Dalam ruangan yang dikelilingi oleh lukisan-lukisan penuh warna dan berbau cat segar, Elara, Raphael, dan Oliver terlibat dalam percakapan yang memuncak.
Suasana dalam ruangan begitu tegang, seperti mendekati guruh yang siap meledak. Elara berdiri di tengah, wajah yang penuh dengan kebingungan dan ketegangan, matanya mencerminkan konflik batin yang mendalam.
Dia menggenggam pena di tangannya dengan erat, seolah-olah itu adalah satu-satunya jalan untuk meredakan kecemasannya.
Oliver, dengan mata yang memancarkan amarah dan alisnya yang terkerut, menatap Raphael dengan penuh kebencian, sepertinya dia siap untuk meledak. Aura kemarahan yang mengelilingi Oliver menciptakan tekanan yang tak terelakkan.
“Raphael,” katanya tegas, suaranya tajam dan penuh otoritas. “Seberapa keras kamu berusaha, kamu tidak akan pernah mendapatkan restu dari orang tua Elara dan sudah saatnya kamu pergi dari kehidupan wanitaku. Dia layak mendapatkan yang lebih baik.”
Raphael, berdiri dengan sikap santai, tersenyum lembut sambil mengangkat bahu. Dia mengenakan pakaian seniman yang longgar, dan warna-warna cerah dari lukisan di sekitarnya mencerminkan pada pakaian itu.
“Oliver, Oliver,”serunya dengan nada yang tenang, meskipun matanya menunjukkan kebijakan yang dalam. “Apakah kamu begitu yakin bahwa kamu tahu apa yang terbaik untuk Elara? Setelah semua yang kamu lakukan padanya?”
“Tentu aku tahu,”balasnya dengan penuh percaya diri. “Karena aku adalah pria yang di pilih oleh orang tua Elara dan mengenai yang aku lakukan, semua manusia bisa melakukan kesalahan dan berhak mendapat kesempatan kedua.”lanjutnya.
Sontak Raphael tertawa renyah. Dia mengambil satu langkah mendekati Oliver, membalas tatapan tajamnya dengan angkuh. Ingin sekali, Raphael melihat wajah penuh kepercayaan diri itu hancur.
“Kamu memang pilihan orang tuanya dan aku setuju dengan perkataanmu, tapi kamu bukan manusia yang berhak untuk mendapatkan kesempatan kedua.”Raphael melipat kedua tangannya.“Sejak dulu, ada pertanyaan yang sangat ingin aku tanyakan padamu...”
Raphael diam sejenak, “Sebenarnya, perasaan yang kamu miliki pada Elara itu, cinta tulus atau obsesi ingin memiliki?”
Ekspresi Oliver menjadi kacau. Raphael menyunggingkan senyum. Sedangkan Elara yang terjebak di antara mereka, merasakan tekanan yang luar biasa.
“Tidak bisa menjawab atau tidak memiliki jawaban yang tepat?”
Genggaman tangan Oliver di pergelangan tangan Elara kian menguat. Elara mencoba berbicara, menyudahi situasi ini sebelum pecah, tetapi suaranya seperti tertahan di tenggorokan.
••••
Karakter
“Seperti seni yang mengisi ruang kosong dengan warna, Elara mengisi hatiku dengan kebahagiaan dan cinta yang tak terbatas.”
|
“Saat pena menyentuh kertas, aku menciptakan dunia tempatku berkuasa, di luar tekanan orang tua yang memaksa.”
|
“Ambisiku untuk memiliki Elara telah tumbuh menjadi obsesi yang tak terkendali, mengunci diriku dalam gelapnya keinginan. Bagaimanapun juga dia harus menjadi milikku.”
Let's begin the story
—11-2023—
KAMU SEDANG MEMBACA
Pena Dan Kuas
Teen Fiction"Menulis adalah jendela ke dunia yang lebih besar. Dalam kata-kata, aku temukan kebahagiaan dan makna. Saat aku menulis, aku merasa bisa mengubah dunia, bahkan dengan satu kalimat, dan mencari makna dalam segala hal." - Elara Violetta. "Seni adalah...