O 2 .

96 23 9
                                    

Mungkin orang yang paling bahagia mendengar kabar kepindahannya adalah orangtuanya, terutama mama. Secara mama salah satu orang yang menentang dia dan Sheira LDR-an. Pun dengan keluarga mertua pun tak kalah senang.

Kalau Jendra dikasih pilihan antara menetap di kantor sebelumnya atau kantor sekarang tapi naik jabatan, Jendra lebih memilih di kantor lama walau tidak naik jabatan. Alesannya? Jendra sudah nyaman dengan hiruk pikuk kota megapolitan. Adaptasi itu menguras banyak tenaga.

Walau sudah menikah lima tahun lamanya, Jendra tidak terbiasa dengan kehadiran Shaira, dan mungkin Shaira pun begitu. Dua-duanya bukan tipikal suka basa-basi, bukan pula tipe yang terbuka. Ditambah mereka hanya bertemu saat lebaran.

Sebagai seorang dosen, Shaira seringnya sibuknya melebihi dari Jendra. Liburan semester? Itu hanya berlaku bagi mahasiswa, dosen tetap sibuk, mengurusi nilai, pengabdian, penelitian bersama mahasiswa, penelitian lainnya, bimbingan skripsi, belum lagi mengurus akreditasi yang sering diadakan saat liburan semester, dan lain sebagainya.

Katanya di tahun pernikahan yang mau memasuki tahun ke lima biasanya merupakan tahun-tahun yang berat. Orang bilang tahun ke lima banyak sekali ujian hidup. Mungkin ini juga sedikit berlaku untuk mereka, Jendra naik jabatan sebagai general manager, dan Sheira diangkat menjadi dosen tetap di Universitas Neo Teknologi, salah satu perguruan tinggi swasta besar di awal semester ganjil tahun lalu. Ya, itu kedengerannya bukan seperti ujian tapi ujian kan tidak melulu sesuatu yang buruk bukan?

Jendra menatap sekitar, sekarang waktu sudah menunjukan pukul delapan. Dan Shaira masih sibuk mengurus pekerjaannya, sebenarnya Sheira minta gak usah ditunggu, tapi Jendra merasa gak enak. Entah kenapa. Apalagi banyak dosen yang ceng-ceng-in Shaira.

"Wah, dijemput suaminya ya?" Jendra melihat senyum Shaira terlihat bahagia sambil mengangguk. Nah, kalo gitu masa Jendra tinggal?

Jendra memutuskan menunggu di meja Shaira, sementara para dosen sibuk di ruangan sebelah untuk berkumpul bersama staff-staff lainnya. Ia menatap meja Shaira yang penuh dekorasi. Jadwal ia mengajar, bimbingan, serta deadline-deadline pekerjaan lainnya. Seperti yang mama mertuanya bilang, Shaira itu anak disiplin, bimbingan saja ada jadwal yang mirip seperti kelas yang dilakukan seminggu sekali. Boleh lah ya, kesannya seperti satu kali dayung dua pulau terlewati, tapi Jendra jadi mikir, ini Shaira gak pusing apa revisi banyak judul dalam satu minggu?

Ya, risiko jadi dosen.

Di samping catatan jadwal harian tersebut ada beberapa foto seperti polaroid seukuran dompet. Ada foto pernikahan mereka walau hanya satu, sisanya foto Shaira dengan Risa, dan foto ponakannya. Ponakan dari adiknya Shaira dan ponakan dari kakaknya.

Kotak pensil berisi banyak sekali pulpen dan spidol warna-warni, di sebalahnya ada standing phone dan tatakan untuk laptop. Beberapa bantal, seperti bantal leher, bantal boneka juga ada, dan slipper. Tiba-tiba matanya menatap pada cangkir yang ditutup. Itu cangkir pemberiannya yang dia bawa sebagai oleh-oleh dari Belanda. Kalau dilihat-lihat meja Shaira paling rame dari meja-meja dosen lainnya.

"Yuk, pulang." Jendra mendongak menatap Shaira sudah menggendong tas ransel besar siap pulang, ia sudah mengganti flatshoes-nya dengan sepatu kets yang nyaman. Ini kalo Jendra gak kenal Shaira, pasti dia nganggep Shaira ini mahasiswa. Kayaknya mahasiswa masih lebih modis dari Shaira. Tapi mungkin bisa aja efek udah malem.

Jendra menawarkan diri untuk membawakan tas Shaira, dan Shaira menolaknya dengan alesan kalo Jendra capek. Setelah itu tidak ada obrolan lagi. Bahkan ketika mereka saat di lift. Suasana berubah canggung. Yah, beginilah mereka.

"Kamu ada saran makanan deket rumah?" tanya Jendra pelan saat mobil mereka keluar kampus menyeberangi jalan.

"Aku sama Risa biasanya makan nasgor, tapi jauh dari sini, deket kampus yang dulu." Shaira diam sejenak.

PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang