Malam yang sunyi, masih terngiang semua luka saat itu. Memang pertanyaanku sudah Marsya jawab, tapi sesingkat itu tidak memuaskan hatiku yang penuh pertanyaan. Rasa tak percaya akan semua ini kalah dengan kenyataan yang semakin pahit. Serpihan semangat dan harapan yang kukira saat itu akan utuh kembali nyatanya makin tersapu arah angin yang berlawanan dengan imajinasi kebahagiaanku. Lamunan membuat buram pandanganku yang teralih pada khayalan indahnya harapan. Kadang airmata ikut menghibur pipiku dengan lantunan jerit hati yang terus terasa tertusuk, cengir senyumku merusak kesedihan setiba ingatnya kenangan manis. Ah, ini tak mengubah apapun.. aku harus bangkit tapi akankah dia membius hati yang sudah ia hancurkan ini untuk ia sembuhkan? Atau dia kubur dalam rasaku yang tertanam dihati ini?
Marsya yang manis, aku selalu mencoba mengubah sikapku yang tidak dia suka. Untuk mempertahankan keberadaannya, dan menumbuhkan rasanya lagi yang entah hilang berkurang atau hanya kebohongan belaka. Tetap saja 'sikap atau sifat' itu tetap keluar, tentu itu membuatnya tidak nyaman. Tapi untuk apa? Hanya untuk menunjukkan keseriusanku, apa itu keegoisan? Atau hanya ketulusan yang kurang dihargai. Aku hanya ingin jujur menjadi diriku sendiri untuk mengabadikan indahnya senyumnya dengan perasaannya yang kuharap sama denganku.
Hari itu cerah, terlalu cerah ketika ia mengajakku menemaninya membeli sesuatu untuk sahabatnya. Tepat hari ulang tahunku, aku menerka mungkin ia akan berkata "Ifan? Maaf ya buat kemarin perpisahan aku cuma bercanda, jadi aku ada perasaan sama kamu," senyum bahagia hanya membayangkan itu apalagi mendengarnya ketika itu menjadi nyata, ditambah suara Vespaku membuat perjalanan ini begitu tenang. Sesampainya di mall, aku menunggu didepan pintu masuk utama yang waktu itu pernah aku dan dia tempati untuk berbicara berdua. Aku tidak membawa ponselku yang kala itu baterainya lemah dan kutinggal dirumah, kesana kemari berjalan mencari dirinya karena aku keheranan dia lama sekali datangnya. Barangkali ia menunggu didepan lampu merah, barangkali ia sedang ingin menyebrang. Selama satu jam kaki ini tidak bisa diam mencarinya, berjalan kesana kemari rasanya tak sabar bertemu dengannya. Nah, angin begitu nyata dan segar hembusannya. Ia sampai, hati berdebar begitu hebat. "Kali ini gua harus ngehibur dia, harus!" dalam hatiku. Berjalan aku bertanya kenapa dirinya tetap begitu terlihat cantik dimataku setelah ia beberapa kali membuat aku jatuh. Aku mengajaknya menonton film dulu di Bioskop, sayangnya jam tayang terlalu sore karena kepenuhan. Kami langsung beranjak ke toko buku, dimana ia ingin membelikan sahabatnya sebuah buku diary sekalian aku yang ingin membeli beberapa Drawing Pen untuk hobiku.
"Itu berapa harganya fan? Aku yang bayarin deh gapapa."
"Gapapa ko sya gausah, kamu bener gainget hari ini hari apa?"
"Emangnya ada apa sih hari ini?"
Terlalu berharap ya, haha begitulah, tapi sebenarnya ia ingat, karena aku yang mengatakannya.
"Ah gaseru nii, coba dia gangomong"
"oh jadi kamu pura-pura lupa"
Kami masih dalam keadaan senang, bersenda gurau, untuk saling menjaga mood dan perasaan kami. Mengisi kekosongan jiwa yang dalam waktu singkat lalu teriris kesedihan yang mendalam. Kami singgah di tempat makan, kami memesan makanan dan minuman. Selagi berbicara dengannya, tak lupa kuambil kesempatan untuk membuat tawanya hadir dalam percakapan kita. Tawa khasnya memberi bumbu spesial pada hari spesialku. Rasa kenyang membuatku berhenti menyantap makanan, dia pun sama. Dilanjutkan berbicara lagi, bodohnya aku sekali lagi membahas itu. Dia leluasa menjawab pertanyaan-pertanyaanku yang sangat mungkin menekan hatinya. Entah jawaban bohong atau jujur, aku mempercayainya. Kami bersenang-senang, untuk kado dia memberikan aku waktu dan senyuman di hari itu, tak lupa sebuah gelang dan ucapan manis ketika ingin pulang. Aku akan selalu mengingatnya.
One sided expectations can mentally destroy you.
--
Tertusuk lagi perasaan ini, membara lagi emosiku. Dikala malam pertama bulan suci Ramadhan, aku mengeluarkan semua perasaan, keluh, dan pendapatku. Dia hanya membacanya, tapi menjelang pagi beberapa pesan sampai, pesan darinya yang dari semalam aku tunggu.
"Dia? Oke aku emang pernah punya perasaan sama dia bahkan sampe sekarang."
Aku tercengang, lagi dan lagi hati ini tersentak. Apa semua perasaannya yang pernah ia ungkapkan kepadaku adalah kebohongan? Atau memang dia setega itu membagi perasaannya? Tapi tunggu, aku harusnya menyadari ini dari awal. Dia masih menyimpan sisa kenangannya dengan pria itu. Kenyataan ini menambah pertanyaan dalam hatiku, mengapa aku sebodoh ini? Wanita yang kala itu membuat senyumnya tulus kini membuat kenyataan yang membuatku tidak mampu menganggap senyumnya tulus lagi.
" Kudekap cerita serta manisnya kenangan kita, senyummu menggetarkan airmataku. Mengingat mungkin aku tak bisa melihatnya lagi, semua mengalir begitu saja. Aku tak mengizinkan diriku secengeng ini hanya karena dirimu. Tapi hati tidak bisa dibohongi, pernyataanmu begitu menusuk menimbulkan dugaan-dugaan burukku terhadap dirimu. Pemikiranku bertentangan dengan hati yang ingin bertahan denganmu. Kepergianku hanya akan memberikan penyesalan pada diriku sendiri. Bagaimana bisa aku melepasmu? Apa harus membenci untuk melakukan itu? Kenapa tidak dari awal dirimu menolak diriku yang sebenarnya tak pantas untuk dirimu dan bagi dirimu ini? Apa ini karena diriku yang terlalu jujur menjadi diriku sendiri sehingga membuatmu begitu menolakku dan berbohong dengan perasaanmu sendiri. Rasa tak menyangka akan semua ini aku tak ingin ini menjadi rasa benci. Aku menahannya, untuk mencintaimu."
Do you know how it feels to let go of someone you love for a long time sya? JUST FOR THEM TO BE HAPPY.
I lied to myself that I hate you, I still love you.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Akhir
Historia CortaIni kisah tentang perjuangan seorang pria, yaitu aku sendiri. Dengan kisah absurd remaja, cinta monyet yang tak terbalas. Mungkin salah satu dari kalian menganggap ceritaku lebay dan sebagainya. Memang, tak ada cara lain selain mengungkapkannya disi...