Chapter 3: Mungkin Dia Orangnya

619 160 33
                                    

Playlist:  Tom Odell - Another Love

"Kira-kira si Pandji bakal lo gituin nggak, Bel?" tanya Laura

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kira-kira si Pandji bakal lo gituin nggak, Bel?" tanya Laura.

Aku mengerutkan alis. "Gituin gimana?" Aku bertanya balik sambil menoleh ke arah Laura, gerakanku yang sedang memotong kuku Miko tampaknya nggak membuat Miko nyaman, jadi dia menggerakkan badannya sambil mencakar tanganku.

"Disayang-sayang lah! Kayak lo manjain si Miko." sahut Laura sementara aku mengaduh akibat ulah kucing nggak tahu diri yang sayangnya ngegemesin bukan main.

Meet my lovely baby boy—Miko. Kucing nyebelin yang menganggapku hanya sebagai babunya. Kucing ras british short hair dengan warna bulu seperti muffin yang gosong itu nggak begitu ramah sama manusia lain kecuali yang biasa dia temui di rumah. Dia juga galak banget kayak preman kalau ada kucing tetangga atau kucing liar mampir ke depan pintu pagar. Miko adalah hadiah ultahku yang ke dua puluh satu dari Papa, tiga tahun yang lalu. Mungkin sebagai hadiah perpisahan juga karena saat itu orangtuaku resmi bercerai. Sejak tiga tahun lalu hingga sekarang aku tinggal bersama Bunda dan Mbak Siti—asisten rumah tangga yang sudah ikut keluargaku selama belasan tahun.

Dari perceraian orangtuaku, kadang aku masih nggak mengerti. Bagaimana bisa dua orang yang saling mencintai, saling membagi hidupnya selama bertahun-tahun, kini bisa berubah menjadi orang asing satu sama lain. Aku tahu keduanya masih saling cinta, dan yang aku percaya Papa nggak bisa mencintai orang lain selain Bunda. Salah satu alasanku mau ikut Bunda sejak mereka bercerai karena cintaku pada Papa. Aku lebih dekat dengan Papa dibandingkan Bunda. Papa selalu bisa membaca pikiranku dan apa yang kuinginkan meski aku nggak menceritakannya.

Aku ingat sekali waktu Papa mengatakan, "Ibel bukan anak dibawah umur lagi. Jadi bisa bebas menentukan hidup Ibel mau ikut siapa sampai Ibel menikah nanti. Tapi, kalaupun Ibel mau hidup sendiri nggak apa-apa. Nanti Papa sama Bunda siapin. Tapi, kalau Papa boleh kasih saran lebih baik Ibel ikut Bunda. Bundamu nggak terbiasa sendirian di rumah, apalagi kalau nggak ada Ibel." Aku nggak bisa berkata enggak saat itu, hingga sekarang. Dan sebagai anak tunggal, ditinggal Papa rasanya hampa banget. Mungkin salah satu faktor kenapa aku bisa menerima Pandji dalam waktu yang singkat adalah karena faktor kesepian. Ya, memang sih Papa tinggal di Surabaya sejak bercerai, tapi nggak mungkin dong aku setiap minggu harus bolak-balik Jakarta-Surabaya untuk ketemu Papa?

"Bel, lihat deh." Laura menyodorkan ponselnya. Memperlihatkan feeds Instagram widyarbl. Foto-fotonya kebanyakan rame-rame dan selalu ada sosok Pandji di sana. "Lo kenal dia siapa?"

Aku mengedikkan bahu santai. "Tahu, tapi nggak kenal."

"Mantannya kali ya?" Laura berspekulasi. "Masa di tiap foto yang rame-rame nongol si Pandji dan cukup banyak juga lho foto yang berduaan."

"Bestie mungkin, Lau. Lagian kenapa sih?" Aku mulai gusar.

"Cemburu lo? Katanya nggak cinta," cibir Laura sembari mengambil ponselnya kembali.

Lie Like ThisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang