[7] - Kasih Sayang

35 8 8
                                    

Jiho

Gue biasa dirayakan.

Walaupun terkadang gue sering berbicara mengenai bagaimana Mingyu yang selalu dilihat oleh Ibu dan juga Ayah, tapi mereka tidak pernah lupa akan eksistensi gue yang nggak kalah berharganya dari Mingyu.

Terserah orang lain mau anggapnya apa, tapi orang tua gue adalah sosok yang begitu penyayang dalam kamus gue. Mungkin itu yang membuat Mingyu sering mendapat label bendera hijau dari teman-teman gue dan perempuan-perempuan di luar sana setiap kali memperhatikan segala perlakuan Mingyu terhadap perempuan. Semua itu gue simpulkan dari bagaimana kami dibesarkan.

Ibu yang begitu lembut dan Ayah yang begitu penyayang. Rumah kami sempurna, begitu kata orang. Rumah kami sempurna, itu yang membuat gue salah melangkah.

Gue sampai sempat berpikir kalau gue bukanlah produk dari semua kasih sayang itu. Semua keanehan ini mengingatkan gue pada satu kejadian di tahun terakhir SMA yang gue rasa berpengaruh besar dalam hidup gue.

Waktu itu hari Kamis. Gue masih dalam balutan batik sekolah, masih bawa-bawa tas bekal kuning, bahkan tas gue masih penuh sama buku pelajaran dan buku les. Tapi bisa-bisanya, entah hari itu ada apa, tiba-tiba gue memutuskan untuk bolos.

Sebetulnya tidak benar-benar tiba-tiba. Gue sudah memperhitungkan segalanya. Hari Kamis itu gue seharusnya pulang malam karena ada bimbel dan Mingyu ada latihan Basket. Sempurna, tidak ada yang mencurigai jika gue tetap pulang malam. Urusan les, gue bisa titip absen kepada Saeron dan berjanji tidak menyebarkannya, jikalau Ibu bertanya.

Intinya, hari itu hari yang paling tepat untuk menjalankan keinginan gue ini.

Kabur dari rutinitas.

Rasanya gue cukup muak dengan keadaan. Ditambah sedang banyak obrolan mengenai gue dan keluarga gue yang sebetulnya baik, tapi lama kelamaan menimbulkan risih.

Seperti biasa, Mingyu dengan segala kelebihannya. Ia bersinar, begitu terang, hingga berhasil menutupi sekitar yang sialnya gue selalu berada di sampingnya.

Mingyu berhasil memenangkan turnamen Basket. Mingyu menjadi kandidat utama Abang None. Mingyu berhasil lanjut ke babak selanjutnya di ajang pencarian bakat kategori band tingkat SMA. Mingyu resmi berpacaran dengan primadona sekolah. Mingyu ini. Mingyu itu.

Sayangnya orang tak pernah lupa dengan siapa yang tertutup oleh sinarnya. Ada gue yang terlihat tak bisa melakukan apa-apa.

Mingyu punya kembaran, ya? Yang mana? Oh, itu? Itu kembarannya Mingyu? Serius? Oh.. baru tau. Namanya siapa? Yang mana sih? Lo tahu orangnya? dan masih banyak macamnya.

Nada-nada tak menyenangkan yang sering gue abai lama-lama menumpuk dan rasanya ingin gue timpuk. When I say I had enough, I mean it. Gue benci dianggap seperti bayang-bayangnya padahal gue nggak mau.

Gue dan Mingyu adalah dua orang yang berbeda. Kami dibesarkan dengan cara yang sama, tapi tetap kami dua individu yang memiliki hidupnya masing-masing.

Terserah mau orang anggap gue jelek, nggak menarik, bodoh, galak—gue nggak peduli. Gue udah kenyang dengar itu dari bisik-bisikan orang.

Tapi satu waktu, rasanya gue ingin pergi dari semua itu. Karena gue tau, mustahil untuk pergi begitu aja. Dibanding rasa kesal ke orang-orang yang membandingi kami, gue masih lebih saya Ibu (Mingyu juga deh). Gue nggak akan ninggalin mereka cuma untuk terlepas dari jeratan itu. Lebih baik pura-pura budeg deh.

Maka dari itu, ketika ada satu laki-laki yang menghampiri gue di kantin kala itu, gue cukup heran.

Apa dia juga salah satu siswa dalam circle Mingyu yang sok-sok itu?

Forever OnlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang