Kepulan debu menutupi area sekitar, terutama yang terkena pukulan pria tanpa rambut itu.
Adnan membuka matanya, menoleh ke kanan dan kiri, kemudian tersadar bahwa ia telah berada di lantai satu.
“Kamu baik-baik saja, ‘kan?” Lelaki yang tadi berkumpul bersamanya bertanya.
Pemuda berambut putih itu menganga. “Mas Pras!”
“Tunggu di sini, ya!” Mas Pras melompat dari lantai satu ke lantai dua.
“Bocah mana lagi ini!” Pria tersebut membentak.
“Pras, dari Desa Berkasih!” Mas Pras melakukan teleportasi ke belakang pria botak tersebut. Meski belum terlalu cepat, tetapi cukup untuk membuat musuh kerepotan.
Ia melakukan tendangan dorong ke punggung pria itu hingga membuatnya terpental menembus batas lantai dua, kemudian mendarat di sebuah pilar lantai satu.
BAM!
Si Botak tidak sadar bahwa Mas Pras sudah berdiri di depannya untuk melakukan pukulan terakhir. Mas Pras mengepalkan tangannya. Aura magis yang berada di tubuhnya berkumpul dan berpusat di tangan kanannya.
Adnan yang melihat kejadian itu tampak kaget, ia baru mengetahui bahwa aura magis dapat dikendalikan ke bagian tubuh tertentu.
“Ya Allah, hamba hanya berniat untuk menghukum pria ini, karena ia telah membuat kekacauan dengan membunuh orang-orang tak bersalah.” Mas Pras mengayunkan pukulan ke sang pria botak.
BLAAAR! Pukulan tersebut telak mengenai dadanya, bahkan hingga menghancurkan pilar di belakangnya. Dirinya terpental jauh. Pria itu tewas seketika.
Mas Pras menurunkan tangannya yang mengepal. Perlahan, aura yang menyelimuti tangannya meredup. Kepulan debu sisa-sisa pukulan masih mengaburkan pandangan. Mas Pras memejamkan mata dan mengatur napas. Kemudian menoleh ke arah Adnan yang masih terdiam melihat kejadian barusan.
***
Padepokan Macan Bumi, Desa Berkasih, Kadipaten SunyotoSebuah pohon tua menjulang setinggi 10 meter di tengah-tengah komplek bangunan padepokan. Langit terlihat agak mendung, bulan-bulan ini sedang masuk cuaca musim hujan. Awan-awan tebal berwarna kelam menyelimuti langit yang tadi pagi terlihat cerah. Pohon-pohon kecil juga bergoyang diterpa angin. Terdapat lapangan latihan juga di sana, dengan beberapa orang sedang berlatih menggunakan senjata tajam, terutama pedang. Lingkungan di padepokan ini terlihat asri, banyak warga yang kadang masuk ke padepokan untuk sekadar berjalan-jalan, atau melihat orang-orang latihan bertarung.
Adnan yang dari tadi duduk di pinggir lapangan, akhirnya memutuskan pindah tempat duduk. Saat hendak bangun, tiba-tiba ada yang memanggilnya, “Adnan! Mau ke mana?”
“Haduh, dasar, baru juga mau pindah tempat duduk. Kenapa?”
“Jawab dong pertanyaanku.” Perempuan dengan rambut sebahu, tinggi sekitar 155 sentimeter, bermata cokelat, kulit sawo matang, serta mengenakan kaos putih serta rok hitam, wajahnya terlihat masam setelah pertanyaannya tidak dijawab Adnan.
“Aku hanya ingin pindah tempat duduk. Eum, entahlah, mau cari tempat lain aja, deh. Mau ikut?”
Wajah perempuan tersebut terlihat sumringah. “Nah, gitu dong. Mau!” Ia juga merogoh sesuatu di saku roknya. “Aku mau mengisi daya baterai dulu kalau begitu, ya, tunggu sebentar!”
“Eh, tunggu sebentar! Sekalian, dong. Tolong ambilkan sandalku di rak sana.” Adnan menunjuk ke arah belakang.
“Oke, Pak Bos!” Perempuan itu tertawa sambil berjalan masuk ke dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Negeri Manunggal Spin-off: Sang Pedang Perak
FantasíaPerjalanan untuk menemukan para pewaris pedang keramat Negeri Manunggal. Akan ada seorang pemuda cerdik yang pandai menyelinap di antara kerumunan orang. Ini adalah kisahnya; perjalanan panjang yang akan membawa dirinya pada kebijaksanaan, mara baha...