Rumah Opung

17 3 1
                                    

"Pung, lagi apa?" Seorang pemuda dengan perawakan tinggi menghampiri pria tua yang sedang membersihkan radio usangnya.

Tampak kaget dengan sumber suara, sang kakek menolehkan pandangannya lalu merapikan posisi kacamata yang terlalu turun ke hidung. Pria tua itu tersenyum kala menyadari rupa cucu tertuanya.

"Iya, ini kesayangan Opung, kok ga hidup-hidup sampai sekarang?" si Opung berujar dengan aksen khas bataknya. Tangan keriput sawo matangnya menyapu permukaan radio dengan telaten.

Opung dalam adat batak artinya Nenek/Kakek.

"Coba aku lihat ya, Pung." Pemuda itu mengambil radio usang dari tahun 90an, memperbaikinya, dan berhasil.

"Kembali lagi di 97.5 FM Prambors Medan Radio"

Si Opung tersenyum senang. Matanya yang berada di balik kacamata tampak berbinar memancarkan antusias dan semangat. Kakeknya selalu seperti itu. Dia sangat mencintai radio usang yang sudah dimilikinya puluhan tahun yang lalu, bahkan sebelum dia lahir.

"Aduh! Memang cuman kau lah Gabrian, cucu kesayangan Opung." Si cucu tertua itu hanya tertawa. Jika opungnya bahagia maka dia juga bahagia.

Senyum itu perlahan pudar. Gabrian mengingat, besok dia harus kembali ke Jakarta. Dia harus menyelesaikan tugasnya di sana. Walau baru menjabat sebagai dokter muda di salah satu rumah sakit swasta, dia tidak bisa bersantai.

Alasannya kembali ke Medan, kampung halamannya, karena kabarnya kakeknya itu sedang sakit. Pria yang mulai sakit-sakitan itu berhasil membuat Gabrian khawatir dan langsung terbang dari Jakarta ke Medan. Sejak kecil, Gabrian sangat dekat dengan kakeknya. Gabrian kecil suka mendengarkan ocehan dari kakeknya tentang perjuangan-perjuangannya sebagai mantan pejuang Indonesia. Tentu saja, Gabrian bangga akan itu.

Tapi apa daya, hanya 2 minggu waktu maksimal yang bisa dia perjuangkan untuk tinggal di kota Medan ini. Besok pagi, dia harus bergegas terbang ke Jakarta.

"Pung, besok aku mau balik ke Jakarta. Opung beneran udah sehat kan?" Gabrian berujar dengan sendu. Berat hatinya meninggalkan sang Opung di rumah ini. Memang masih ada keluarganya yang mengurus kakeknya di rumah ini. Tapi tetap saja, rasa sayangnya begitu besar hingga dia tak tega meninggalkan kakeknya.

"Oh? Udah mau balik kau ternyata. Sini, ikut dulu Opung. Ada yang mau Opung kasih."

Gabrian mengerutkan dahinya, heran. Dengan patuh ia mengikuti langkah kakeknya menuju sebuah gudang antik yang sering dikunjungi Gabrian dulu. Kadang, saat kecil, dia selalu merengek pada kakeknya untuk terus datang ke gudang antik ini. Dia rindu sekali rasanya.

Tibalah mereka di sebuah meja besar yang di dalamnya terdapat sebuah senapan coklat. Senapan itu ditutup dengan sebuah kaca besar berbentuk balok. Gabrian tidak pernah melihat senapan itu sebelumnya. Pria dengan tinggi semampai itu cukup heran, dari mana kakeknya mendapat barang ini?

Tangan keriput Kakek membuka kaca besar itu, tentu saja Gabrian turut membantu. Setelah kaca itu berhasil dibuka dan di letakkan di lantai, Kakek mengambil senapannya.

"Ini punya kawan seperjuangan Opung. Dulu, harusnya Opung yang meninggal. Dialah yang selamatkan Opung dari maut dengan mengorbankan nyawanya sendiri."

Gabrian menatap senapan itu, senapan yang cukup panjang walau seperti itu tampaknya sang Kakek tidak keberatan mengangkatnya. Senapan itu berwarna coklat keemasan, tidak tampak tua sama sekali, sangat terawat walaupun Gabrian yakin umurnya sudah puluhan tahun.

"Sekarang, bawalah ini bersamamu. Opung mewariskan ini pada pahopu (cucu) tertua. Jaga ini dengan baik, wariskan lagi kelak pada keturunanmu."

Senapan Usang Milik KakekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang