[1] Him

50 12 0
                                    

Jiho

Ada beberapa orang bilang, di umur gue saat ini sudah sebaiknya mencari pasangan. Pasangan yang serius. Yang bisa diajak ke jenjang yang lebih serius alias menikah. Yang bisa diajak kawin, begitu kalau kata Mingyu.

Dua puluh sembilan tahun. Umur gue baru dua puluh sembilan tahun dan hampir setiap harinya gue mendapat berita kalau salah satu teman gue akan menikah.

"Mbak, anaknya Tante Yura mau menikah dua bulan lagi. Dia seumuranmu kan, ya?"

Gue cuma bisa tersenyum tipis dan menyesap sedikit kopi panas gue, menutupi senyuman palsu tersebut. Sudah biasa. "Lebih muda dua tahun dari aku, Bu."

Come again. Two years younger than me and yet, get married first than me.

Kadang gue penasaran apa yang bisa buat seseorang yakin dengan pasangannya masing-masing dan berani untuk settled seperti menikah.

Marriage & Commitment -- Quite a word.

Untung nyokap bukan orang selalu memburu gue dengan pertanyaan sudah punya pacar sekarang? Seperti yang terjadi ke beberapa teman gue. Enggak kok. Tenang. Tapi dengan pembawaan Ibu yang tenang dan bersikap seolah tidak mempermasalahkan hal tersebut, malah buat gue sering kepikiran.

What if ternyata Ibu sedih lihat gue? What if ternyata Ibu mau gue cepat-cepat menikah supaya tidak selalu sendirian? What if Ibu malu dengan teman-temannya yang hampir semua anak perempuan mereka sudah dipinang oleh seseorang?

Terlalu banyak what ifs yang buat gue nggak bisa mengerti apa yang sebenarnya Ibu inginkan.

"Eh, tolong confirm ke Mbak Ella dong, makanannya jadi yang pertama aja." Kali ini suara Mingyu memenuhi dapur. Orangnya turun dengan tergesa dan dengan kurang ajarnya menaruh handuk basah bekas rambutnya tadi di atas kepala gue dan bersikap layaknya tidak melakukan sesuatu.

Memang Kim Mingyu kurang ajar. Sudah menyuruh, nggak sopan lagi.

"Kenapa diganti, Mas?" Ibu bertanya sambil menyiapkan kopi panas untuk anak laki-laki satu-satunya itu.

Wong lanang kesayangan keluarga yang sebentar lagi mau menikah.

Dan lagi-lagi, Mingyu ambil makanan gue tanpa izin sebelum jawab pertanyaan Ibu. Apakah dia harus selalu buat gue kesal sebelum melakukan sesuatu? "Kemarin Mina minta buat diganti aja. Setelah dia rasa-rasa, dia lebih suka yang pertama. Nggak apa-apa, kan, Bu?"

"Ya, nggak apa-apa. Ini kan acaramu, Mas."

Enak banget kalau dengar Ibu lagi ngomong sama Mingyu. Selalu lembut, tenang, dan setuju. Ya, walaupun Ibu begitu ke semua orang tapi gue tau, kalau ke Mas Mingyu, pasti berbeda. Dan gue sebagai orang yang selalu menyaksikan itu hanya bisa maklum.

"Kalo menurut lo gimana? Yang pertama aja nggak apa-apa, kan?"

Oh, wow. Boleh tepuk tangan dulu sebentar semuanya. Kim Mingyu menanyakan pendapat gue untuk pertama kali setelah sekian lama. Wow, how great is that? Gue cuma melirik dia sebentar sebelum menjawab. "Ya, nggak apa-apa lah. Kenapa harus nanya pendapat gue? Dan lagi, gue juga udah bilang dari awal, gue prefer yang pertama."

Ada satu hal juga yang gue sadar dari Ibu. Ibu selalu hanya terkekeh kalau gue udah mulai sewot ke Mas gue satu ini. Ibu nggak pernah menegur gue setiap kali suara ketus gue mulai terdengar kalau lagi ngobrol sama Mingyu. Atau saat gue mengomel karena laki-laki itu suka banget menganggu waktu tidur gue.

Gue inget Ibu pernah bilang, "Ibu nggak akan bisa marah sama kamu, Mbak." Bahkan ketika gue tidak bersikap seperti apa yang beliau inginkan? Gue betul-betul harus bersyukur punya ibu seperti Ibu.

Forever OnlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang