoga aku bisa tepat waktu kali ini ... ya, semoga saja." Suaranya terdengar merasa bersalah.
"Kembalilah, Adnan. Kembalilah dalam keadaan baik-baik saja." Perempuan itu menatap Adnan lamat-lamat—berharap bahwa laki-laki berambut putih tersebut dapat kembali menemuinya di sini, di penjara bawah tanah Kadipaten Pancer.
Adnan tersenyum. "Aku akan kembali, Moira."
***
Peperangan, makhluk hitam, perebutan kekuasaan, kelicikan, saling membunuh, saling menjatuhkan. Sebagian besar manusia telah hilang kemanusiaannya, sehingga apalagi yang tersisa dari mereka selain nafsu belaka?
4 tahun yang lalu, Kadipaten Sunyoto.
Di tengah hiruk-pikuk keramaian pasar malam, Adnan Katingga berdiri mengantre sate Kapri.
Desa Wonorowo, Kadipaten Sunyoto, sebuah desa yang terletak tak jauh dari wilayah arsir. Meski demikian, keramaian di sana cukup padat.
Penjagaan dari beberapa PM dipercaya masyarakat sebagai pelindung.
"Yang bener? Memangnya, seberapa parah dampaknya, Mas?" Pemuda tersebut menatap serius lawan bicaranya.
"Dampaknya serius, Ris. Kabarnya, gunung yang meletus 74.000 tahun yang lalu tersebut membuat seluruh dunia tertutup kabut setebal 400 meter di atmosfer. Sinar matahari terhalangi-mengakibatkan musim dingin selama 6 tahun lamanya, bahkan diperkirakan terjadi zaman es, serta mempengaruhi iklim bumi selama seribu tahun ke depan."
"Terus, Mas Pras, manusia yang saat itu hidup di bumi, bagaimana nasibnya?"
Adnan dan yang lainnya serius mendengarkan percakapan mereka berdua, sangat menarik.
Mas Pras menghela napas seraya menutup mata. Pemuda yang lebih tua dua tahun di antara mereka tersebut akhirnya membuka mata. "Sangat buruk. 95% makhluk dunia musnah. Kamu bisa membayangkan keadaannya." Ia menyeruput kopinya sejenak. "Kalian tahu VEI?"
Semuanya menggeleng.
"Baik, VEI merupakan singkatan dari Volcanic Explosivity Index. Artinya, itu merupakan skala meletusnya sebuah gunung. VEI saat gunung meletus itu mencapai angka 8-skala tertinggi!"
"Edan! Parah banget! Lalu, dampak selanjutnya?"
"Letusan tersebut menghancurkan dirinya sendiri, bahkan hingga membentuk danau terkenal yang terdapat pulau di tengahnya, luas danaunya sekitar 1.124 kilometer persegi, dengan kedalaman 508 meter."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Negeri Manunggal Spin-off: Sang Pedang Perak
FantasyPerjalanan untuk menemukan para pewaris pedang keramat Negeri Manunggal. Akan ada seorang pemuda cerdik yang pandai menyelinap di antara kerumunan orang. Ini adalah kisahnya; perjalanan panjang yang akan membawa dirinya pada kebijaksanaan, mara baha...