Gulirnya waktu membuatku semakin larut dalam rasa penasaran dengan apa jawabannya. Keraguan semakin membesar, tanpanya yang membuatku yakin akan jawaban yang benar-benar aku ingin dengar itu. Pagi, siang, dan soreku tak seperti dulu, tak diawali manisnya pesan teks dia, manisnya sapaan dia. Malam ku tak seperti dulu, tak diakhiri dengan ucapan selamat malam dari dia. Satu tindakan untuk memenuhi rasa rindu ini, suara Marsya yang pernah ia kirim sendiri lewat BBM itulah yang mengganti kehadirannya yang sudah tak seperti dulu lagi.
Hari ini, selasa dimana ada janji untuk mengantarnya ke sekolah dan menikmati eskrim bersama. Dalam harapanku hari bersamanya ini tak hancur karena pembahasanku tentang perasaanku atau perasaannya. Kupacu vespaku, lantunan Bismillah dalam hatiku. Tak sabar aku menanti manis senyumnya, yang tak jarang kutatap disetiap ada kesempatan lewat kaca spion yang kuarahkan ke wajahnya jika memboncengnya. Sampai ditempat dimana aku harus menunggu, "Harus gua tahan.. tahann.." dalam hatiku mencoba meyakinkan diriku untuk menahan keegoisan membahas hal yang kuyakin akan menghancurkan moodnya. Kuputar vespaku, kulihat dia dari kejauhan mengenakan sweeter dan rok hijau seragam sekolah kami. Dalam wajahnya dia terlihat sedikit tertawa, entah apa yang ditertawakan keceriaannya lah yang kutunggu sedari tadi. Aku nyalakan motor tua yang kupanggil Beti ini, "yuk naik.." ajakku. Aku menikmati perjalanan, entah bagaimana dia. Wajahnya terlihat agak lesu.
"Kamu ko diem aja?"
"Gapapa ko lagi kurang enak badan aja"
"Yeh kenapa gabilang aja, abis dari sekolah kita langsung pulang aja ya.."
"Gapapa ko biarin aja"
Bingung melanda pikiranku, awalnya memang aku tidak mengajaknya untuk makan eskrim, aku mengajak dia untuk makan mie ayam. Sesuai isi dompet hasil kerja malamku menjadi kuli sayur yang tidak begitu banyak. Aku tahu pasti dia kurang berselera untuk makan karena itu aku mengajaknya makan eskrim kesukaannya. Sesudah mengantarnya kami langsung bergegas ke warung eskrim tempat aku biasa beli. Kami menikmati eskrim sambil berbicara dan bergurau. Bodohnya aku tak tertahan membahas itu lagi. Tapi tak seperti di media sosial, dia tidak begitu terlihat keberatan. Sikapnya itu yang membuatku lebih bodoh leluasa membahas itu lagi. Rintik hujan turun, tidak ada pilihan lain selain berteduh selagi menikmati eskrim. Aku bertanya seperti biasa lagi, kali ini responnya bukan "gatau" tapi "Nanti pas perpisahan ya aku kasih tau".
Setelah sekian penasarannya menunggu, melewati masa indah, suram yang saling melengkapi.
Apa jawabannya? Rasa gelisah lebih besar daripada rasa optimisku.
—
Dalam 3 hari penantian itu aku memilih diam untuk menjaga agar emosiku terjaga untuk tidak mengganggunya. Aku menerka apa jawabannya bila "ya" atau "tidak". Kebiasaanku sebelum tidur, kubayangkan semua kemungkinan. Tiga hari itu berlalu, hari ini perpisahan. Semua wanita seangkatanku berdatangan dengan wajah seperti badut. Haha, sedikit bergurau.. dan seperti biasa aku datang langsung mencari kawan-kawanku. Teman sekelas Marsya memintaku untuk mengambil foto mereka, "kurang nih Marsya mana Marsya?" bisikku bergurau. Acara kunikmati, canda tawa bersama teman-temanku tetap bergema. Satu yang mengganggu pikiranku, apa jawabannya.
Sesudah acara, aku meminta janjinya. Jantung berdebar, pikiran agak kacau..
"Mana penjelasannya? Hari ini kan?"
"Belum ada"
"Loh belum ada gimana?"
"Bukan gitu"
Aku termenung, mengerti..
"Oh iya aku ngerti"
"Gapapakan?"
Aku hanya mengangguk dengan pandangan dan pikiran yang hampa, dan tiba-tiba ibuku menghampiri..
Seperti fokus pada suatu pikiran yang hancur, bahkan kata-kata ibuku tak kudengar, langsung ku bergegas meninggalkan Marsya..
Rasa tak menyangka, tak seperti yang kuandaikan..
Lalu bagaimana yang dia ucapkan waktu itu? Jadi semua hanya kebohongan?
Ini akhirnya? Ini akhir?
Berawal dari tatapan berakhir dari pengakuan?
Mataku berkaca? Kenapa?
Kulihat tawanya, tak ada kesedihannya? Tak ada keraguan dia mengucapkan itu padaku?
Jadi apa yang kulakukan semua ini? Perjuangan?
PERJUANGAN APA?
"Berat perasaan menahan hati yang tak mau egois untuk menjaga perasaanmu. Berat jiwa yang terus memaksa untuk memaafkanmu. Berat pikiran yang disela waktu untuk memikirkanmu. Berat mimpi yang terus tersiksa karena kenyataan. Aku yang salah karena terlalu perduli, aku yang salah karena terlalu memikirkan. Aku memang salah, tapi tak ada rasa sesal untuk mengenal, mengasihi, menemani, mendekatimu dan memperjuangkan mimpiku."
Tapi malam ini, waktu ini, ketika ku mengetik cerita pendek ini, setelah kurenungi.. tak pantas ku menyerah karena ini.. biarkan ku berjuang lagi dengan cara yang lain, ini Bukan Akhir.
Lagi pula jawabanmu, 'Belum ada' berkesan memancingku untuk lebih berjuang.
Menantang? Rasakan kekuatan sejati dari rasa sayang yang setia!
Te Amo sya..
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Akhir
Short StoryIni kisah tentang perjuangan seorang pria, yaitu aku sendiri. Dengan kisah absurd remaja, cinta monyet yang tak terbalas. Mungkin salah satu dari kalian menganggap ceritaku lebay dan sebagainya. Memang, tak ada cara lain selain mengungkapkannya disi...